Berita Borneotribun.com: WHO Hari ini
Tampilkan postingan dengan label WHO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WHO. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juni 2021

Tahap Ke-17, Sepuluh Juta Bahan Baku Vaksin COVID-19 Sinovac Tiba di Indonesia

Tahap Ke-17, Sepuluh Juta Bahan Baku Vaksin COVID-19 Sinovac Tiba di Indonesia
Ilustrasi. Gambar iStock

BORNEOTRIBUN JAKARTA - Sebanyak 10 juta dosis vaksin COVID-19 produksi Sinovac dalam bentuk bahan baku atau bulk tiba di Tanah Air, Minggu (20/06/2021) siang, melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

“Alhamdulillah hari ini kita kedatangan lagi 10 juta bulk vaccine, untuk diproduksi oleh Bio Farma menjadi vaksin COVID-19,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Sekjen Kemenkes) Oscar Primadi dalam keterangan persnya menyambut kedatangan vaksin tersebut.

Ilustrasi. Gambar iStock

Dengan kedatangan vaksin ini, maka jumlah total vaksin yang telah diterima Indonesia saat ini adalah sebanyak 104.728.400 dosis, dengan perincian vaksin produksi Sinovac sebanyak 94,5 juta dosis, AstraZeneca 8.228.400 dosis, dan Sinopharm 2 juta dosis.

Oscar menegaskan, pemerintah terus melakukan upaya untuk mengamankan kebutuhan vaksin untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang tengah digulirkan pemerintah saat ini. Untuk mencapai kekebalan komunal atau herd immunity pemerintah menargetkan untuk melakukan vaksinasi kepada sekitar 70 persen dari jumlah populasi penduduk.

“Pemerintah selalu hadir dalam rangka mengamankan sekitar 426,8 juta dosis vaksin COVID-19 ini. Upaya-upaya ini tentunya kita lakukan dalam rangka penyediaan dalam bentuk pendekatan bilateral, multilateral, maupun eksplorasi daripada produk-produk dalam negeri,” ujarnya.


Lebih lanjut, Oscar menegaskan pemerintah hanya menyediakan vaksin yang teruji aman dan bermutu. Ketiga vaksin yang saat ini digunakan yaitu produksi Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm juga telah masuk ke dalam emergency use listing (EUL) dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

“Vaksin yang disediakan atau yang disiapkan oleh Kementerian Kesehatan ini adalah vaksin yang memang sudah teruji dari sisi pemenuhan dari aspek-aspek keamanan, aspek efikasi, maupun dari hal mutunya. Ini ditandai dengan adanya penerbitan emergency use authorization ataupun izin edar dari produk vaksin tersebut,” ujarnya.

Bahan baku yang telah tiba di Tanah Air ini kemudian akan didistribusikan ke seluruh Indonesia setelah terlebih dahulu diproses menjadi vaksin jadi oleh PT Bio Farma. Oscar optimistis tambahan vaksin ini akan mendukung upaya pemerintah dalam mempercepat guliran vaksinasi COVID-19 saat ini.

“Dengan adanya kedatangan ini kita terus berupaya untuk dapat melakukan distribusi dan kemudian melakukan program vaksinasi agar berjalan dengan baik. Sampai saat ini kita sudah melakukan upaya-upaya percepatan dan penguatan dalam upaya vaksinasi ini,” ujarnya.

Menutup keterangan persnya, sejalan dengan percepatan vaksinasi yang terus dilakukan pemerintah, Oscar tak lupa mengingatkan kepada masyarakat untuk tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan guna menekan laju penularan COVID-19.

“Kami mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tetap mematuhi protokol kesehatan, tetap tentunya menghindari kerumunan, menjaga jarak, dan tetap memakai masker. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Mahakuasa dan pandemi ini dapat terus selalu kita dapat kendalikan,” pungkasnya. 

(FID/UN)

Senin, 12 April 2021

WHO Peringatkan Kasus dan Kematian akibat COVID-19 Meningkat di Seluruh Dunia

WHO Peringatkan Kasus dan Kematian akibat COVID-19 Meningkat di Seluruh Dunia
Juru bicara WHO, Margaret Harris

BORNEOTRIBUN INTERNASIONAL -- Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, memperingatkan bahwa kasus dan kematian akibat COVID-19 sedang meningkat di seluruh dunia. Sebagian ini disebabkan oleh kelengahan yang muncul dan keyakinan bahwa vaksin akan mampu menghentikan penyebaran penyakit ini. 

Laporan WHO yang terbaru, mengonfirmasi bahwa lebih dari 133,5 juta kasus infeksi virus corona terjadi, termasuk hampir 3 juta kematian di seluruh dunia.

Data menunjukkan kenaikan kasus dan kematian akibat virus corona di semua kawasan dunia, kecuali di Afrika yang sedikit kurang terimbas dibandingkan kawasan lain. 

WHO mengaitkan kenaikan ini dengan beberapa faktor, termasuk penambahan varian virus corona, kegagalan mempraktikkan langkah kesehatan masyarakat, dan pemulihan kehidupan ke apa yang dianggap normal, setelah orang lebih terkucil hidupnya akibat lockdown.

Masalah lainnya, kata juru bicara WHO Margaret Harris, adalah semakin besarnya kelengahan dan keyakinan bahwa vaksin akan mampu mengakhiri krisis ini.

“Orang salah paham bahwa, vaksin akan mampu menghentikan penularan. Hal itu tidak benar. Kita harus menurunkan laju penularan dan juga memberi program vaksinasi peluang untuk menghentikan penyakit yang parah ini dan kematian yang diakibatkannya,” ujar Harris.

WHO melaporkan hampir 670 juta dosis vaksin telah disuntikkan di seluruh dunia. Tetapi sebagian besar dosis ini diberikan di negara-negara kaya. Selain itu, WHO memperingatkan adanya kekurangan vaksin yang kritis.

Kata Harris, beberapa negara tidak bisa mulai melakukan kampanye inokulasi COVID 19 karena kekurangan dosis, khususnya di negara berkembang.

“Jadi, sekali lagi, apa yang bisa kita lakukan? Kita harus melipatgandakan langkah kesehatan masyarakat. Kita harus benar-benar memahami bahwa kita harus tetap menjaga jarak, kita harus menghindari kumpul-kumpul dalam ruang tertutup. Kita harus terus memakai masker, sekalipun kita sudah divaksinasi," tambahnya.

Berita baiknya, kata Harris, adalah hasil-hasil awal dari negara seperti Inggris menunjukkan program vaksinasi telah berhasil mencegah kematian dalam jumlah yang besar.

Tetapi sampai seluruh dunia sudah divaksinasi, kata Margaret Harris, orang tidak boleh lengah. Mereka harus terus waspada, dan mempraktikkan beberapa langkah kesehatan masyarakat yang sederhana, yang selama ini terbukti efektif. [jm/ka]

Oleh: VOA

Jumat, 02 April 2021

WHO: Vaksinasi COVID-19 Sangat Lamban di Eropa

Dr. Hans Kluge, Direktur WHO Eropa
Dr. Hans Kluge, Direktur WHO Eropa

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan upaya vaksinasi COVID-19 di Eropa "sangat lamban" dalam menghadapi lonjakan baru virus dan varian baru yang lebih menular.

Dr. Hans Kluge, direktur WHO Eropa, Kamis (1/4) mendesak para pemimpin benua itu untuk "mempercepat proses dengan meningkatkan produksi, mengurangi hambatan dalam pemberian vaksin, dan menggunakan setiap botol yang dimiliki, sekarang."

Jumlah infeksi baru di seluruh Eropa lima minggu lalu turun di bawah 1 juta tetapi WHO mengatakan jumlah itu melonjak menjadi 1,6 juta kasus baru, dengan hampir 24.000 kematian.

Dr. Kluge mengatakan hampir 10% orang di seluruh Eropa telah mendapat setidaknya satu dosis vaksin, dan hanya 4% yang sudah divaksinasi penuh.

Upaya vaksinasi Eropa terhambat oleh masalah peluncuran vaksin Oxford-AstraZeneca. Prancis, Jerman dan Spanyol baru-baru ini mengumumkan membatasi penggunaan vaksin dua dosis itu karena khawatir bisa menyebabkan penggumpalan darah, meskipun Emer Cooke, direktur eksekutif badan obat-obatan Eropa, European Medicines Agency EMA, Rabu mengatakan pihaknya tidak menemukan bukti ilmiah untuk yang mendukung pembatasan tersebut.

Sementara itu, Pfizer-BioNTech pada Kamis mengumumkan vaksin mereka efektif melawan COVID-19 hingga enam bulan setelah vaksinasi penuh. Data tersebut berasal dari studi tahap akhir yang sedang berlangsung terhadap lebih dari 44.000 sukarelawan.

Menurut penelitian, vaksin itu 91% efektif melawan penyakit simptomatik dan bahkan lebih protektif dalam mencegah penyakit parah. Dari 927 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi terdeteksi hingga 13 Maret, 77 di antaranya adalah relawan yang mendapat vaksin dan 850 relawan yang mendapat suntikan palsu.

Mereka melaporkan tidak ada masalah keamanan yang serius dan vaksin tersebut juga tampaknya ampuh melawan varian yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan.

Berita terbaru ini disampaikan sehari setelah Pfizer mengumumkan telah memproduksi 120 juta dosis vaksin COVID-19 untuk AS. Produsen obat tersebut siap mengirimkan 200 juta dosis pada akhir Mei dan 300 juta dosis pada akhir Mei. Juli, seperti yang mereka sumpah awal tahun ini.

Di tempat lain, Presiden Prancis Emmanuel Macron memerintahkan negara itu melakukan penutupan wilayah nasional ketiganya pada hari Rabu untuk mencegah gelombang ketiga COVID-19 menyebar ke seluruh negara.

Di antara langkah-langkah penutupan wilayah itu, Macron menutup semua sekolah selama tiga minggu mulai Senin.

Macron berharap sebelumnya ingin menghindari penutupan wilayah dan dampaknya terhadap ekonomi. Namun, jumlah kematian di negara itu mendekati 100.000 dan menghadapi kesulitan dalam peluncuran vaksin karena lebih lamban dari yang diharapkan. Peningkatan kasus melumpuhkan unit perawatan intensif di daerah-daerah yang dilanda pandemi virus corona.

"Kita akan kehilangan kendali jika tidak bergerak sekarang," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi kepada bangsa itu. Ia juga mengumumkan pembatasan perjalanan, mulai Sabtu, untuk seluruh negeri setidaknya selama sebulan. [my/jm]

Rabu, 31 Maret 2021

Kemenkes: Efek Samping Vaksin AstraZeneca Tergolong Ringan

Kemenkes: Efek Samping Vaksin AstraZeneca Tergolong Ringan
Seorang santri Pesantren Lirboyo sedang disuntik vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca, di Kediri, Jawa Timur, 23 Maret 2021. (Foto: Prasetia Fauzani/Antara Foto via Reuters)

BorneoTribun Jakarta -- Pemerintah menemukan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) dalam pemberian COVID-19 buatan AstraZeneca masih tergolong ringan. Untuk itu, pemberian vaksin tersebut akan tetap dilanjutkan. 

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang ditemukan pasca penyuntikan vaksin AstraZeneca masih termasuk ringan.

Untuk itu, pemerintah akan melanjutkan program Vaksinasi Covid-19 dengan AstraZeneca karena vaksin tersebut dinilai lebih besar manfaatnya daripada risikonya.

“Tidak ditemukan adanya KIPI yang berat pasca penyuntikan vaksin AstraZeneca ataupun keluhan yang kita ketahui,” ungkap Nadia dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Selasa (30/3).

Berdasarkan laporan yang diterimanya, kata Nadia, efek samping penyuntikan vaksin AstraZeneca hanya terjadi pada 1-10 persen penerima vaksin. Keluhan yang disampaikan antara lain demam di atas 38 derajat celcius, bengkak, serta adanya rasa sakit pada tempat suntikan.

“Sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa vaksin ini lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan risikonya,” tegasnya.

Nadia melanjutkan, 1,1 juta dosis vaksin AstraZeneca yang didapatkan pemerintah Indonesia lewat fasilitas COVAX saat ini telah didistribusikan ke tujuh provinsi, yakni Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Maluku, dan DKI Jakarta.

AstraZeneca di Sulut Dilanjutkan

Pada kesempatan yang sama Ketua Komisi Nasional (Komnas) KIPI, Hendra Irawan Satari, mengungkapkan pihaknya telah menerima laporan dari Komisi Daerah (Komda) KIPI di Sulawesi Utara yang mengalami KIPI, seperti menggigil, demam dan pegal pasca disuntik Vaksin AstraZeneca.

Akibat keluhan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Utara menghentikan sementara pemberian vaksin itu. Namun, setelah dilakukan investigasi, observasi dan berdasarkan data yang ada diketahui bahwa empat orang yang mengalami KIPI tersebut termasuk ringan.

Selain itu, kata Hendra, KIPI yang terjadi dalam kasus ini diakibatkan oleh kecemasan. Menurutnya, KIPI tidak selalu berkaitan dengan kandungan vaksin, tetapi bisa juga berkaitan dengan kecemasan.

Hendra mengatakan hampir semua penerima vaksin yang mengalami KIPI sudah sembuh saat pihaknya melakukan audit.

“Kemudian kami melaporkan ke Bapak Menkes dan Wamenkes karena kami mengeluarkan rekomendasi bahwa KIPI yang terjadi di Sulawesi Utara bersifat ringan dan sebagian kecil berkaitan dengan reaksi kecemasan sehingga kami keluarkan rekomendasi bahwa vaksin ini dapat diteruskan dalam Program Imunisasi Nasional di Sulawesi Utara,” ungkap Hendra.

Vaksin AstraZeneca Aman

Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunizattion (ITAGI), Sri Rezeki Hadinegoro, memastikan bahwa Vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca aman untuk digunakan.

Menurutnya, kejadian pembekuan darah di beberapa negara di Eropa pasca disuntik AstraZeneca diyakini bukan diakibatkan oleh vaksin tersebut. Meski demikian, ia menegaskan tetap perlunya pengawasan yang lebih ketat dalam penyuntikan Vaksin AstraZeneca.

“Bahwa gangguan pembekuan darah sebetulnya secara alami cukup tinggi, dan dengan adanya vaksinasi tidak menambah. Kalau dia disebabkan oleh vaksin pasti angka kejadiannya akan naik, ini tidak terjadi, kemudian bagaimana pun juga kita harus pantau hal ini, kita harus berhati-hati memantau secara serius, berkala. Ini yang kita anjurkan untuk dikerjakan pada Kemenkes,” ujar Sri.

Para pedagang di Pasar Tanah Abang menerima suntikan vaksin COVID-19 dalam kegiatan vaksinasi massal, Jakarta, 18 Februari 2021. (Foto: Achmad Ibrahim/AP)

Keamanan vaksin buatan Inggris ini, kata Sri, juga dilihat dari uji klinis yang dilakukan kepada lebih dari 20 ribu sukarelawan yang dikerjakan di Inggris, Afrika Selatan, dan Brazil. Di dalam uji klinis tersebut efek samping yang ditemukan pun bersifat ringan, dan tidak ada yang masuk rumah sakit, apalagi meninggal akibat Vaksin AstraZeneca tersebut.

“Vaksin ini bisa diberikan di atas 18 tahun malah juga untuk lansia (lanjut usia -red). Untuk lansia sangat baik, aman, dan juga imunogenitasnya cukup tinggi. Tetap dua kali diberikan, vaksin pertama, vaksin kedua dengan interval dikatakan oleh WHO 4-8 minggu,” katanya.

Namun, tambahnya, ITAGI menyarankan sebaiknya interval pemberian vaksin berjarak delapan minggu. “Mungkin itu lebih baik karena melihat efek sampingnya lebih rendah dan imunogenitasnya lebih baik,” paparnya.

Paling Banyak Vaksinasi

Dalam kesempatan ini, Nadia juga mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara di dunia yang paling banyak melakukan Vaksinasi COVID-19 sampai saat ini. Per 26 Maret kemarin, sebanyak 10 juta orang sudah divaksinasi Covid-19.

“Dengan kondisi ini maka Indonesia termasuk dalam posisi empat besar negara di dunia yang bukan produsen vaksin, tetapi merupakan negara yang tertinggi dalam melakukan penyuntikan,” kata Nadia.

Menurutnya, di bawah Indonesia, ada negara-negara besar lainnya, seperti Jerman, Turki, Brazil, yang berhasil melampaui negara-negara Israel dan Perancis.

“Ke depan, kita akan terus tingkatkan kapasitas vaksinasi kita sehingga dapat segera mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity yang kita inginkan sehingga kita keluar dari pandemi COVID-19,” kata Nadia.

Pemerintah, kata Nadia, akan berusaha meningkatkan kecepatan penyuntikan Vaksin Covid-19 dari semula 500 ribu penyuntikan per hari menjadi satu juta penyuntikan per harinya.

Maka dari itu, ia pun mendorong seluruh masyarakat untuk segera divaksinasi COVID-19, terutama untuk kelompok masyarakat yang berusia 60 tahun ke atas atau lansia. Menurutnya, hal ini penting mengingat angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 pada lansia masih cukup tinggi.

“Kita lihat bahwa lansia ini masih sangat rendah partisipasinya, padahal kita tahu angka kesakitan dan angka kematian pada usia di atas 60 tahun tiga kali lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Mari kita sama-sama upayakan bagaimana kita mendorong usia di atas 60 tahun untuk bisa segera divaskinasi,” katanya. [gi/ah]

Oleh: VOA Indonesia

WHO: Laporan Asal-usul Virus Corona Perlu Studi Lebih Dalam

WHO: Laporan Asal-usul Virus Corona Perlu Studi Lebih Dalam
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

BorneoTribun Internasional -- Sebuah laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO terkait dengan asal-usul virus corona yang menyebabkan COVID 19 membutuhkan studi lanjutan dan data lebih banyak.

Dalam komentarnya, yang dirilis kepada para reporter, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, meskipun laporan itu menyajikan kajian menyeluruh dari data yang tersedia, “kami belum menemukan sumber virus itu.”

Kata Tedros, tim WHO yang dikirim ke China untuk menyelidiki asal-usul virus corona mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi ketika mengakses data mentahnya.

Katanya, studi lanjutan dan lebih banyak data diperlukan untuk konfirmasi apakah virusnya disebarkan ke manusia lewat mata rantai makanan atau lewat hewan liar atau ternak.

Tedros mengatakan, sementara timnya telah menyimpulkan bahwa kebocoran laboratorium merupakan hipotesa yang kecil kemungkinannya, masalah ini butuh penyelidikan lebih jauh.

Tedros mengatakan sekali lagi, “sejauh itu menyangkut WHO, semua hipotesa tetap kami perhitungkan.”

Tahun ini WHO telah mengirim sebuah tim internasional ke Wuhan, China untuk melacak asal-usul virus tersebut. Akan tetapi kritik dari studi WHO tersebut menyatakan, pelacakan itu terbatas akibat pembatasan pemerintahan China atas apa yang boleh diselidiki tim itu.

Pemimpin tim WHO, Peter Ben Embarek, kepada para wartawan hari Selasa (30/3) mengemukakan “sangat mungkin kasus-kasus COVID 19 yang tersebar di sekitar Wuhan, China, sudah terjadi pada November atau Oktober 2019, berarti lebih awal dari apa yang didokumentasikan berkaitan dengan penyebaran virus itu. [jm/mg]

Oleh: VOA Indonesia

Minggu, 07 Maret 2021

Apakah Aman Vaksinasi COVID-19 bagi Wanita Hamil dan Menyusui?

Apakah Aman Vaksinasi COVID-19 bagi Wanita Hamil dan Menyusui
Ilustrasi Ibu Hamil disuntik vaksin. Foto: Alodoktor

BorneoTribun Kesehatan -- Dr Ari Kusuma Januarto, SpOG (K) -Obginsos selaku Ketua Perhimpunan Ahli Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI) mengatakan meski data pengaruh imunogenisitas ibu hamil dan menyusui terhadap Vaksin Covid-19 masih terbatas, secara teori, kehamilan tidak mengubah khasiatnya vaksin.

Namun, hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan data tersebut, dapat terjadi transfer IgG dari ibu ke fetus sehingga dapat memberikan imunitas pasif pada neonatus.

Saat ini belum ada data ilmiah mengenai efektivitas atau potensi bahaya pemberian vaksin Covid-19 bagi ibu hamil dan menyusui. 

Karena menurut prevalensi pembuatan dan penelitian vaksin baru, ibu hamil dan menyusui tidak termasuk dalam penelitian tahap 1, 2, dan 3, sehingga tidak ada data khusus untuk ibu hamil dan menyusui mengenai efektivitas vaksin maupun aspek keamanan.

Coronavac / sinovac adalah vaksin inactivated, berbasis RNA virus; subunit protein; atau vektor virus, tidak dapat mereplikasi dibandingkan dengan vaksin lain yang sejenis seperti vaksin tetanus, difteri, influenza. 

Jadi secara umum vaksin jenis ini aman, dapat memberikan perlindungan pasif bagi neonatus, dan tidak berhubungan dengan keguguran dan / atau kelainan kongenital.

Namun studi keamanan vaksin di Indonesia dan Turki tidak melibatkan ibu hamil, sehingga tidak ada data mengenai efek teratogeniknya.

“POGI mendorong terlaksananya service based research yang melibatkan ibu hamil dan menyusui fase 3, khususnya di kalangan tenaga kesehatan sesuai anjuran World Health Organization (FIGO dan WHO). Apalagi ibu hamil dan menyusui termasuk dalam kategori populasi yang rentan tertular infeksi. virus ini, "kata dr Ari melalui keterangan resminya, Sabtu.

Sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional dan internasional terkait vaksin COVID-19 yang memiliki reputasi terpercaya telah mengeluarkan rekomendasi terkait vaksinasi bagi ibu menyusui, diantaranya "Strategic Advisory Group of Experts of Experts on Immunization (SAGE) from the World Organisasi Kesehatan (WHO) atau SAGE - WHO, Saran terbaru tentang vaksinasi COVID-19 pada kehamilan dan wanita yang sedang menyusui dari Royal College of Obstetricians & Gynecologists (RCOG) ".

Berdasarkan hal tersebut, POGI juga merekomendasikan vaksinasi untuk ibu hamil belum direkomendasikan hingga saat ini karena penelitian yang ada belum melibatkan ibu hamil, sedangkan ibu menyusui diperbolehkan untuk divaksinasi selama tidak ada kontraindikasi.

Wanita hamil dan menyusui termasuk populasi rentan yang harus dilindungi dengan mematuhi protokol 3M dan suami atau anggota keluarga dewasa di rumah segera divaksinasi.

Bagi wanita yang berencana mengikuti program kehamilan, disarankan untuk menunda kehamilannya hingga mendapatkan vaksinasi Covid-19. Penundaan program kehamilan dapat dilakukan maksimal 1 bulan (4 minggu) setelah menerima vaksinasi Covid-19 terakhir, untuk menghindari KIPI (tindak lanjut pasca imunisasi).

Bagi wanita yang sedang melakukan vaksinasi lain, dan diharapkan dapat dicapai titer yang tinggi dalam waktu yang singkat, disarankan untuk melengkapi vaksinasi terlebih dahulu, kemudian melakukan vaksinasi Covid-19. Pemberian vaksin lain, kemudian yang bersifat booster, dapat ditunda setelah vaksinasi Covid-19 selesai.

Namun, Dr. Ari menegaskan, ada kemungkinan akan ada perubahan rekomendasi ini di masa mendatang, karena dinamika perkembangan Covid-19 dan penemuan bukti ilmiah terkini.

Hal ini sejalan dengan International Federation of Obstetrics and Gynecology (FIGO) yang sangat menekankan pelibatan ibu hamil dan menyusui dalam fase 3 penelitian vaksin Covid-19 untuk semua produsen vaksin Covid-19.

Oleh: Antara

Kamis, 04 Maret 2021

WHO Peringatkan Hampir 2,5 Milyar Orang Alami Gangguan Pendengaran pada Tahun 2050

Ilustrasi telinga (shutterstock)

BorneoTribun Internasional -- Sehubungan dengan Hari Pendengaran Sedunia yang jatuh tanggal 3 Maret, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menyerukan tindakan untuk membendung epidemi gangguan pendengaran, yang saat ini mempengaruhi 1,5 miliar orang di seluruh dunia. Sebuah peta berisi rencana tindakan dimuat dalam laporan dunia WHO seputar pendengaran.

Pejabat WHO memperingatkan hampir 2,5 milyar orang akan hidup dengan berbagai gangguan pendengaran pada tahun 2050, jika tidak ada tindakan apa pun yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kondisi ini. Mereka mengatakan, hampir sepertiga akan membutuhkan rehabilitasi pendengaran.

Biaya yang dibutuhkan baik pribadi dan ekonomi terkait kondisi ini sangatlah besar. Banyak orang yang tuli atau menderita gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda mengalami stigma dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam isolasi. Tidak hanya itu, WHO melaporkan kehilangan pendengaran yang tidak tertangani telah merugikan ekonomi global hampir satu triliun dolar setiap tahunnya.

Ilustrasi telinga (shutterstock)

Ketua program WHO untuk pencegahan ketulian dan gangguan pendengaran, Shelly Chadha mengatakan kebanyakan dari kondisi kehilangan pendengaran bisa dicegah.

“Banyak kasus kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh mendengarkan musik yang terlalu keras dengan menggunakan headphone atau penyuara jemala dan penyuara telinga dapat dicegah,” kata Shelly Chadha.

“Begitu pula dengan kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh suara yang keras di tempat kerja. Penyebab kehilangan pendengaran lainnya yang umum antara lain diakibatkan oleh infeksi telinga, rubella, dan meningitis, yang dapat dicegah melalui berbagai strategi kesehatan masyarakat yang telah ditetapkan,” tambahnya.

Shelly Chadha mencatat lebih dari 60 persen kehilangan pendengaran pada anak-anak disebabkan oleh berbagai hal yang tidak dapat dihindari seperti infeksi telinga dan komplikasi saat lahir. Menurutnya, solusinya tersedia. Ia mengatakan teknologi pendengaran, seperti alat bantu dengar dan implant koklea yang disertai dengan terapi rehabilitasi dapat mengurangi efek gangguan pendengaran yang merugikan.

“Jutaan orang di seluruh dunia telah merasakan manfaat dari berbagai intervensi tersebut. Namun, mereka adalah kelompok yang sedikit eksklusif, karena kami memperkirakan bahwa di seluruh dunia hanya terdapat 17 persen yang memerlukan layanan ini, yang benar-benar bisa merasakan manfaatnya,” ujar Shelly Chadha.


Orang-orang yang berasal dari negara-negara berpendapatan rendah adalah yang paling kurang terlayani, karena mereka kekurangan spesialis, ahli audiologi, dan terapis wicara yang dapat memberikan perawatan yang diperlukan. WHO mengatakan, kesenjangan ini dapat ditutup dengan mengintegrasikan perawatan telinga dan pendengaran ke dalam layanan perawatan kesehatan utama nasional.

WHO menyebut hal ini sebagai investasi besar, karena setiap dolar yang digunakan untuk perawatan gangguan pendengaran, dapat mendatangkan pengembalian yang mencapai hampir 16 dolar untuk pemerintah. [di/jm]

Oleh: VOA Indonesia

Senin, 01 Februari 2021

Selidiki Asal Mula Covid-19, Tim WHO Akan Kunjungi Pasar Huanan di Wuhan

Selidiki Asal Mula Covid-19, Tim WHO Akan Kunjungi Pasar Huanan di Wuhan
Selidiki Asal Mula Covid-19, Tim WHO Akan Kunjungi Pasar Huanan di Wuhan.

BorneoTribun | Internasional - Tim ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyelidiki asal mula Covid-19 di Kota Wuhan, Tiongkok tengah, akan mengunjungi pasar Huanan, yaitu pusat grosir makanan laut tempat pertama kali virus korona ditemukan.

Akses bagi masyarakat ke pasar itu –yang kini dijaga ketat oleh petugas– sangat dibatasi sejak pasar ditutup awal tahun lalu. Sebelumnya, pasar yang menjual berbagai macam daging, makanan laut, dan sayuran itu ramai dikunjungi.

Sejumlah diplomat Tiongkok dan media pemerintah mengatakan bahwa mereka yakin pasar itu bukanlah sumber virus korona. Mereka juga mendukung teori bahwa virus tersebut bisa saja berasal dari negara lain.

Pada 31 Desember 2019 setelah empat kasus misteri pneumonia dikaitkan dengan pasar Huanan, tempat tersebut langsung ditutup. Hingga akhir Januari, Wuhan dalam kondisi lockdown selama 76 hari. Para ahli berpendapat bahwa pasar Huanan masih memiliki peran dalam pelacakan asal mula virus karena klaster kasus pertama terdeteksi di lokasi tersebut.

Setelah karantina dua pekan di kota tersebut berakhir pada Kamis, tim WHO diperkirakan bakal mengunjungi sejumlah laboratorium, pasar, dan rumah sakit di Wuhan. Belum ada agenda perjalanan pasti yang diumumkan, tetapi menurut WHO, tim tersebut berencana mengunjungi pasar Huanan dan Institut Virologi Wuhan.

Penyelidikan WHO di Wuhan menemui beberapa kendala, seperti penundaan, kekhawatiran soal akses, dan perdebatan antara China dan Amerika Serikat, yang menuding China menyembunyikan penyebaran COVID-19 pada awal pandemi. AS juga mengkritik syarat kunjungan, yang juga diikuti para ahli Tiongkok ketika melakukan riset tahap pertama.

Tim WHO sebelumnya dijadwalkan tiba di Wuhan awal Januari. Penundaan kunjungan oleh pemerintah China itu menuai kritik terbuka yang jarang dilakukan kepala WHO. WHO sendiri dituduh mantan Presiden AS Donald Trump berkiblat ke Tiongkok. 

(Reuters/Antara)  

Rabu, 18 November 2020

Fokus Perangi Kanker Serviks, WHO Ingin Selamatkan 5 Juta Nyawa di 2050

Gedung Organisasi Kesehatan Dunia di Jenewa, 6 Februari 2020. (Foto: Reuters)
Gedung Organisasi Kesehatan Dunia di Jenewa, 6 Februari 2020. (Foto: Reuters)

Fokus Perangi Kanker Serviks, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) ingin menyelamatkan 5 Juta nyawa orang di 20250.


BorneoTribun | Internasional - Pihak WHO menargetkan kanker serviks untuk meminta semua negara bisa melakukan vaksinasi terhadap sembilan dari sepuluh anak perempuan yang masih berusia dibawah lima belas tahun.


Selain itu WHO juga meningkatkan skrining serta pengobatan perempuan agar dapat mengurangi infeksi hingga 40 persen dan menyelamatkan 5 juta nyawa pada tahun 2050.

Reuters, mengutip badan PBB itu, melaporkan kanker serviks adalah kanker yang bertengger di urutan keempat yang umum terjadi pada perempuan di dunia. Kanker yang sesungguhnya dapat dicegah itu, menyerang setidaknya 570 ribu perempuan setiap tahun dan merenggut 11 ribu nyawa.

Hampir semua kasus kanker serviks terkait dengan infeksi jenis human papillomavirus (HPV) yang ditularkan melalui kontak seksual. Angka infeksi terjadi dua kali lebih tinggi di negara berkembang dan angka kematian tiga kali lebih tinggi daripada di negara berpenghasilan tinggi.

“Jika kita tidak melakukan apa-apa dengan penyakit ini, jumlah kasus akan meningkat dan jumlah kematian juga akan meningkat 21 persen pada tahun 2030,” kata Dr. Putri Nothemba Simelela dari Afrika Selatan, Asisten Direktur Jenderal WHO, dalam jumpa pers.

Para menteri kesehatan dari 194 negara anggotanya pada pekan lalu mendukung strategi yang bertujuan menghilangkan kanker serviks, yang diluncurkan pada Selasa (17/11).

“Kami ingin negara-negara menargetkan 90 persen anak perempuan di bawah 15 tahun divaksinasi, 70 persen perempuan yang memenuhi syarat diidentifikasi dan dirawat, 90 persen perempuan dengan kanker invasif dirawat,” kata Simelela.

Dia mengatakan, beberapa laboratorium dan alat lain yang dikembangkan selama pandemi Covid-19 akan berguna untuk skrining kanker serviks, dan tes baru akan mempercepat hasil dan pengobatan.

“Dengan teknologi ini, kami bisa mendapatkan diagnosa dalam 20 menit dan perempuan tersebut dapat segera dirawat di tempat, sehingga memungkinkan untuk satu kali kunjungan dalam satu hari dan segera sembuh dari lesi pra kanker ini,” tambah Simelela. (VOA)

Minggu, 25 Oktober 2020

Organisasi Kesehatan Dunia Mendesak Pemimpin Dunia Bertindak

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, menghadiri sesi tanggapan wabah virus corona dari Dewan Eksekutif WHO di Jenewa, Swiss, 5 Oktober 2020. (Foto: Reuters)


BorneoTribun - Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyaksikan dunia dalam situasi genting akibat pandemi Covid 19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak pemimpin negara-negara di dunia mengambil tindakan segera untuk mencegah kematian yang tidak perlu, ambruknya sistem kesehatan penting, dan terhentinya ekonomi.


Berbicara di markas besar badan tersebut di Jenewa, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan terlalu banyak negara, terutama di belahan bumi utara, mengalami peningkatan cepat kasus Covid-19. Hal ini memaksa rumah sakit dan unit perawatan intensif untuk beroperasi mendekati ambang atau di atas kapasitasnya.


Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau pemerintah untuk segera mengambil lima tindakan utama untuk mencegah krisis tidak terkendali.


Pertama, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan para pemimpin perlu membuat penilaian yang jujur tentang wabah Covid-19 di negara mereka. Untuk negara-negara yang telah berhasil mengendalikannya, ia menyarankan mereka "melipatgandakan" upaya untuk menjaga transmisi tetap rendah dan mengidentifikasi kasus dan klaster serta kesiapan bertindak.


Kedua, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros mengatakan negara-negara yang mengalami peningkatan jumlah kasus, rawat inap dan penerimaan unit perawatan intensif, harus melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi tren peningkatan secepat mungkin.


Ketiga, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros mendesak para pemimpin untuk menjelaskan dan jujur kepada konstituen mereka tentang status pandemi di negara mereka dan menguraikan langkah-langkah yang diperlukan untuk melawan penyebaran. Ia mengatakan tindakan ini membutuhkan sistem untuk memudahkan warga mematuhi tindakan terkait Covid-19.


Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros mengatakan pada akhirnya pemerintah perlu menjangkau orang-orang dan keluarga mereka yang terinfeksi virus dengan memberi mereka instruksi spesifik tentang langkah selanjutnya.


Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan jika para pemimpin mengikuti langkah-langkah itu dan menyesuaikan pelacakan kontak mereka, dan mengisolasi program, maka penutupan wilayah dan perintah tinggal di rumah bisa dihindari di masa yang akan datang. (VOA)

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno