 |
Mencegah sampah elektronik jadi bencana lingkungan selanjutnya. (ANTARA) |
Jakarta - Membahas soal lingkungan berkelanjutan tidak lengkap kiranya jika tidak dikaitkan dengan masalah sampah yang hingga kini masih menjadi momok di berbagai bagian dunia.
Jika sebelumnya penanganan masalah sampah lebih difokuskan pada sampah plastik dan mikroplastik, maka ada baiknya kini mulai memperhatikan juga sampah elektronik (e-waste) yang jenisnya bisa berupa telepon seluler, kulkas, televisi, printer sampai dengan mesin cuci.
Menurut Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, sampah elektronik mengandung beragam mineral dan logam yang berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2024 lalu juga sudah memberikan sinyal bahwa masalah itu dapat menjadi bencana bagi kehidupan manusia selanjutnya.
Laporan pemantauan limbah elektronik global 2024 yang baru dirilis United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) dan United Nations International Telecommunications Union (ITU), menyebutkan pertumbuhan sampah elektronik di seluruh dunia mencapai 2,6 juta metrik ton per tahun.
Hasil dalam laporan itu juga memprediksi sampah elektronik bakal mencapai 82 juta ton pada tahun 2030 di seluruh dunia.
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), timbulan sampah elektronik di Indonesia saja sudah mencapai dua juta ton di tahun 2021, dengan Pulau Jawa memberikan kontribusi hingga 56 persen dari generasi sampah elektronik pada waktu itu.
Handoko menilai penumpukan sampah elektronik di Tanah Air disebabkan oleh pengolahannya yang belum berkembang dengan baik.
Apalagi biaya pengolahannya cukup mahal, sehingga banyak sampah elektronik berhenti di pengepul dan penyortir, kemudian diekspor ke Tiongkok untuk diolah secara masif.
Sementara Plastic Project Leader Greenpeace Indonesia Ibar Akbar menyoroti pengelolaan sampah elektronik di Indonesia masih belum optimal. Sampah elektronik termasuk sampah B3 sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2004.
“Sehingga butuh pengelolaan khusus serta pihak yang akan mengelola harus tersertifikasi, serta tidak semua daerah mempunyai tempat atau ada pihak yang bisa mengelola sampah elektronik,” ujar Ibar.
Ibar menyarankan para produsen perlu membuat peta jalan terkait pengelolaan sampah elektronik dari produk mereka.
Peta jalan harus mengedepankan produk yang awet, dapat diperbaiki serta ada skema ketika rusak, produsen elektronik lah yang bertanggung jawab dalam pengelolaannya.
Kemudian pemerintah diminta untuk mencari data terbaru dan melihat tren pasar saat ini. Misalnya, pembelian elektronik di e-commerce dan jenis barang elektronik apa yang banyak laku di pasaran.
Pengolahan sampah elektronik yang benar dan tepat, katanya, juga dapat dimulai dengan tidak mencampurnya dengan sampah organik, plastik atau jenis lainnya.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) atau pihak bisnis terkait dapat menyediakan dropbox point atau menyediakan layanan pengambilan sampah elektronik, agar nantinya sampah dapat terpilah dengan baik.
Ketua Kelompok Riset Pengelolaan Dampak Pertambangan BRIN Maitrise Adji Kawigraha justru menyoroti tantangan pengumpulan sampah elektronik lebih pada budaya masyarakat yang cenderung menyimpan barang-barang tersebut.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih menyimpan sampah elektronik jenis peralatan IT di rumahnya karena berbagai dalih. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa limbah elektronik di Indonesia baru diolah hanya sekitar 5 persen saja.
Di sisi lain, ada kemungkinan timbulnya unit pengolahan sektor informal yang dijalankan tanpa izin yang berpotensi mencemari lingkungan dan memperburuk kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia yang digunakan secara tidak bertanggung jawab.
Handoko menyebut jika pengolahan sampah elektronik pun memerlukan ekstrasi dengan metode yang benar, sehingga beragam logam berbahaya dan sejenisnya dapat dikumpulkan untuk dimanfaatkan kembali atau diproses lebih lanjut untuk dibuang.
Inovasi terus berjalan
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, BRIN saat ini mengembangkan sebuah teknologi ekstraksi yang disebut dapat efisien mengolah sampah elektronik dengan harga yang cukup murah.
Segala macam riset yang dapat menunjang pengembangan teknologi itu dilakukan bersama Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN.
BRIN mengembangkan teknologi pengolahan untuk mengurai sampah elektronik berbasis pirometalurgi dan juga hidrometalurgi yang ramah lingkungan, khususnya untuk PCB elektronik dan juga baterai lithium yang masuk dalam kategori sampah elektronik.
Beberapa jenis sampah elektronik yang dapat diolah dengan teknologi itu yakni telepon selular, dimana mayoritas material yang diambil adalah emas yang bernilai tinggi.
Jenis produk besar dan kecil rumah tangga seperti kulkas, pendingin ruangan (AC) dan mesin cuci juga diambil tembaga ataupun besinya untuk dilebur kembali menjadi material yang mempunyai nilai ekonomi.
Berdasarkan teknologi pengolahan yang dikembangkan oleh BRIN, saat ini sampah elektronik yang dapat diurai adalah sampah elektronik jenis peralatan IT, baterai isi ulang dan juga peralatan besar maupun kecil rumah tangga berbasis pirometalurgi serta hidrometalurgi yang ramah lingkungan.
Sampah elektronik sudah melalui proses pemisahan dengan cara melepaskan bagian-bagian kecil sampah elektronik secara manual (dismantling) terutama komponen yang mengandung plastik atau polimer. Kemudian, pada komponen yang mengandung logam dilakukan kombinasi dari proses yang membutuhkan pembakaran (pirometalurgi) dan proses pelindian yang membutuhkan asam (hidrometalurgi).
Proses pirometalurgi digunakan untuk menghilangkan plastik-plastik yang melekat dalam komponen logam dan tidak dapat dipisahkan secara manual atau secara fisik. Sedangkan proses hidrometalurgi digunakan untuk melarutkan logam-logam yang terkandung dalam sampah elektronik dan kemudian memisahkan masing-masing larutan logam dalam bentuk garam-garam.
Logam-logam yang telah diperoleh kembali dapat digunakan sebagai bahan setengah jadi pada industri-industri yang membutuhkan.
Periset Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN Nurhadi Wibowo turut menambahkan bahwa BRIN saat ini fokus pada proses pengumpulan atau rantai pasok dari sampah elektronik tersebut, salah satunya dengan mengembangkan model penambangan kota (urban mining) berbasis komunitas untuk pengelolaan sampah elektronik bersinergi dengan universitas, pemda dan juga NGO atau lembaga swadaya masyarakat lokal ataupun global.
Kolaborasi jadi kunci penting
Meski demikian, supaya pengolahan sampah elektronik dapat berjalan dengan maksimal, Kementerian/Lembaga (K/L) terkait seperti KLHK, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu berkolaborasi supaya mendorong pengembangan kebijakan yang lebih komprehensif serta terintegrasi untuk pengelolaan sampah elektronik.
Selain itu, kolaborasi juga dapat memfasilitasi penyediaan sumber daya dan dana untuk penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sampah elektronik yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Pemerintah dinilai perlu segera merevisi atau pengembangan kebijakan yang lebih inklusif untuk mengakomodasi peran sektor informal dalam pengelolaan sampah elektronik, termasuk penetapan peran dan tanggung jawab yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sampah elektronik, baik sektor formal maupun informal.
Di sisi lain, perlu adanya penguatan infrastruktur pengumpulan sampah elektronik di tingkat lokal, termasuk di dalamnya menyediakan titik pengumpulan yang mudah diakses oleh masyarakat untuk membuang sampah elektronik.
Perlu didorong kerja sama yang lebih baik dengan sektor informal untuk memastikan pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik dilakukan secara bertanggung jawab sesuai perannya masing-masing.
Terkait dengan kesadaran masyarakat, pemerintah dapat mulai mengembangkan program edukasi yang menyasar masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya sampah elektronik dan pentingnya pengelolaannya melalui kampanye sosial menggunakan media sosial dan kampanye publik untuk menyebarkan informasi tentang cara yang tepat untuk mengelola sampah elektronik.
Diperlukan pula pelatihan bagi komunitas lokal tentang pengelolaan sampah elektronik dengan benar dan memberikan penjelasan yang baik terkait peran dan tanggung jawab masin-masing entitas dalam pengelolaan sampah elektronik.
Penelitian juga mesti terus berlanjut supaya negara mengembangkan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan untuk memisahkan serta mendaur ulang material dari sampah elektronik. Selain itu, memperluas model urban mining berbasis komunitas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah elektronik.
Dengan mengembangkan kolaborasi antar-kementerian, meningkatkan edukasi masyarakat, memperkuat infrastruktur pengumpulan dan mendorong inovasi teknologi diharapkan pengelolaan sampah elektronik di Indonesia dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.Hal ini tidak hanya akan mengurangi dampak negatif dari sampah elektronik, tetapi juga dapat menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Oleh Hreeloita Dharma Shanti/ANTARA