Berita Borneotribun.com: Usaha Madu Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Usaha Madu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Usaha Madu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Februari 2024

Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung

Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
BORNEOTRIBUN - Desa Ulak Medang memiliki potensi besar dalam produksi madu hutan. Tiap masa panen dari November – Februari, warga dapat memanen 500-700 kg madu hutan lalo. Namun pemanenan madu masih dilakukan secara tradisional, terutama pada malam hari. Kondisi ini beresiko tinggi kecelakaan kerja dan menurunkan keberlangsungan lebah dan madu hutan. 

Yayasan Natural Kapital Indonesia (YNKI) melalui KalFor Project menyelenggarakan Pelatihan Pembuatan Dan Pemasangan Tikung, Panen Lestari, dan Penanganan Pasca Panen di Desa Ulak Medang pada 7-9 Februari 2024. Tujuan pelatihan ini untuk meningkatkan praktik keamanan pemanenan pekerja dan peningkatan kualitas madu. 
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
KalFor Project, merupakan program KLHK dengan dukungan GEF melalui UNDP Indonesia, bertujuan membangun model pengelolaan area berhutan secara berkelanjutan oleh masyarakat. 

Pelatihan ini menghadirkan Suryadi, narasumber dan pelatih dari Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), yang berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam pembuatan tikung, pemasangan tikung, panen madu lalau secara lestari, dan praktik pengurangan kadar air dalam madu menggunakan dehumidifier. Pelatihan dihadiri 2 kelompok madu dengan total peserta 19 orang yang terdiri dari pemanjat dan pemanen lalau, pemilik pohon lalau, dan juru tali ulur.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Tikung adalah dahan buatan yang sengaja dipasang di lokasi tertentu agar menjadi lokasi sarang baru bagi lebah. Tikung telah menjadi kunci keberhasilan Madu hutan di Danau Sentarum dalam meningkatkan produksi dan kualitas madu.

Selain Tikung, Metode panen yang diperkenalkan dalam pelatihan ini adalah Panen Lestari, yang mempertimbangkan keberlangsungan koloni lebah. Praktiknya, panen dilakukan hanya pada kepala sarang yang berisi madu, sementara bagian lain yang berisi larva dan ratu ditinggalkan. Langkah ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan koloni lebah. 
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Pentingnya panen lestari diakui karena proses pemanenan madu lalau di Ulak Medang masih menggunakan metode tradisional yang mengambil seluruh sarang madu, menyebabkan lebah kehilangan sarang dan membutuhkan waktu untuk membuat sarang baru. 

“Oleh karena itu, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pengelola madu hutan dalam praktik panen lestari dan pembuatan tikung, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan volume madu,” ungkap Suryadi.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.

Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Salah satu pengelola madu Desa Ulak Medang, Supiandi, menyampaikan apresiasi atas pelatihan ini, terutama dalam praktik pembuatan tikung, pemasangan tikung, panen lestari, dan pengurangan kadar air dalam madu. Dia berharap dapat berhasil mengaplikasikan pengetahuan yang didapat untuk mengoptimalkan hasil produksi madu di Desa Ulak Medang.

Desa Ulak Medang telah ditetapkan sebagai Desa Fokus pengembangan budidaya lebah madu hutan sejak 2021. Kepala Desa, Isnaini, berusaha mengenalkan produk madu Ulak Medang melalui pameran UMKM di tingkat Kabupaten hingga Provinsi. “Untuk mendukung hal ini, diperlukan legalitas yang sah dan teruji guna memastikan keamanan dan kebersihan madu Ulak Medang untuk konsumsi,” ungkap Isnaini.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Minimalisir Resiko Kerja dan Menjaga Keberlanjutan Kehidupan Lebah melalui Panen Lestari serta Pemasangan Tikung.
Oleh: Yayasan Natural Kapital Indonesia

Rabu, 14 Juli 2021

Ancaman Masa Depan Lebah Resahkan Masyarakat dan Pertanian Indonesia

Ancaman Masa Depan Lebah Resahkan Masyarakat dan Pertanian Indonesia
Tiris madu Sumbawa untuk panen lestari lebah hutan (foto: courtesy).

BORNEO TRIBUN JAKARTA -- Cuaca yang berubah di Kalimantan Barat dan intensifikasi pertanian di Sumbawa dinilai mengancam keberlangsungan polinator termasuk lebah hutan Indonesia.

Bagaimana menjaga hubungan baik antara kesejahteraan manusia dan keselamatan lebah hutan di Indonesia?

Perubahan lansekap dan iklim berdampak pada penurunan populasi polinator termasuk lebah hutan di Indonesia. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nusa Tenggara Barat mencatat lahan kritis di luar kawasan hutan bertambah menjadi sekitar 578 ribu hektar pada tahun 2018. Ekspansi tanaman jagung itu meresahkan masyarakat di Pulau Sumbawa, ungkap Julmansyah, ketua Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) kepada VOA. JMHS termasuk organisasi yang berfokus pada pengembangan madu hutan di Indonesia.

“Akibat perubahan lanskap hutan menjadi jagung, bukan hanya merugikan si lebah kehilangan habitat pakan lebahnya tetapi mengakibatkan ketersediaan air itu berkurang karena hutannya sudah habis,” kata Julmansyah.

Julmansyah berpandangan kebijakan ekonomi jagung di NTB sejak lima tahun terakhir yang dibanggakan pemerintah Indonesia mampu menghasilkan satu juta ton jagung, harus dievaluasi kembali.

Petani madu dorsata harus memanjat pohon tinggi di Sumbawa (foto: courtesy).

Ia menjelaskan itu tidak sebanding dengan dampak pada produksi madu hutan karena kehilangan koloni lebah hutan, apis dorsata dan kurangnya ketersediaan air akibat alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian.

Keprihatinan yang berbeda terjadi di Kalimantan Barat, Hermanto ketua Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) di Kalimantan menyatakan kendala yang sama juga dialami sejak kemarau panjang dan kabut asap tahun 2019.

Di Danau Sentarum, masyarakat yang tinggal di kawasan taman nasional umumnya bekerja sebagai nelayan juga memanen madu hutan ketika musim lebah dorsata datang.

Danau Sentarum di Kalimantan mengalami kekeringan ketika kemarau panjang (foto courtesy: Hermanto).

“Tahun 2019 itu kan kemarau panjang di Kalbar. Jadi, banyak lahan, hampir semua kita kena kabut asap di bulan September. Itu lebah kan dia tidak suka dengan asap. Jadi lebah lari, dan juga tidak ada bunga. Kalau di Danau Sentarum, kemarau panjang sudah kering semua dan tidak ada air. Jadi itu sudah seperti padang gurun,” ujar Hermanto.

Pakar ekologi dan evolusi serangga dari LIPI, Sih Kahono menjelaskan kebakaran dan alih fungsi hutan berakibat pada kematian lebah yang memaksa koloni menempati habitat yang baru yang tidak sesuai.

“Yang jadi masalah sebenarnya bagaimana aplikasi pestisidanya. Kalau intensitas pestisidanya cukup berbahaya, itu bahkan si lebah langsung akan melayang seperti pusing begitu. Saat menyemprot pestisida itu, ada baiknya pada saat lebah sedang tidak ada di situ,” tukasnya.

Petani madu hutan gunakan perahu di sekitar Danau Sentarum (foto: courtesy).

Sejak tahun 2007, Julmansyah bersama JMHS mengedukasi para petani madu hutan agar menerapkan panen lestari. Itu dilakukan untuk memastikan terciptanya pasar madu hasil tirisan, bukan peras tangan sehingga para petani madu hutan memperoleh harga jual yang premium.

Kepada VOA, Julmansyah memaparkan bahwa sebelumnya mereka hanya dapat satu kali panen madu hutan dengan mengambil semua sarang lebah apis dorsata yang disebut aning oleh masyarakat setempat, termasuk larva dan anakannya sehingga populasi lebah aning pun berkurang.

“Yang tadinya bisa menjadi lebah pekerja, lebah itu hilang karena diambil semuanya. Kita mengedukasi agar satu sarang bisa panen sampai 3 kali dengan cara yang lestari. Generasi lebah itu bisa terus berlanjut, berkesinambungan,” terangnya.

Panen madu hutan pada dahan tikung di sekitar Danau Sentarum (foto: courtesy).

Tahun 2010 Julmansyah menyampaikan terjadinya kemarau basah di mana hujan sepanjang tahun. Data JMHS tahun 2010 menunjukkan produksi madu sangat anjlok, maksimal 3 ton yang biasanya produksi mencapai 10-13 ton madu yang dikirim ke pembeli.

Keprihatinan yang sama terjadi di Kalimantan Barat. Pada awal tahun ini para petani madu hutan di daerah Kapuas mengalami paceklik karena curah hujan terlalu tinggi tahun 2020. Panen tahun 2018 menghasilkan 20-30 ton madu hutan, papar Hermanto, ketua Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) di Kalimantan.

Jaringan madu hutan yang sudah berdiri sejak 16 tahun lalu itu juga mengkampanyekan panen tiris ketika para petani mengumpulkan madu baik dari tikung, dahan buatan di sekitar Danau Sentarum maupun pohon-pohon tinggi besar di sepanjang Sungai Kapuas dengan koloni antara 40-100 sarang.

“Pohon lalau itu biasanya sudah ada pemilik turun-temurun. Jadi generasi ke generasinya saja yang bisa panen di pohon itu, orang lain tidak boleh panen. Kalau ada yang panen, nanti bisa terkena sanksi adat.”

Walau tinggal di pulau berbeda, Julmansyah dan Hermanto mengamati kemarau basah di Sumbawa dan curah hujan tinggi di Kalimantan Barat tidak memberikan tanaman kesempatan untuk berbunga dan terus berkembang. Efek dari perubahan suhu, cuaca dan kerusakan lingkungan itu sangat nyata, tegas Sih Kahono.

Hasil studi Program Bantuan PBB (UNDP) dan JMHS menunjukkan perubahan lansekap yang sangat drastis berakibat pada anjloknya produksi madu hutan, Julmansyah menjelaskan, “Sekarang itu ancaman (bagi) si lebah adalah pertanian monokultur jagung yang digalakkan oleh pemerintah, dengan membabat hutan menjadi lahan jagung.”

Perubahan lansekap, menurut Julmansyah memaksa masyarakat NTB harus memilih antara panen madu hutan dan berladang jagung monokultur yang berbiaya tinggi. “Tetapi dia (lahan pertanian) hanya menghasilkan jagung sekali. Setelah itu harus kembali dari nol lagi. Menanam, cari bibit, pinjam uang di bank, beli pestisida, beli pupuk dan lainnya. Itu semua padat biaya, high cost,” ungkapnya.

Tujuan sistem pertanian Indonesia bagi peningkatan produksi, menurut Sih Kahono dapat dilakukan secara gratis melalui peningkatkan polinasi dan penyerbukan pada bunga termasuk lebah hutan yang mampu bermigrasi sejauh 80 kilometer.

Petani madu dorsata harus memanjat pohon tinggi di Sumbawa (foto: courtesy).

Hubungan yang harmonis antara kesejahteraan manusia dan kelestarian hutan termasuk keselamatan apis dorsata perlu dijaga sehingga masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan keduanya. Peneliti senior LIPI itu menilai walau intensifikasi pertanian sudah terpenuhi, peningkatan produksi tidak akan tercapai jika bunga dan penyerbuknya tidak ada atau berkurang

“Karena kita ketahui sekarang terjadi defisit polinasi. Jumlah penyerbuk sudah tidak seimbang dengan jumlah bunga yang harus diserbukkan,” pungkasnya.

VOA

Jumat, 18 Juni 2021

Mengkhawatirkan, Keberadaan Lebah Hutan Indonesia

Sarang lebah madu "apis dorsata" atau dikenal sebagai lebah madu raksasa yang hidup di hutan-hutan Asia, termasuk Indonesia.

BORNEOTRIBUN JAKARTA - Penelitian Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) tahun 2020 mengungkapkan terjadinya penurunan 57 persen populasi lebah di Indonesia. Berkurangnya habitat lebah hutan berdampak pada sumber pakan dan penurunan populasi lebah hutan Indonesia, termasuk apis dorsata.

Purnomo, peneliti dan pemerhati lebah hutan yang saat ini aktif mengelola dan mengolah produk perlebahan di Kampar, Riau, menjelaskan populasi lebah hutan penghasil madu dengan ukuran terbesar di dunia, apis dorsata, semakin terdesak dari tahun ke tahun akibat habitatnya yang terancam di Indonesia.

Pendiri rumah madu Wilbi itu mengatakan, “Apis dorsata itu di hutan habitatnya. Dia menempati pohon-pohon menjulang tinggi. Sekarang pohon-pohonnya sudah banyak ditebang. Pakannya juga sudah berubah akibat alih fungsi hutan, jadi HTI (hutan tanaman industri) dan perkebunan kelapa sawit.”

Apis dorsata dikenal masyarakat setempat sebagai lebah sialang karena bersarang dan bergantungan di berbagai jenis pohon sialang yang tinggi di hutan Sumatra.

Sarang lebah dorsata di pohon sialang di hutan Jambi (foto: courtesy).

“Tempat bertengger bersarangnya lebah itu di pohon yang besar disebut pohon sialang, sedangkan pakanannya tuh dia makannya diambil dari pohon akasia, pohon sawit,” jelas Candra Lela.

Di Jambi, Candra Lela, yang menjabat Ketua Asosiasi Perlebahan Jambi juga sangat prihatin akan populasi lebah sialang yang semakin langka sejak bencana asap tahun 2015 dan kebakaran hutan Sumatra termasuk Riau dan Palembang. “Jambi berasap hampir mau 1 tahun. Memang musibah asap. Jadi tuh ya lebahnya kabur adanya, sebagian mati, punah gitu,” tambahnya.

Pohon Sialang di Riau tempat lebah dorsata dengan 30-60 sarang (foto: courtesy).

Berawal menemani suami ke hutan, ibu rumah tangga itu terjun ke usaha madu lebah sengat tahun 2008, masuk hutan menemui para pemanjat pohon sialang sekaligus mengantarkan galon-galon madu dengan menempuh perjalanan 2-4 jam dari rumahnya di kota Jambi.

Harga madu lebah sialang meningkat mulai dari harga Rp 7.500/kg tahun 2008 menjadi Rp 60.000/kg tahun 2015. Lela menyampaikan dalam sebulan bisa mengumpulkan 10ton madu lebah dorsata bahkan pada tahun 2010 pernah mencapai 24ton dalam satu bulan. Pendiri Rumah Madu Hutan Jambi (RMHJ) itu aktif melakukan kampanye panen lestari kepada beberapa kelompok pemungut madu hutan yang beranggotakan 20-25 pemanjat sialang supaya lebah hutan Sumatra tidak punah dan dapat terjaga untuk regenerasi.

Candra Lela membawa anaknya masuk hutan Jambi sejak bayi berumur 22 hari, mengumpulkan madu lebah dorsata (foto: courtesy).

“Panennya tidak boleh panen siang, baiknya itu panennya di malam hari atau subuh. Kemudian tidak dihabiskan, tidak dipotong semua, larvanya jangan dipanen juga. Kalau bisa dipanen larvanya ditinggalin gitu. Tidak menggunakan api, cukup asap,” kata Candra Lela.

Lebah dorsata sangat bergantung pada ketersediaan tanaman sumber pakan di hutan, jika kurang memadai akan mengakibatkan populasi lebah itu bermigrasi, Purnomo menjelaskan. Ia menyebutkan periode 20 tahun lalu populasi lebah dorsata diperkirakan 10.000 koloni di Riau. Alih fungsi hutan dengan pembukaan sejumlah perkebunan kelapa sawit sejak 10 tahun lalu berdampak pada penurunan populasi lebah yang kini hanya sekitar 50 persen di hutan Riau.

“Mungkin kalau dibanding 20 tahun yang lalu dengan sekarang ini, paling sekarang ini 15%. Dari 20 tahun yang lalu 10.000 (populasi lebah) kalau 10% berarti sudah 1.500-an,” tukas Purnomo.

Sekitar tahun 2000-an Riau dapat menghasilkan 60 ton madu hutan per bulan. “Kalau produksi sekarang ini, sebulan itu paling-paling sekitar 6 sampai 10 ton,” ungkap Purnomo.

Alih fungsi hutan Riau menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh pemerintah dan sejumlah perusahaan serta dimiliki oleh masyarakat berdampak pada 50 persen lebih perubahan lahan sejak 20 tahun lalu, kata Purnomo.

“Kalau sekarang kan, kalau kita ambil titik Pekanbaru ke hutannya sekitar 5-6 jam itu baru nanti jumpa hutan. Kalau dulu, 20 tahun yang lalu, istilahnya setengah jam, satu jam sudah ketemu hutan,” ujarnya.

Bencana asap akibat kebakaran hutan Sumatra tahun 2015 telah memaksa Candra Lela beralih ke budidaya mellifera, lebah hutan asal Eropa yang didatangkan dari Jawa. Sejak Januari 2020, 48 kotak bibit lebah mellifera yang dibeli RMHJ dengan kisaran harga 2 juta 400 ribu rupiah per kotak, kini berhasil dikembangkan menjadi 1.000 kotak lebah.

ebakaran hutan di Sumatra bulan Juli tahun 2015 (foto: dok).

Purnomo menyampaikan bahwa budidaya lebah mellifera berhasil dikembangkan dalam dua tahun terakhir. Lebah mellifera memanfaatkan sumber nektar dari akasia yang liar sementara sumber polennya diambil dari bunga sawit. Namun demikian lebah dorsata di Sumatra, Purnomo menegaskan, pada akhirnya akan seperti kondisi di Jawa, yang hanya tinggal kenangan dalam 5-10 tahun ke depan.

“Kalau di Jawa dulu kan, populasi lebah hutan juga cukup baik. Sekarang tinggal kenangan. Dorsata mungkin sudah sulit ditemukan walau lebah ternak (mellifera) ini sudah cukup berhasil untuk dijadikan usaha.”

Budi selama 4 tahun dibina oleh Purnomo melalui Rumah Madu Wilbi. Ia beralih dari berkebun untuk mencari madu lebah sialang. Harga madu hutan dari Pulau Rupat yang berbatasan dengan Singapura itu dijual dengan harga Rp95.000-100.000 per kilogram.

Budi bersama rekan panen madu sialang di Pulau Rupat, dekat perbatasan Singapura (foto: courtesy).

“Lebah sialang itu kalau sarangnya lebih dari 30 sarang mencapai 500 kg atau lebih untuk satu pohon,” kata Budi.

Purnomo menegaskan lebah hutan asli Indonesia, apis dorsata sangat penting untuk dilestarikan karena, “Pengaruhnya besar sekali terutama bagi kelangsungan ekosistem, penyerbukan vegetasi di hutan.” [mg/ka]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno