|
Situasi desa Kayuangin dilihat dari udara yang memperlihatkan salah satu rumah yang roboh akibat gempa bumi. Jumat (28/1/2021). (Foto: VOA/Yoanes Litha) |
BorneoTribun | Majene, Sulbar - Kebutuhan pasokan terpal untuk tempat tinggal sementara para penyintas gempa bumi di Sulawesi Barat sangat mendesak. Tenda darurat yang ada saat ini penuh sesak. Akibatnya penerapan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 sulit dilakukan.
Pengungsi gempa Sulawesi Barat membutuhkan pasokan terpal tambahan untuk digunakan sebagai tenda darurat. Tenda-tenda darurat yang dibangun di halaman rumah warga saat ini sangat tidak memadai karena terlalu penuh sesak. Rata-rata satu tenda bisa dihuni hingga tujuh keluarga atau sekitar 36 orang. Padahal di tengah situasi pandemi COVID-19, para penduduknya seharusnya saling menjaga jarak.
“Ada tujuh kepala keluarga dalam satu tenda, itu kan 36 orang lebih. Ukuran terpal empat kali enam meter, disambung-sambung,” papar Muhammad Yusuf, Kepala Desa Kayuangin di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Padahal, lanjutnya, ukuran terpal yang ideal setidaknya berukuran lima kali tujuh meter untuk satu keluarga.
|
Seorang anak sedang makan diatas puing bangunan rumah yang roboh di desa Kayuangi, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Jumat (28/1/2021). (Foto: VOA/Yoanes Litha) |
Mengutip laporan Pusdalops BNPB, per tanggal 27 Januari 2021 pukul 20.00 WIB, jumlah rumah penduduk yang rusak akibat gempa di Kabupaten Majene mencapai 1.150 unit, dan masih akan bertambah karena pendataan masih terus dilakukan. Gempa tersebut juga mengakibatkan 27.537 jiwa mengungsi di 20 lokasi.
Desa Kayuangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, merupakan salah satu desa yang terdampak cukup parah oleh guncangan gempa magnitudo 6,2 pada Jumat (15/1). Berdasarkan pemantauan VOA pada Jumat (30/1), kondisi rumah warga di desa yang dihuni 372 keluarga (1.572 jiwa) itu rusak, baik roboh, retak, maupun kehilangan bagian dinding rumah yang terlepas akibat guncangan gempa.
|
Warga sedang mengantri mengakses air bersih dari sebuah tandon air dengan latar rumah yang rusak berat akibat gempa di desa Banua, Kecamatan Malunda. Jumat (28/1/2021). (Foto: VOA/Yoanes Litha) |
“Sembilan puluh persen –yang rusak- paling tidak yang rusak ringan ya rumah-rumah kayu. Kalau semua rumah batu ada yang sekalian hancur, ada yang retak tidak bisa lagi masuk,” kata Yusuf. Pria berusia 56 tahun itu mengungkapkan korban jiwa bisa dihindari karena sejak gempa pertama dengan magnitudo 5,9 Skala Ritcher pada Kamis (14/1) siang warga di desa itu sudah tidur di luar rumah pada malam harinya.
Yusuf juga menekankan harapannya bantuan segera turun ke desa tersebut. Bantuan tersebut bisa berupa kunjungan tim medis dan juga pembuatan sarana sanitasi mandi, cuci, kakus, agar warga tidak lagi buang air besar sembarangan.
|
Ibu Rida (baju kuning) saat berada di tenda terpal yang didirikan di depan rumahnya yang rusak berat akibat gempa di desa Kayuangi, Kecamatan Malunda. Jumat (28/1/2021). (Foto: VOA/Yoanes Litha) |
Rida (32) seorang ibu rumah tangga yang berada di salah satu tenda darurat kepada VOA mengatakan dampak gempa membuat sumber-sumber air tidak lagi dapat digunakan, kini dia sangat membutuhkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk air minum.
“Biar air untuk dipakai masak dan mencuci susah juga Pak karena disini tidak ada sumur,” ujar Rida.
Anisa (43) berharap ada bantuan alat memasak karena perlengkapan dapur miliknya rusak tertimpa reruntuhan bangunan rumahnya roboh.
“Pinjam dari teman-teman disini, pancinya, tidak ada panciku, piring habis” ujar Anisa yang tinggal di tenda terpal bersama suami, lima anak dan satu cucunya. [yl/ah]
Oleh: VOA Indonesia