Mahfud MD: Keputusan RKUHP Tidak Mungkin Tunggu 270 Juta Orang
Menko Polhukam Mahfud MD saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/6). (Foto: VOA/Sasmito Madrim) |
BORNEOTRIBUN JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud Md menyerukan pembahasan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) agar segera diambil.
Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan hukum merupakan hasil kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Karena itu, ia menilai wajar jika terdapat perbedaan dalam penyusunan hukum. Namun, Mahfud menegaskan pemerintah telah bersikap demokratis dalam penyusunan RKUHP. Hanya ia menekankan tidak mungkin pemerintah harus menunggu kesepakatan semua warga dalam membuat KUHP.
"Keputusan harus segera diambil. Mau mencari kesepakatan dari 270 juta orang itu hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu keputusan harus diambil melalui proses yang benar dan konstitusional," jelas Mahfud saat membuka diskusi "RKUHP" di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Mahfud menambahkan pembahasan RKUHP sudah berlangsung sekitar 50 tahun. Menurutnya ada faktor-faktor yang membuat pembahasan tersebut berlangsung cukup lama. Antara lain karena keberagaman masyarakat dan perbedaan pandangan terhadap hukum pidana. Ada kelompok yang berpendapat hukum pidana harus bersikap universal, sementara kelompok lain menginginkan hukum pidana sesuai dengan kondisi masyarakat hukum tersebut berlaku.
Wamenkumham RI, Edward Omar Syarif Hiariej (Nurhadi/VOA) |
Sementara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti ketidakjelasan pemberlakuan KUHP. Ia beralasan hingga saat ini tidak ada satupun KUHP yang resmi disahkan pemerintah dan DPR.
Selain itu, terjemahan KUHP Soesilo dan Moeljatno juga terdapat perbedaan yang menyolok. Semisal Pasal 110 KUHP, menurut Moeljatno, permufakatan jahat untuk melakukan makar diancam sama dengan orang yang melakukan kejahatan itu, atau dapat diartikan ancaman pidana mati. Sedangkan Soesilo menerjemahkan perbuatan ini diancam dengan pidana penjara enam tahun.
"Jadi hal-hal kecil seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau kita menunda KUHP untuk disahkan itu berarti suara-suara yang menginginkan status quo. Dan ingin kita tetap dalam ketidakpastian hukum," jelas Edward Omar Sharif Hiariej.
Omar menambahkan pemerintah juga telah menggelar sejumlah diskusi publik untuk mensosialisasikan RKUHP di sejumlah wilayah. Setidaknya ada tiga diskusi yang digelar pada 2021 yaitu Februari di Medan, Juni di Manado dan Jakarta.
ICJR Kritisi Sikap Pemerintah yang Terburu-buru
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritisi pemerintah yang terburu-buru dalam pembahasan RKUHP. Ia beralasan RKUHP tersebut baru dibahas secara serius dalam empat tahun terakhir. Sementara yang dimaksud Mahfud Md sekitar 50 tahun hanya berupa draf yang belum dibahas.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. (Foto: Erasmus) |
Ia juga menegaskan tidak menolak RKUHP, namun meminta pemerintah membahas RKUHP tersebut secara serius. Ia juga kecewa draf RKUHP yang disampaikan pemerintah tidak mengalami perubahan sejak ditunda pembahasan pada 2019 lalu.
"Pada 2020 kita sering diskusi dengan pemerintah dan ditunjukkan draf yang lebih progresif dari sebelumnya. Dan ternyata yang disebar kemarin itu draf yang sama dengan tahun 2019," jelas Erasmus kepada VOA, Senin (14/6/2021).
Erasmus berpendapat kekhawatiran pemerintah tentang ketiadaan terjemahan resmi KUHP juga tidak berdasar untuk dijadikan percepatan pengesahan RKUHP. Sebab, menurutnya, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR dengan memilih salah satu terjemahan.
Ia juga mengkritisi belasan diskusi publik yang digelar pemerintah terkait RKUHP. Sebab diskusi tersebut tidak melibatkan masyarakat sipil dan akademisi yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah dan DPR. [sm/em]
Oleh: VOA