7.000 orang Korban Penipuan Online Ditahan di Perbatasan Myanmar Menunggu Pemulangan
![]() |
7.000 orang Korban Penipuan Online Ditahan di Perbatasan Myanmar Menunggu Pemulangan. |
JAKARTA - Lebih dari 7.000 orang dari berbagai negara kini ditahan di kota perbatasan Myanmar sambil menunggu pemulangan mereka ke negara asal.
Mereka adalah korban yang terjebak dalam pusat-pusat penipuan online yang beroperasi di Asia Tenggara.
Penangkapan besar-besaran ini merupakan bagian dari tindakan keras yang digalakkan oleh otoritas di Thailand, Myanmar, dan China untuk memberantas sindikat kejahatan siber.
Menurut pihak yang terlibat dalam upaya penyelamatan korban, skala repatriasi yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat pemerintah Myanmar dan Thailand kewalahan.
Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pemulangan para korban ke negara masing-masing.
Juru bicara Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) Myanmar, Letnan Kolonel Naing Maung Zaw, mengungkapkan bahwa awalnya pihaknya berencana memulangkan sekitar 500 orang per hari.
Namun, jumlah tahanan terus bertambah hingga mencapai lebih dari 7.000 orang.
"Awalnya negara asal mereka yang meminta repatriasi, tetapi sekarang mereka enggan menerimanya kembali, sehingga menjadi masalah baru bagi kami," kata Zaw dalam keterangannya kepada media di Myawaddy, Myanmar.
Sindikat Penipuan Online Memperdaya Ribuan Korban
Ribuan orang ini hanyalah sebagian kecil dari ratusan ribu korban yang tersebar di berbagai negara di Asia Tenggara.
Banyak di antara mereka dijebak untuk bekerja di pusat-pusat penipuan online di Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Sindikat ini menjalankan modus penipuan dengan berbagai cara, seperti skema asmara palsu (romance scam), penawaran investasi bodong, hingga perjudian ilegal.
Para korban awalnya dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, tetapi begitu tiba di lokasi, mereka justru terjebak dalam perbudakan modern, dipaksa menipu orang lain dengan ancaman kekerasan.
Direktur Asia Tenggara untuk kelompok bantuan Acts of Mercy International, Amy Miller, mengungkapkan bahwa ia belum pernah melihat pembebasan korban perdagangan manusia dalam jumlah sebesar ini.
Ia menilai pemerintah Thailand telah berusaha semaksimal mungkin, namun jumlah korban yang sangat besar membuat situasi semakin sulit.
"Mereka mencapai ribuan orang, dan menampung serta memberi makan mereka bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar negara," kata Miller, yang berbasis di Mae Sot, perbatasan Thailand-Myanmar.
Miller juga menekankan pentingnya peran negara asal para korban untuk ikut bertanggung jawab dalam menangani warganya.
Perbatasan Thailand-Myanmar Dijaga Ketat
Mae Sot, kota perbatasan di Thailand, kini menjadi pusat utama repatriasi massal. Di sepanjang jalan menuju kota ini, banyak pos pemeriksaan yang dipasang dengan papan peringatan dalam bahasa Thailand, Inggris, dan China.
Peringatan tersebut mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap risiko perdagangan manusia yang marak di sepanjang perbatasan Myanmar.
Pada Rabu (26/2), tentara Thailand yang bertugas memperketat pemeriksaan kendaraan yang melintas di perbatasan.
Mereka meminta identifikasi pengemudi dan penumpang sebagai langkah pencegahan terhadap jaringan perdagangan manusia yang masih aktif beroperasi.
Kasus ini menjadi peringatan bagi banyak orang untuk lebih berhati-hati terhadap tawaran pekerjaan yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Penindakan terhadap sindikat penipuan online ini diharapkan dapat mengurangi jumlah korban yang terjebak dalam kejahatan siber di masa mendatang.
Editor: Yakop | Sumber: VOA Indonesia