Berita Borneotribun.com: Penipuan Online Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Penipuan Online. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penipuan Online. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Maret 2025

Dua WNA Cina Ditangkap di SCBD Terkait Sindikat Kejahatan Siber Internasional

Dua WNA Cina Ditangkap di SCBD Terkait Sindikat Kejahatan Siber Internasional
Dua WNA Cina Ditangkap di SCBD Terkait Sindikat Kejahatan Siber Internasional. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berhasil membongkar sindikat kejahatan siber internasional yang menggunakan teknologi fake BTS untuk menyebarkan SMS phishing secara ilegal. 

Dalam operasi yang digelar di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, dua warga negara asing (WNA) asal Cina berhasil ditangkap.

Modus Kejahatan: Fake BTS dan SMS Phishing

Kasus ini terungkap setelah salah satu bank swasta menerima aduan dari 259 nasabah yang mendapatkan SMS mencurigakan. 

Dari jumlah tersebut, delapan orang yang mengklik tautan phishing dalam SMS tersebut mengalami kerugian total hingga Rp289 juta. 

Berdasarkan penyelidikan lebih lanjut, total kerugian akibat aksi ini telah mencapai Rp473 juta dengan 12 korban.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada menjelaskan modus yang digunakan oleh para pelaku. Mereka memanfaatkan perangkat fake BTS untuk memanipulasi jaringan seluler.

“Pelaku menggunakan fake BTS untuk menangkap sinyal asli BTS 4G dan menurunkannya ke 2G. Setelah itu, mereka mengirimkan SMS blast ke ponsel di sekitar. Karena sinyal palsu ini lebih kuat, ponsel korban secara otomatis menerima pesan berisi tautan palsu yang menyerupai situs resmi bank,” ujar Komjen Wahyu dalam konferensi pers di Lobby Bareskrim, Senin (24/3).

Dua WNA Cina Ditangkap di SCBD

Dua WNA Cina Ditangkap di SCBD Terkait Sindikat Kejahatan Siber Internasional
Polisi Ungkap Sindikat Penipuan Online dengan Teknologi Fake BTS di SCBD Jakarta.

Dua tersangka yang ditangkap berinisial XY dan YXC. Mereka ditangkap saat sedang mengemudikan mobil Toyota Avanza yang telah dimodifikasi dengan perangkat fake BTS. 

Peran mereka hanyalah sebagai operator lapangan yang berkeliling di area ramai untuk menyebarkan sinyal palsu ke lebih banyak ponsel.

“Mereka hanya disuruh mutar-mutar saja. Semua sistem sudah diatur dari pusat. Bahkan, siapa pun bisa melakukannya karena tidak butuh keahlian teknis khusus,” tambah Komjen Wahyu.

Diketahui, tersangka XY baru masuk ke Indonesia pada Februari 2025 dan dijanjikan gaji sebesar Rp22,5 juta per bulan. 

Sementara itu, tersangka YXC sudah beberapa kali keluar masuk Indonesia sejak 2021 menggunakan visa turis. 

Ia juga tergabung dalam grup Telegram bernama “Stasiun Pangkalan Indonesia”, yang digunakan untuk membahas operasional fake BTS.

Barang Bukti yang Diamankan

Dalam operasi ini, Polri mengamankan berbagai barang bukti, antara lain:

  • 2 unit mobil yang telah dimodifikasi dengan perangkat fake BTS
  • 7 unit handphone
  • 3 kartu SIM
  • 2 kartu ATM
  • Dokumen identitas milik tersangka YXC

Pasal yang Dikenakan dan Ancaman Hukuman

Para tersangka dijerat dengan sejumlah pasal, yaitu:

  • UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE);
  • UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  • UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU);
  • Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam kejahatan.

Dengan pasal-pasal tersebut, para pelaku terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.

Polri Terus Kembangkan Kasus

Polri masih terus menyelidiki jaringan kejahatan ini, termasuk mencari pelaku utama yang diduga mengendalikan operasi dari luar negeri. 

Kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, Imigrasi, hingga Interpol akan dilakukan guna menelusuri sindikat ini lebih dalam.

Komjen Wahyu juga mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati terhadap SMS atau pesan WhatsApp yang mencurigakan, terutama yang berisi tautan tidak dikenal.

“Kalau kita bukan nasabah Bank X, lalu tiba-tiba dapat SMS berisi informasi poin atau saldo dari Bank X, itu tidak masuk akal. Tapi karena ada iming-iming hadiah, banyak orang yang langsung percaya. Jadi, jangan sembarangan klik tautan yang mencurigakan,” tegasnya.

Tips Menghindari Penipuan Online

Agar tidak menjadi korban penipuan online seperti ini, masyarakat diimbau untuk: 

Tidak mengklik tautan mencurigakan yang dikirim melalui SMS atau WhatsApp. 

Selalu cek URL resmi sebelum memasukkan data pribadi. 

Aktifkan fitur keamanan tambahan pada akun bank, seperti verifikasi dua langkah. 

Laporkan SMS mencurigakan ke pihak berwenang atau bank terkait.

Dengan semakin canggihnya modus kejahatan siber, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat menjadi kunci utama untuk menghindari jebakan penipu online.

Kamis, 20 Maret 2025

Hati-Hati! Korban Penipuan Trading Alami Kerugian Rp105 Miliar

Hati-Hati! Korban Penipuan Trading Alami Kerugian Rp105 Miliar
Hati-Hati! Korban Penipuan Trading Alami Kerugian Rp105 Miliar. (Gambar ilustrasi)

JAKARTA - Kasus penipuan trading kembali terjadi di Indonesia. Kali ini, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap modus penipuan yang merugikan korban hingga Rp105 miliar. 

Dalam kasus ini, tiga tersangka telah diamankan, yakni AN alias Aciang alias Along, MSD, dan WZ.

Modus Penipuan Trading yang Digunakan

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji, menjelaskan bahwa para pelaku menawarkan jasa trading ilegal dalam bentuk saham dan mata uang kripto. 

Mereka menarik korban dengan memasang iklan di Facebook, yang jika diklik, akan mengarahkan korban ke akun WhatsApp yang mengaku sebagai "Prof AS".

Setelah itu, korban akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang berisi akun-akun lain yang berperan sebagai mentor dan sekretaris bisnis investasi bodong ini. 

Mereka menawarkan keuntungan besar, mulai dari 30% hingga 200%, untuk menarik minat korban agar bergabung.

Para korban kemudian diarahkan untuk membuat akun di tiga platform trading ilegal, yakni JYPRX, SYIPC, dan LEEDXS. 

Untuk semakin meyakinkan korban, pelaku memberikan hadiah seperti jam tangan dan tablet bagi mereka yang berinvestasi dalam jumlah besar.

Hati-Hati! Korban Penipuan Trading Alami Kerugian Rp105 Miliar
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap kasus scam trading saham dan mata uang kripto.

Ciri-Ciri Trading Bodong yang Harus Diwaspadai

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan investasi yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat. 

Berikut adalah beberapa ciri-ciri trading bodong yang perlu diwaspadai:

  1. Menjanjikan keuntungan fantastis dalam waktu cepat.
  2. Menggunakan iklan agresif di media sosial untuk menarik korban.
  3. Meminta transfer dana ke rekening pribadi atau perusahaan nomine.
  4. Menggunakan skema rekrutmen di mana investor lama diajak mencari anggota baru.
  5. Menunda pencairan dana dengan alasan biaya administrasi atau transfer fee.
  6. Tidak memiliki izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Cara Menghindari Penipuan Trading

Agar tidak menjadi korban modus penipuan trading, berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  • Cek legalitas platform trading melalui situs OJK atau Bappebti.
  • Jangan mudah tergiur janji keuntungan besar dalam waktu singkat.
  • Gunakan platform resmi dan terpercaya untuk berinvestasi.
  • Hindari investasi yang mengharuskan rekrutmen anggota baru.
  • Selalu lakukan riset dan cari informasi lebih lanjut sebelum berinvestasi.

Langkah Hukum yang Dilakukan

Polisi telah berhasil mengidentifikasi 67 rekening yang digunakan para pelaku untuk menampung dana hasil penipuan. 

Sejauh ini, jumlah korban yang melapor mencapai 90 orang dengan total kerugian mencapai Rp105 miliar.

Penyidik telah memblokir dan menyita dana sebesar Rp1,5 miliar dari rekening-rekening tersebut. 

Para tersangka dijerat dengan berbagai pasal, termasuk Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang ITE, Pasal 378 KUHP, serta pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Kasus ini menjadi pengingat bahwa investasi bodong masih marak terjadi dan mengincar siapa saja yang lengah. 

Dengan mengenali ciri-ciri trading bodong dan memahami cara menghindari penipuan trading, kita bisa lebih waspada dan terhindar dari kerugian besar. 

Jangan mudah tergiur keuntungan besar tanpa analisis yang matang. Selalu pastikan bahwa platform investasi yang digunakan telah memiliki izin resmi dan kredibel.

Tetap waspada, dan selalu lakukan riset sebelum berinvestasi!

Kamis, 27 Februari 2025

7.000 orang Korban Penipuan Online Ditahan di Perbatasan Myanmar Menunggu Pemulangan

7.000 orang Korban Penipuan Online Ditahan di Perbatasan Myanmar Menunggu Pemulangan
7.000 orang Korban Penipuan Online Ditahan di Perbatasan Myanmar Menunggu Pemulangan.

JAKARTA - Lebih dari 7.000 orang dari berbagai negara kini ditahan di kota perbatasan Myanmar sambil menunggu pemulangan mereka ke negara asal. 

Mereka adalah korban yang terjebak dalam pusat-pusat penipuan online yang beroperasi di Asia Tenggara. 

Penangkapan besar-besaran ini merupakan bagian dari tindakan keras yang digalakkan oleh otoritas di Thailand, Myanmar, dan China untuk memberantas sindikat kejahatan siber.

Menurut pihak yang terlibat dalam upaya penyelamatan korban, skala repatriasi yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat pemerintah Myanmar dan Thailand kewalahan. 

Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pemulangan para korban ke negara masing-masing.

Juru bicara Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) Myanmar, Letnan Kolonel Naing Maung Zaw, mengungkapkan bahwa awalnya pihaknya berencana memulangkan sekitar 500 orang per hari. 

Namun, jumlah tahanan terus bertambah hingga mencapai lebih dari 7.000 orang.

"Awalnya negara asal mereka yang meminta repatriasi, tetapi sekarang mereka enggan menerimanya kembali, sehingga menjadi masalah baru bagi kami," kata Zaw dalam keterangannya kepada media di Myawaddy, Myanmar.

Sindikat Penipuan Online Memperdaya Ribuan Korban

Ribuan orang ini hanyalah sebagian kecil dari ratusan ribu korban yang tersebar di berbagai negara di Asia Tenggara. 

Banyak di antara mereka dijebak untuk bekerja di pusat-pusat penipuan online di Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Sindikat ini menjalankan modus penipuan dengan berbagai cara, seperti skema asmara palsu (romance scam), penawaran investasi bodong, hingga perjudian ilegal. 

Para korban awalnya dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, tetapi begitu tiba di lokasi, mereka justru terjebak dalam perbudakan modern, dipaksa menipu orang lain dengan ancaman kekerasan.

Direktur Asia Tenggara untuk kelompok bantuan Acts of Mercy International, Amy Miller, mengungkapkan bahwa ia belum pernah melihat pembebasan korban perdagangan manusia dalam jumlah sebesar ini. 

Ia menilai pemerintah Thailand telah berusaha semaksimal mungkin, namun jumlah korban yang sangat besar membuat situasi semakin sulit.

"Mereka mencapai ribuan orang, dan menampung serta memberi makan mereka bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar negara," kata Miller, yang berbasis di Mae Sot, perbatasan Thailand-Myanmar.

Miller juga menekankan pentingnya peran negara asal para korban untuk ikut bertanggung jawab dalam menangani warganya.

Perbatasan Thailand-Myanmar Dijaga Ketat

Mae Sot, kota perbatasan di Thailand, kini menjadi pusat utama repatriasi massal. Di sepanjang jalan menuju kota ini, banyak pos pemeriksaan yang dipasang dengan papan peringatan dalam bahasa Thailand, Inggris, dan China. 

Peringatan tersebut mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap risiko perdagangan manusia yang marak di sepanjang perbatasan Myanmar.

Pada Rabu (26/2), tentara Thailand yang bertugas memperketat pemeriksaan kendaraan yang melintas di perbatasan. 

Mereka meminta identifikasi pengemudi dan penumpang sebagai langkah pencegahan terhadap jaringan perdagangan manusia yang masih aktif beroperasi.

Kasus ini menjadi peringatan bagi banyak orang untuk lebih berhati-hati terhadap tawaran pekerjaan yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. 

Penindakan terhadap sindikat penipuan online ini diharapkan dapat mengurangi jumlah korban yang terjebak dalam kejahatan siber di masa mendatang.

Editor: Yakop | Sumber: VOA Indonesia