Berita Borneotribun.com: Nuklir Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Nuklir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nuklir. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Agustus 2024

Trump dan Elon Musk Bahas Imigrasi hingga Perang Nuklir

Trump dan Elon Musk Bahas Imigrasi hingga Perang Nuklir
Trump dan Elon Musk Bahas Imigrasi hingga Perang Nuklir.
JAKARTA - Pada Senin lalu, mantan Presiden Donald Trump dan CEO Tesla sekaligus pemilik X, Elon Musk, mengadakan percakapan ramah di platform X setelah wawancara mereka sempat tertunda lebih dari 40 menit karena kendala teknis. 

Wawancara ini menjadi sorotan, karena menandai kembalinya Trump ke X setelah hampir setahun tidak aktif.

Penundaan ini menjadi salah satu rintangan terbaru dalam kampanye Trump yang sedang berusaha mendapatkan kembali momentum, terutama setelah Partai Demokrat bersatu di belakang Wakil Presiden Kamala Harris. 

Trump dan Elon Musk Bahas Imigrasi hingga Perang Nuklir
Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Ini juga menjadi kali kedua Musk mengalami kesulitan teknis saat mencoba meluncurkan X Space dengan seorang kandidat presiden.

Percakapan ini dipenuhi dengan pujian dari kedua belah pihak. Trump berterima kasih kepada Musk atas dukungannya, sementara Musk mengungkapkan pandangannya bahwa dunia sedang berada di persimpangan jalan, dan Trump adalah "jalan yang benar" untuk diambil. 

Tak ketinggalan, Trump juga sempat membahas berbagai topik mulai dari kebijakan energi, perubahan iklim, hingga ancaman perang nuklir.

Trump dan Musk juga membicarakan isu imigrasi, di mana Trump kembali menekankan rencananya untuk melakukan deportasi besar-besaran jika terpilih kembali. 

Musk, di sisi lain, mengusulkan pembentukan komisi presiden baru yang fokus pada "efisiensi pemerintahan" dan bahkan menawarkan dirinya untuk memimpin komisi tersebut, yang disambut hangat oleh Trump.

Selama wawancara, Trump juga mengulang berbagai klaim yang sering ia sampaikan, termasuk tuduhan tanpa bukti bahwa Demokrat berencana untuk menggulingkan Presiden Joe Biden dari pemilihan. 

Selain itu, ia mengkritik kondisi mental Biden dan mengomentari sampul majalah Time yang menampilkan Harris.

Percakapan ini menarik perhatian, terutama ketika Trump terdengar seperti mengalami kesulitan berbicara pada beberapa kesempatan. 

Trump dan Elon Musk Bahas Imigrasi hingga Perang Nuklir
Elon Musk.
Meskipun begitu, juru bicara kampanye Trump, Steven Cheung, menepis kekhawatiran tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh masalah pendengaran dari pihak penonton.

Kampanye Harris tak ketinggalan memberikan respons, menyebut Trump dan Musk sebagai "orang kaya yang egois" yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri.

Wawancara ini mungkin menandai awal dari lebih banyak kolaborasi antara Trump dan Musk di masa depan. 

Dengan berbagai topik menarik yang dibahas, dari energi hingga AI, "Trump Musk interview" ini memberikan gambaran tentang bagaimana keduanya mungkin bekerja sama jika Trump kembali ke Gedung Putih.

Rabu, 15 Februari 2023

Kemlu RI Belum Bisa Konfirmasi Tujuan Kerja Sama Nuklir Myanmar-Rusia

Kemlu RI Belum Bisa Konfirmasi Tujuan Kerja Sama Nuklir Myanmar-Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan dengan Perdana Menteri Myanmar Min Aung Hlaing selama pertemuan di sela-sela Forum Ekonomi Timur (EEF) 2022 di Vladivostok, Rusia 7 September 2022. (Valeriy Sharifulin/TASS Host Photo Agency/Handout via REUTERS)
JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan tidak mudah menilai tujuan kerjasama teknologi nuklir yang dilakukan oleh Myanmar dengan Rusia. Indonesia adalah negara yang juga mendukung kerjasama bilateral atau internasional mengenai pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud-maksud damai.  

Junta militer Myanmar pekan lalu menandatangani kerjasama dengan Rusia di bidang teknologi nuklir.

Perdana Menteri, Kepala Dewan Administrasi Negara dan Jendral Senior Min Aung Hlaing menyaksikan langsung penandatangan kerjasama membangun reaktor nuklir kecil (small nuclear power plants SNPP) di Pusat Informasi Teknologi Nuklir di Yangon.

Perjanjian itu ditandatangani oleh Menteri Persatuan Untuk Sains dan Teknologi Myanmar Dr. Myo Thein Kyaw, sementara pihak Rusia diwakili oleh Dirjen Rosatom Alexey Likhacev. Mengutip laporan beberapa media lokal di Myanmar dan Rusia, kerjasama itu dinilai sebagai “langkah logis” kelanjutan hubungan antara Myanmar dan Rusia, yang memberikan “dasar-dasar yang solid” bagi kerjasama lebih lanjut.

Perjanjian ini tampaknya menindaklanjuti kerjasama teknologi nuklir yang disepakati sebelumnya pada September 2022.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam jumpa pers, Kamis (12/5). (Foto: VOA/Indra Yoga)
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam jumpa pers, Kamis (12/5). (Foto: VOA/Indra Yoga)
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan tidak mudah menilai tujuan kerjasama nuklir kedua negara itu. Diwawancara VOA hari Selasa (14/2), juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengatakan sesuai hukum internasional, kerjasama di bidang teknologi nuklir dibolehkan selama untuk tujuan damai, seperti bidang kesehatan dan sebagainya.

“Pertama, yang harus dicari tahu adalah substansi yang dituangkan dalam kerjasama di antara kedua negara. Itu yang menjadi rujukan untuk bisa mengetahui sifat dari kerjasama dan intensi dari kerjasama yang dibangun. Jadi itu dua hal yang perlu dipastikan lebih dahulu," kata Faizasyah.

Di sisi lain, lanjut Faizasyah, Indonesia adalah negara yang juga mendukung kerjasama bilateral atau internasional mengenai pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud-maksud damai. Dia menambahkan tidak mudah untuk membangun fasilitas nuklir untuk kepentingan pertahanan dan ini merupakan peran dari Badan Energi Atom Internasional IAEA untuk melakukan verifikasi.

Faizasyah belum bisa memastikan apakah kerjasama teknologi nuklir Myanmar-Rusia akan menjadi salah satu agenda pembahasan dalam pertemuan ASEAN selanjutnya.

Pengamat: Wajar Jika Kerjasama Nuklir Myanmar-Rusia Memicu Kekhawatiran

Pengamat ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga menjelaskan wajar jika kerjasama reaktor nuklir antara Myanmar dan Rusia memicu kekhawatiran.

"Ketika dalam posisi sekarang Myanmar lagi tidak stabil, di mana lebih dikuasai oleh militer, ya wajar saja semua orang, terutama dari oposisi Myanmar khawatir jangan sampai ini disalahgunakan untuk membentuk senjata nuklir," ujar Pandu.

Pandu menilai junta Myanmar pintar memanfaatkan momentum. Saat Rusia dimusuhi negara-negara Barat, Myanmar mendekati negara Beruang Merah itu dan berhasil menjalin kerjasama di bidang teknologi nuklir.

Menurut Pandu, jika krisis politik dan keamanan di Myanmar berlarut-larut maka akan mengganggu hubungan Myanmar dengan Rusia dan China. Dia menilai kerjasama nuklir Myanmar-Rusia merupakan kepentingan pragmatis dan jangka pendek dari kedua negara.

Dia melihat belum ada indikasi kerjasama nuklir antara Myanmar dan Rusia bertujuan memproduksi senjata pemusnah massal di jangka pendek atau panjang. Sebab untuk menghasilkan senjata nuklir dibutuhkan banyak modal.

Selain itu, lanjut Pandu, Rusia merupakan salah satu mitra dialog ASEAN yang menandatangani perjanjian bebas senjata nuklir untuk kawasan Asia Tenggara dengan sepuluh negara anggota ASEAN, termasuk Myanmar.

Meski demikian, ujarnya, Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini harus lebih fokus pada pelaksanaan lima poin konsensus oleh junta Myanmar yang hingga belum kelihatan hasilnya. Indonesia juga harus terus melobi Rusia dan Cina agar membantu penyelesaian krisis politik di Myanmar.

Junta militer Myanmar mengumumkan akan menggunakan energi nuklir untuk kepentingan rakyat.

Namun, pihak oposisi mengungkapkan kekhawatiran bahwa teknologi ini akan dimanfaatkan secara militer mengingat konflik bersenjata di Myanmar masih berlangsung.

Dalam waktu dua tahun sejak kudeta militer 1 Februari 2021, Min Aung Hlaing telah tiga kali mengunjungi Rusia untuk membahas proyek nuklir. [fw/em]

Oleh: VOA Indonesia
Editor: Yakop

Senin, 26 September 2022

Jika Putin Nekat Gunakan Senjata Nuklir

Jika Putin Nekat Gunakan Senjata Nuklir
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam  pertemuan lewat konferensi video bersama dengan CEO Gazprom Alexei Miller. Biro Pers dan Informasi Kepresiden Rusia/www.kremlin.ru
Media Borneo, Jakarta - Andai dunia 77 tahun lalu sudah mengenal satelit dan media sosial, bom atom mungkin tak akan pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.

Beberapa tahun setelah bom atom dijatuhkan di dua kota di Jepang pada Perang Dunia II itu, sebagian pelaku di balik bom atom menyesal telah menjatuhkan senjata pemusnah massal itu, walaupun keputusan itu telah membuat Jepang menyerah untuk kemudian mengakhiri Perang Dunia II sekaligus menciptakan penderitaan puluhan juta manusia yang di sengsarakan oleh pendudukan Jepang.

Di antara yang menyesal adalah Robert Oppenheimer dan Mayor Claude Eatherly.

Oppenheimer adalah fisikawan yang memimpin proyek pembuatan bom atom, sedangkan Eatherly adalah satu-satunya pilot yang terlibat dalam penjatuhan bom atom di Jepang yang menyesal telah menjatuhkan bom atom.

Saking menyesalnya, Eatherly rutin mengirimkan gajinya untuk warga kota Hiroshima, menulis surat penyesalan dan berusaha bunuh diri.

Oppenheimer dan Eatherly menjadi menyesal setelah beberapa lama kemudian mengetahui ratusan ribu orang yang sebagian besar korban tak berdosa mati karena bom atom. Bom atom juga memusnahkan pencapaian-pencapaian besar dari peradaban manusia.

Kedua orang ini baru mengetahui semua itu jauh setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki karena saat itu media massa tak bisa melaporkan peristiwa secepat seperti sekarang.

Pada era itu media perlu menunggu paling sekian hari, termasuk visualisasi bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.

Bayangkan jika itu terjadi di zaman ini di mana peristiwa yang terjadi beberapa detik lalu bisa disaksikan beberapa detik kemudian oleh manusia sejagat.

77 tahun kemudian, setelah serangan balasan Ukraina memukul mundur pasukan Rusia di Ukraina timur laut, Presiden Rusia Vladimir Putin untuk ke sekian kali mengeluarkan ancaman menggunakan senjata nuklir.

Didahului referendum di daerah-daerah pendudukan Rusia di Donbas dan Ukraina selatan, Rusia diyakini segera menyatukan wilayah-wilayah itu ke dalam teritorialnya.

Dengan cara ini Rusia membuat demarkasi bahwa setiap serangan ke wilayah-wilayah yang baru saja menggelar referendum itu adalah juga serangan terhadap Rusia.

Dalam skenario ini, Putin merasa sah menggunakan instrumen perang apa pun, termasuk senjata nuklir, guna mencegah wilayah-wilayahnya yang didudukinya itu diserang oleh Ukraina.

Kecaman dunia

Banyak yang menilai ancaman ini gertakan, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap serius, lebih karena pribadi Putin tak bisa ditundukkan oleh apa pun dan siapa pun.

Pertanyaannya apakah Putin akan mampu memikul kecaman manusia sejagat ketika bom nuklir diledakkan di Ukraina?

Apakah dia bisa menjamin rakyat Rusia terus mendukungnya ketika dunia serempak marah karena senjata pemusnah massal diledakkan di Ukraina? Apakah dia yakin posisinya akan aman-aman saja setelah senjata nuklir diledakkan?

Presiden Harry Truman yang memerintahkan Nagasaki dan Hiroshima dibom atom pada Perang Dunia II, tertolong oleh media massa yang jauh lebih lambat dari sekarang sehingga opini global anti-perang nuklir baru terbentuk beberapa puluh tahun kemudian.

Akan tetapi jika pada era ini ada seorang pemimpin yang memerintahkan penggunaan bom nuklir maka dia harus juga bersiap menghadapi reaksi instan dari seluruh dunia yang mungkin terjadi dalam hitungan jam atau menit, setelah serangan nuklir itu.

Jagat era ini berbeda dengan dunia 77 tahun. Kini, satelit, drone, dan pesawat-pesawat pengindra jarak jauh bertebaran di seluruh penjuru langit.

Sampai setahun lalu ada 4.550 satelit yang mengorbit Bumi. Beberapa di antaranya khusus ditujukan untuk misi militer.

Beberapa lainnya disewa untuk kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk mendokumentasikan aksi-aksi anti-kemanusiaan yang pelakunya kemudian dibawa ke Pengadilan Internasional.

Contohnya, bukti kekejaman junta militer Myanmar yang didokumentasikan dengan jelas oleh satelit ketika media massa tak bisa melakukannya.

Di antara satelit-satelit itu ada yang fokus memperhatikan Perang Ukraina dan menangkap setiap momen luar biasa, termasuk dalam kepentingan mengadili pelaku kejahatan perang, seperti dalam kaitannya dengan kejahatan perang tentara Rusia di Bucha dan Izium.

Berulang kali citra satelit membantah pembelaan rezim bahwa tidak terjadi kejahatan perang atau kemanusiaan di wilayah operasinya, tidak saja di Ukraina tapi di seluruh dunia.

Satelit-satelit yang sama akan siap merekam ledakan bom nuklir dalam waktu seketika untuk kemudian disebarkan ke seluruh dunia dengan jauh lebih cepat dan jauh lebih viral dibandingkan dengan masa mana pun dalam sejarah umat manusia.

Miliaran pasang mata bakal menjadi saksi kedahsyatan bom itu beberapa menit atau jam setelah bom nuklir diledakkan.

Rugi sendiri

Pada masa lalu butuh beberapa hari bagi media melaporkan dampak kerusakan akibat perang, bencana, dan malapetaka lainnya. Namun drone dan satelit era ini akan membuat manusia mendapatkan laporan dampak serangan nuklir tak lama setelah ledakan bom nuklir.

Ketika itu terjadi, media massa dan juga media sosial, akan serempak menyebarluaskan kengerian dan kerusakan akibat bom nuklir ke seluruh dunia, lengkap dengan visualisasinya.

Padahal dalam teori komunikasi, citra visual kerap memicu emosi manusia, mulai rasa senang, sedih, takut, ngeri, marah, dan seterusnya. Citra atau image yang entah foto atau video, memainkan peran amat kuat dalam membentuk persepsi manusia terhadap realitas, termasuk realitas perang.

Dalam konteks ini, foto-foto dan video kedahsyatan bom nuklir hampir pasti menciptakan rasa ngeri yang kemudian memicu amarah terhadap mereka yang meledakannya. Ketika ini terjadi maka bakal ada sikap global menolak perang dan bom nuklir.

Ketika kehancuran dan kesengsaraannya terlalu besar seperti sudah terlihat di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, maka pihak-pihak yang memicu perang, terlebih yang memerintahkan penggunaan senjata nuklir, bakal menjadi sasaran utama kemarahan manusia sedunia.

Hanya orang yang tidak memiliki empati yang mengglorifikasi serangan nuklir. Sebaliknya, kecaman dan kemarahan yang amat besar akan makin merongrong posisi Rusia, khususnya Vladimir Putin.

Kemarahan itu tidak hanya akan terjadi di Ukraina dan mayoritas dunia yang menentang aneksasi wilayah negara berdaulat oleh negara lainnya, namun juga mereka yang selama ini dianggap sekutu Rusia.

China yang senantiasa berusaha berpegang kepada konsensus global pun sangat mungkin mengubah sikapnya terhadap Rusia, apalagi Pakta Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) yang diprakarsai PBB dan mulai berlaku sejak 22 Januari 2021, membuat dunia mencapai konsensus untuk tidak menggunakan senjata nuklir.

Dengan segala skenario ini, Putin bisa dipaksa berpikir seribu kali sebelum menggunakan senjata nuklir.

Penggunaan senjata nuklir juga bisa memperkeras, memperluas, dan memperlama sanksi kepada Rusia yang akhirnya kian menyengsarakan rakyatnya dan kemudian bisa berbalik menciptakan masalah besar pada kelangsungan rezim Putin sendiri.

Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini mengecam ketidakberpihakan sejumlah negara dalam konflik Ukraina-Rusia, persis seperti Menteri Luar Negeri AS era awal Perang Dingin, John Foster Dulles, yang menyebut netralitas sebagai tak bermoral.

Pandangan ini akan makin umum di Barat jika Putin nekat meledakkan bom nuklir di Ukraina sehingga sangat mungkin kian banyak negara yang menentang Rusia, bukan karena definisi Barat tentang perang Ukraina, melainkan karena persoalan moral di balik penggunaan senjata nuklir.

Intinya penggunaan senjata nuklir hanya akan merugikan Rusia atau lebih tepatnya Putin sendiri.

Pewarta : Jafar M Sidik/Antara
Editor : Yakop

Sabtu, 16 April 2022

Zelensky mengatakan dunia harus mempersiapkan Rusia untuk menggunakan Senjata Nuklir

Zelensky mengatakan dunia harus mempersiapkan Rusia untuk menggunakan Senjata Nuklir
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.


BorneoTribun Jakarta -- Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky  pada hari Jumat memperingatkan bahwa dunia harus menanggapi dengan serius dan mempersiapkan kemungkinan bahwa Rusia dapat menggunakan senjata nuklir dalam serangannya ke Ukraina. 


"Bukan hanya saya - saya pikir seluruh dunia, semua negara, harus khawatir, karena itu mungkin bukan informasi yang nyata, tetapi itu bisa menjadi kebenaran," kata Zelensky  kepada Jake Tapper dari CNN  ketika ditanya apakah dia khawatir dengan Presiden Rusia Vladimir . Putin mungkin menggunakan senjata nuklir taktis di Ukraina. 


Zelensky juga mengatakan Moskow dapat dengan mudah menggunakan senjata nuklir atau kimia, karena Putin tidak menghargai nyawa warga Ukraina.  


“Mereka bisa melakukannya, bagi mereka kehidupan orang-orang [tidak berarti] apa-apa,” kata Zelensky. “Kita harus berpikir, jangan takut, bersiaplah. Tapi itu bukan pertanyaan … hanya untuk Ukraina tetapi untuk seluruh dunia, saya pikir begitu.” 


Pesan Zelensky adalah perubahan mencolok dari  komentar yang dia buat bulan lalu , ketika dia mengatakan ancaman Putin  untuk menggunakan kekuatan nuklir jika Barat terlibat dalam perang adalah “gertakan.”  


Pada saat itu,  Putin baru-baru ini memerintahkan  agar pasukan nuklirnya disiagakan lebih tinggi setelah Zelensky berulang kali meminta NATO untuk memberlakukan zona larangan terbang di atas Ukraina. 


“Saya pikir ancaman perang nuklir adalah gertakan. Menjadi seorang pembunuh adalah satu hal. Lain halnya dengan bunuh diri. Setiap penggunaan senjata nuklir berarti akhir bagi semua pihak, tidak hanya bagi orang yang menggunakannya,” kata Zelensky pada awal Maret.  


Komentar baru Zelensky juga mengikuti yang dibuat oleh Direktur CIA  William Burns  pada hari Kamis, ketika dia mengatakan bahwa AS tidak dapat "menganggap enteng" kesempatan bahwa Rusia dapat menggunakan senjata nuklir karena semakin putus asa dalam invasinya, sekarang di hari ke-51. 


“Mengingat potensi keputusasaan Presiden  Putin  dan kepemimpinan Rusia, mengingat kemunduran yang mereka hadapi sejauh ini secara militer, tidak ada dari kita yang dapat menganggap enteng ancaman yang ditimbulkan oleh potensi penggunaan senjata nuklir taktis atau senjata nuklir hasil rendah,” Burns mengatakan Kamis setelah pidato di Georgia Tech.   


Dunia sekarang menyaksikan dan menunggu ketika pasukan Kremlin — yang mundur dari sebagian besar Ukraina utara setelah gagal merebut ibu kota Kyiv — berkumpul kembali untuk serangan baru di wilayah Donbas di timur. 


(YK/ER)

Kamis, 16 September 2021

Foto-foto Uji Coba Rudal Korea Utara Resmi Mengudara

Foto-foto Uji Coba Rudal Korea Utara Resmi Mengudara
Foto-foto Uji Coba Rudal Korea Utara Resmi Mengudara. 

BorneoTribun Internasional -- Media pemerintah Korea Utara pada Kamis (16/9) pagi menerbitkan gambar-gambar uji coba peluncuran rudal yang dilakukan oleh negara tersebut, menggambarkannya sebagai bagian dari "strategi pertahanan nasional yang baru". 

Akun resmi peluncuran rudal itu tidak menyebutkan kehadiran pemimpin negara tersebut, Kim Jong Un, namun menyoroti anggota politbiro Pak Jong Chun sebagai pengawas uji coba tersebut. 

Foto-foto Uji Coba Rudal Korea Utara Resmi Mengudara. 

Tiga dari empat gambar kecil itu dengan jelas menunjukkan rel-rel kereta api dan gerbong kereta. 

Laporan itu menyebutkan tanggal pengujian, namun tidak mengkonfirmasi jumlah rudal yang diluncurkan, dan hanya menyatakan target sejauh 800 kilometer (497 mil) dari lokasi peluncuran, tanpa menyebutkan rincian lebih lanjut tentang kemampuan teknis rudal tersebut. 

Foto-foto Uji Coba Rudal Korea Utara Resmi Mengudara. 

Peluncuran itu dilakukan dua hari setelah Korea Utara mengatakan pihaknya menembakkan rudal jelajah yang baru dikembangkan, uji coba rudal pertama yang diketahui dalam enam bulan. Itu menyalakan kembali ketegangan di Semenanjung Korea. (mg/jm)

VOA

Rabu, 15 September 2021

AS, Jepang dan Korsel Bertemu di Tokyo Bahas Nuklir Korut

AS, Jepang dan Korsel Bertemu di Tokyo Bahas Nuklir Korut
AS, Jepang dan Korsel Bertemu di Tokyo Bahas Nuklir Korut. 

BorneoTribun Amerika -- Utusan khusus Amerika dan Korea Selatan Selasa berada di Tokyo untuk pembicaraan tentang program senjata nuklir Korea Utara, menyusul uji coba oleh negara itu pada Sabtu dan Minggu. 

Sung Kim, utusan khusus Amerika untuk Korea Utara, dan Noh Kyu-duk, utusan khusus Korea Selatan untuk urusan perdamaian dan keamanan Semenanjung Korea, bergabung dengan direktur jenderal urusan Asia dan Oseania Kementerian Luar Negeri Jepang, Takehiro Funakoshi, untuk pertemuan tentang cara mengatasi perkembangan terakhir dengan Korea Utara. 

Media pemerintah Korea Utara mengukuhkan negara itu menguji coba "rudal jelajah jarak jauh yang baru dikembangkannya" pada Sabtu dan Minggu. 

Rudal jelajah itu terbang pada ketinggian yang relatif rendah dan dapat dipandu. Rudal itu mampu terbang di bawah atau di sekitar radar pertahanan rudal. 

Menurut analis, rudal itu secara visual mirip Tomahawk, rudal jelajah berkemampuan nuklir milik Amerika dengan jangkauan sekitar 1.600 kilometer. 

Korea Utara mengisyaratkan bahwa rudal itu berkemampuan nuklir, tetapi tidak jelas apakah Korea Utara memiliki hulu ledak nuklir yang cukup kecil yang pas dipasang di hulu. 

Terlepas dari itu, rudal tersebut mewakili komponen mematikan lainnya di gudang senjata Korea Utara, yang telah berkembang secara signifikan sejak 2019 ketika melanjutkan uji coba senjata utama. 

Sung Kim mengatakan uji coba baru-baru ini oleh Korea Utara adalah pengingat akan pentingnya komunikasi dan kerja sama yang erat antara Jepang, Korea Utara, dan Amerika. 

Noh setuju, dan mengatakan bahwa ketiga utusan bisa melakukan diskusi terbuka tentang bagaimana "terlibat dengan Korea Utara berdasarkan pemahaman bersama tentang urgensi denuklirisasi." 

Dalam komentar baru-baru ini, Kim mengindikasikan Amerika tetap terbuka untuk diplomasi dalam menangani isu-isu Korea Utara. 

Pyongyang sejauh ini menolak tawaran itu, dan mengatakan tidak ada yang berubah dari Amerika. 

Negara itu mengutip isu-isu seperti sanksi yang sedang berlangsung dan latihan militer gabungan dengan Korea Selatan. [ka/lt]

VOA

Senin, 13 September 2021

Mendorong nuklir menjadi energi “net zero emission”

Mendorong nuklir menjadi energi “net zero emission”
Mendorong nuklir menjadi energi “net zero emission”.

BorneoTribun Jakarta -- Pengembangan kebutuhan energi di Indonesia semakin besar, berbagai kebutuhan mulai harus dipenuhi guna mengisi kokosongan yang harus mulai dipenuhi dengan berbagai inovasi. Sektor energi semakin besar kebutuhannya karena mampu mendorong peningkatan ekonomi bagi daerah yang mampu mengelola kebutuhan dengan baik.

Pemenuhan energi bukan persoalan terpenuhi saja, namun harus menjadi semakin bersih jenisnya mengingat emisi dari residu pembangkit listirik sebisa mungkin harus tidak meninggalkan polusi. Energi baru terbarukan adalah jawaban dari kebutuhan yang ada serta jenis pembangkit yang berkelanjutan kebersihannya.

Nuklir muncul sebagai energi alternatif pilihan, walaupun kemunculanya masih menjadi alternatif pilihan akhir. Beberapa waktu terakhir ini muncul pemikiran bahwa nuklir saatnya didorong untuk menjadi konten energi utama sebagai energi baru terbarukan, karena kebutuhan dan efisiensinya dalam operasional.

Meskipun, pemanfaatan nuklir sebagai energi di Indonesia akan membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang, bahkan sampai puluhan tahun, dikarenakan banyak aspek yang harus dirampungkan persoalannya. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, mengatakan dari total sebanyak 19 aspek yang harus dipenuhi, Indonesia sudah memenuhi sebanyak 16 aspek. Oleh karena itu, pemerintah akan menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) jangka menengah sampai 2024 mendatang.

Dalam upaya adaptasi terhadap transformasi energi tersebut, Indonesia juga tengah memprioritaskan akselerasi pengembangan energi bersih berbasis energi baru dan energi terbarukan (EBT). Melihat perkembangan teknologi EBT yang sangat cepat dan semakin kompetitif dengan energi fosil, Pemerintah meyakini bahwa transisi energi perlu dilakukan secara komprehensif.

Rencana penambahan PLT EBT sendiri, hingga sampai dengan tahun 2035 ditargetkan mencapai 37,30 GW. Strategi pengembangan EBT yang akan dilakukan Pemerintah antara lain implementasi Peraturan Presiden tentang Harga PLT EBT, pengembangan REBID melalui PLTA dan PLTP skala besar yang terintegrasi dengan industri, pengembangan PLTS Skala Besar, pengembangan REBED untuk memacu perekonomian wilayah termasuk daerah 3T, pengembangan biomassa melalui kebun/hutan energi, limbah pertanian dan sampah kota, penambahan jaringan transmisi, menjadikan NTT sebagai lumbung energi (PLTS), serta peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah.

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pengembangan energi nuklir dipersiapkan menjadi opsi penyediaan listrik di masa depan dan program pengembangannya melibatkan Kemenristekdikti, Kementerian ESDM dan BATAN. Opsi penyediaan listrik untuk masa depan dalam RPJM salah satunya adalah pengembangan PLTN di Kalimantan Barat, kemudian peningkatan penguasaan teknologi sebagai garda terdepan dalam hal ini aspek teknis tentunya, yang dikoordinir oleh Batan.

Langkah yang sudah tercantum dalam RPJM 2020-2024 yaitu langkah penelitian, pengembangan, mendorong penguasaan teknologi, membangun kerjasama, melakukan analisis multi kriteria dan menyusun roadmap nuklir. Pada proses riset dan penjajakannya, berbagai pemangku kepentingan mendukug dan menilai proses yang tengah berlangsung untuk mewujudkan energi alternatif nuklir di Kalimantan Barat.

Rektor Untan Pontianak Garuda Wiko bahkan menilai sudah saatnya perlu penguatan pemahaman kepada masyarakat tentang nuklir dan pemanfaatannya apalagi pemerintah sudah merencanakan tentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Penguatan yang dilakukan agar pengetahuan yang sangat terbatas serta adanya persepsi keliru terkait nuklir dapat diluruskan. Pemahaman perlu mengingat karena sangat mempengaruhi sikap penerimaan masyarakat yang dibutuhkan untuk mendukung suatu rencana pembangunan PLTN.

Ia menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia saat ini merencanakan untuk membangun PLTN di Kalbar. Rencana itu mendapat respon yang sangat positif dari pemerintah yang mendukung sepenuhnya rencana tersebut. Antusiasme pemerintah daerah Kalbar untuk mendukung rencana pembangunan PLTN tentunya memiliki berbagai alasan. Harapan akan adanya pasokan listrik yang dipasok oleh PLTN nantinya tentu akan melepaskan ketergantungan Kalbar dari negara tetangga.

Untuk merealisasikan rencana pembangunan PLTN, perlu dilakukan berbagai upaya yang mengarah pada persiapan untuk memulai langkah pembangunan PLTN di Kalbar. Beberapa langkah persiapan pun sudah dimulai sejak tiga tahun belakangan ini.

Selain membutuhkan persiapan yang matang baik dari segi regulasi, finansial, teknologi, keamanan, dan lain sebagainya, masalah dukungan masyarakat akan menjadi masalah yang cukup serius untuk diatasi. Bahkan bisa dipastikan akan mendapat penolakan dari sebagian masyarakat terutama masyarakat umum.

"Hal ini mungkin terjadi apabila masyarakat tidak diberikan informasi dan edukasi yang memadai melalui proses sosialisasi dengan strategi yang tepat. Karena itu, salah satu tantangan berat bagi pemerintah sebagai pelaksana undang-undang adalah bagaimana meningkatkan akseptabilitas energi nuklir melalui peningkatan kepercayaan masyarakat," kata dia.

Semua kebijakan global bergerak menuju transisi energi dan net zero emission. Untuk itu, saat ini Pemerintah sedang menyusun perencanaan strategi jangka panjang tentang pasokan dan permintaan energi untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional.

Target ini dapat diupayakan melalui beberapa strategi antara lain, pertama, pengembangan energi baru dan terbarukan yang masif, yang mencakup semua pembangkit listrik energi terbarukan, nuklir, hidrogen, dan sistem penyimpanan energi baterai.

ANTARA

Minggu, 13 Juni 2021

Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran

Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran
Uni Eropa Catat Kemajuan dalam Pertemuan Nuklir Iran.

BorneoTribun Internasional - Para juru runding Uni Eropa mengatakan perundingan internasional yang dimulai lagi Sabtu (12/6) mengenai perjanjian nuklir Iran, diperkirakan akan bisa menghidupkan lagi perjanjian itu. Perjanjian tersebut sebelumnya gagal setelah AS mundur pada 2018.

Para diplomat senior dari China, Jerman, Perancis, Rusia dan Inggris mengakhiri pertemuan 90 menit dengan wakil-wakil dari Iran di sebuah hotel di ibu kota Austria.

"Kami mencapai kemajuan, tapi perundingan berlangsung intensif dan beberapa isu masih belum terpecahkan, termasuk bagaimana langkah-langkah akan diimplementasikan," kata perwakilan Uni Eropa, Alain Matton, kepada para wartawan di Wina.

AS bukan bagian resmi dari pertemuan-pertemuan yang diluncurkan di Wina awal tahun ini. Namun, pemerintahan Presiden Joe Biden telah mengisyaratkan kesediaan untuk bergabung lagi berdasarkan aturan yang akan memungkinkan AS meringankan sanksi-sanksi terhadap Teheran, dan Iran kembali mematuhi pembatasan aktivitas nuklir yang terkandung dalam perjanjian 2015 itu.

"Uni Eropa akan terus berunding dengan semua peserta ... dan secara terpisah dengan AS untuk menemukan cara untuk meraih perjanjian akhir dalam beberapa hari mendatang," kata Matton.

Para diplomat mengatakan faktor-faktor yang ikut memperumit perundingan termasuk menangani peningkatan kapabilitas pemrosesan nuklir Iran sejak AS mundur, serta pilpres di Iran pekan depan. [vm/ft]

Oleh: VOA

Rabu, 26 Mei 2021

Iran dan Negara-negara Adidaya Mulai Putaran Kelima Perundingan Nuklir

Iran dan Negara-negara Adidaya Mulai Putaran Kelima Perundingan Nuklir
Wakil Menlu Iran Abbas Araghchi meninggalkan lokasi perundingan nuklir yang tertutup untuk media di Wina, Austria, Selasa (25/5).

BorneoTribun Internasional - Negara-negara adidaya hari Selasa (25/5) membuka perundingan putaran kelima dengan Iran untuk mengajak Amerika kembali ke perjanjian nuklir tahun 2015 guna mencegah Iran memproduksi bom nuklir.

Perundingan di Wina itu berlangsung ketika Badan Energi Atom Internasional (IAEA) berhasil mencapai kesepakatan pada menit-menit terakhir, di mana Iran setuju memperpanjang perjanjian tentang keberadaan kamera-kamera pengawas di situs nuklir Iran selama satu bulan lagi.

Masalah itu tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan tentang perjanjian nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama JCPOA, tetapi jika Iran tidak setuju maka hal itu akan memperumit pembicaraan secara serius.

Amerika tidak terlibat secara langsung dalam pembicaraan itu, tetapi delegasi Amerika yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Joe Biden untuk Iran, Rob Malley, juga berada di ibu kota Austria itu.

Perwakilan dari negara-negara lain yang terlibat – yaitu Inggris, Perancis, Rusia, Tiongkok dan Jerman – telah bolak-balik antara Amerika dan Iran untuk memfasilitasi pembicaraan tidak langsung itu.

Juru bicara Uni Eropa, Alain Matton, mengatakan “kami akan melipatgandakan upaya sehingga tujuan pembicaraan yang sedang berlangsung ini dapat tercapai.” [em/lt]

Oleh: VOA

Minggu, 02 Mei 2021

Perundingan Nuklir Iran di Wina Capai Kemajuan

Perundingan Nuklir Iran di Wina Capai Kemajuan
Seorang pekerja mengendarai sepeda melintas di depan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Kota Busher, Iran, 26 Oktober 2010.

BorneoTribun Amerika -- Perunding utama Iran kepada media resmi Iran mengatakan, Sabtu (1/5), bahwa sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap minyak dan bank Iran akan dicabut berdasarkan perjanjian yang dibuat dalam perundingan di Wina.

Reuters melaporkan sebagian mitra Iran dalam perundingan itu, Perancis, Inggris, Jerman dan Rusia, mengatakan perundingan yang difokuskan untuk membawa AS kembali ke perjanjian nuklir Iran itu telah mencapai kemajuan.

Iran dan lima negara lainnya memulai kembali perundingan di Wina yang dimulai bulan lalu untuk menghidupkan lagi perjanjian nuklir 2015 yang ditinggalkan AS tiga tahun lalu.

"Sanksi-sanksi ... terhadap sektor energi Iran, yang termasuk minyak dan gas, atau sanksi-sanksi dalam industri otomotif, keuangan, perbankan dan pelabuhan, semua harus dicabut berdasarkan perjanjian yang disepakati sejauh ini," kata Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi, menurut media pemerintah Iran, setelah perundingan putaran terbaru di Wina yang ditunda selama enam hari.

Araqchi tidak menjelaskan bagaimana atau kapan sanksi-sanksi itu akan dicabut.

Menurut Reuters, Departemen Luar Negeri AS belum segera mengomentari pernyataan Araqchi. [vm/ft]

Oleh: VOA

Kamis, 08 April 2021

Amerika Siap Cabut Sanski yang Tak Sesuai Kesepakatan Nuklir Iran

Dua anggota delegasi Iran sedang berjalan di Kota Wina, Austria, untuk persiapan pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara Barat, Senin, 5 April 2021. (Foto: VOA Persian/Guita Aryan)

BorneoTribun Amerika, Internasional -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Rabu (7/4), mengatakan AS siap mencabut sanksi terhadap Iran untuk melanjutkan kepatuhan terhadap kesepakatan nuklir Iran, termasuk yang tidak sesuai pakta 2015 itu.

Deplu AS tidak memberikan perincian.

"Kami siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk kembali mematuhi JCPOA, termasuk mencabut sanksi yang tidak sesuai JCPOA," kata juru bicara Deplu AS, Ned Price, kepada wartawan.

Ia mengacu pada pakta yang secara resmi disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).

Seorang pejabat AS mengatakan para diplomat dari negara-negara kuat dan Uni Eropa bertemu secara terpisah dengan Iran dan Amerika pada Rabu (7/4) untuk membahas sanksi apa yang mungkin dicabut Amerika dan pembatasan nuklir apa yang mungkin dilakukan Iran dalam upaya mengembalikan kedua negara agar sesuai kesepakatan nuklir 2015.

Lama bermusuhan, Amerika dan Iran mengatakan mereka tidak memperkirakan terobosan cepat dalam pembicaraan yang dimulai di Wina pada Selasa (6/4). Diplomat Eropa dan negara lain menjadi perantara karena Iran menolak pembicaraan tatap muka.

Mantan presiden Donald Trump menarik AS keluar dari pakta 2015 itu, yang intinya adalah mencabut sanksi ekonomi terhadap Iran setelah negara itu membatasi program nuklirnya. Trump lalu menerapkan kembali sanksi sehingga memaksa Iran melanggar batasan dalam perjanjian nuklir itu.

Pihak-pihak yang tersisa dalam pakta itu: Iran, Inggris, China, Prancis, Jerman dan Rusia, Selasa, sepakat membentuk dua kelompok tingkat ahli yang bertugas memadukan daftar sanksi yang bisa dicabut Amerika dengan kewajiban nuklir yang harus dipenuhi Iran.

Para diplomat mengatakan kelompok kerja itu, yang diketuai Uni Eropa dan mengecualikan Amerika, bertemu Rabu (7/4). Seorang pejabat AS yang tidak mau disebut namanya mengatakan delegasi AS di Wina telah diberi pengarahan tentang diskusi tersebut.[ka/jm]

Oleh: VOA

Minggu, 31 Januari 2021

Putin Tandatangani Perpanjangan Perjanjian Senjata Nuklir Rusia-AS Terbaru

Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato di Forum Ekonomi Dunia virtual melalui tautan video dari Moskow pada 27 Januari 2021. (Foto: Mikhail Klimentyev/Sputnik/AFP)

BorneoTribun | Internasional - Presiden Rusia Vladimir Putin, Jumat (29/1), menandatangani RUU yang memperpanjang perjanjian pengawasan senjata nuklir antara Rusia dan Amerika seminggu sebelum perjanjian itu berakhir.

Kedua majelis di parlemen Rusia, Rabu (27/1), memberikan suara bulat untuk memperpanjang perjanjian START Baru selama lima tahun. Putin dan Presiden AS Joe Biden telah membahas perjanjian nuklir sehari sebelumnya, dan Kremlin mengatakan setuju untuk menyelesaikan prosedur perpanjangan yang diperlukan dalam beberapa hari ke depan.

Perjanjian START baru akan berakhir pada 5 Februari. Perpanjangan perjanjian itu tidak memerlukan persetujuan Kongres di AS, tetapi anggota parlemen Rusia harus meratifikasi langkah tersebut. Diplomat Rusia mengatakan perpanjangan akan sah dengan bertukar catatan diplomatik setelah semua prosedur selesai.

Perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada tahun 2010 oleh Presiden Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, membatasi pengerahan setiap negara sampai 1.550 hulu ledak nuklir dan 700 rudal serta pengebom dan mensyaratkan inspeksi di lokasi untuk memverifikasi kepatuhannya.

Biden selama kampanye kepresidenan AS mengisyaratkan ia lebih menyukai perjanjian START baru yang dinegosiasikan selama masa jabatannya sebagai wakil presiden di bawah Obama, berlanjut.

Rusia telah lama mengusulkan perpanjangan perjanjian itu tanpa syarat atau perubahan apa pun, tetapi pemerintahan mantan Presiden Donald Trump menunggu sampai tahun lalu untuk memulai pembicaraan dan membuat perpanjangan dengan serangkaian tuntutan. Pembicaraan terhenti, dan perundingan selama berbulan-bulan gagal mempersempit perbedaan mengenai hal itu. [my/pp]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno