Berita Borneotribun.com: Komunitas Dongeng Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Komunitas Dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Komunitas Dongeng. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Maret 2021

Komunitas Dongeng Bantu Atasi Isu Global melalui Dongeng

Komunitas Dongeng Bantu Atasi Isu Global melalui Dongeng
Emmanuella Mila (kanan) dari "Rumah Dongeng Pelangi" dalam salah satu kegiatan (foto: courtesy).

Mendongeng adalah bentuk pengajaran tertua. Melalui dongeng, komunitas dongeng percaya, anak-anak akan tumbuh menjadi karakter yang dibutuhkan untuk membantu mengatasi berbagai isu global, termasuk berbagai bentuk diskriminasi, yang semakin mencuat belakangan ini.

BorneoTribun Jakarta -- Kalau kita menginginkan anak yang pintar, berdongeng atau bacakan cerita kepada mereka. Kalau kita menginginkan anak yang bernas, berdongenglah atau bacakan mereka lebih banyak cerita.

Emmanuella Mila percaya betul pada kata-kata Albert Einstein tersebut. Itu sebabnya ia membentuk komunitas "Rumah Dongeng Pelangi" (RDP) pada 2010. Tetapi ia percaya, manfaat dongeng atau membacakan cerita kepada anak, jauh lebih besar daripada apa yang diyakini Einstein, misalnya memperkenalkan keragaman.

“Cerita itu kan sangat universal ya…Dongeng atau cerita menjadi media kita sebagai orang dewasa untuk menyampaikan sesuatu yang update juga (tentang) masa sekarang. Komunitas kami sering sekali membuat acara tentang berbeda itu indah,” ungkap Mila.

Salah satu kegiatan Ayodi. Tetap mendongeng di tengah pandemi. (foto: courtesy).

Mila menambahkan filosofi pelangi mencerminkan keragaman. Pendongeng, isi dongeng, dan pendengar dongeng, yang mereka sebut Sahabat Dongeng, beragam.

Susan Bachtiar sependapat dengan Mila. Artis dan foto model ini mengungkapkan sejak Tristan Van Tongeren masih kecil, ia selalu membacakan cerita dan mendongeng. Ia melakukan itu tanpa peduli apakah anaknya mengerti atau tidak. Dari pengalaman, ia menyadari, anaknya mengerti.

“Pada dasarnya, semua anak pasti mengerti kok,” tukasnya.

Muhammad Aryo Farid Zidni alias Aio dari komunitas dongeng Ayo Dongeng Indonesia (Ayodi) (foto: courtesy).

Pendiri komunitas Ayo Dongeng Indonesia (Ayodi), dan beberapa komunitas yang tujuannya menghidupkan dongeng, Muhammad Aryo Farid Zidni alias Aio, mengatakan, “Setiap dongeng memang memiliki pesan tapi dongeng yang baik pesannya tersirat. Jadi, bukan sifatnya seperti ceramah.”

Ayodi dibentuk pada 2011 dan mulai menggelar Festival Dongeng Internasional Indonesia mulai 2013, dikaitkan Hari Dongeng. Dari acara tahunan itu, Aio mengingatkan, dongeng tidak identik anak-anak. Yang justru datang ke acara festival itu dan juga kegiatan Ayodi lainnya, kata Aio, justru lebih banyak remaja dan orang dewasa.

“Di luar Indonesia, di Amerika malah, kebanyakan, yang datang ke festival-festival dongeng kebanyakan adalah remaja-remaja dewasa dan senior citizen (Lansia). Jadi, kadang mereka bikin segmen khusus untuk family, untuk anak-anak. Kalau tidak, yang datang mostly adalah orang dewasa.”

Kiprah komunitas dongeng menyisipkan pesan dalam dongeng, bahkan mencontohkan solusi atas isu-isu dalam masyarakat, menarik perhatian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka meminta Ayodi membantu kampanye antidiskriminasi, toleransi beragama, dan antikekerasan seksual. Aio sedang meriset dongeng-dongeng Nusantara yang terkait pesan tersebut.

Salah satu kegiatan Ayodi (foto: courtesy).

“Kemudian dari cerita rakyat itu, dicari value yang berdekatan kemudian value itu yang menjadi fokus dengan tiga campaign itu. Satu cerita yang ever last, yang selalu didengar, itu ternyata banyak value-nya,” imbuh Aryo.

Pada masa pandemi, jumlah anak yang tertular maupun yang meninggal akibat virus corona dilaporkan sangat sedikit. Namun, berbagai penelitian di Amerika menunjukkan anak-anak menjadi korban virus corona dengan cara berbeda, mulai dari stres, depresi dan penurunan kemampuan membaca.

Mila, Susan, dan Aio mengaku prihatin akan imbas itu. Menurut mereka, seharusnya, justru sebaliknya, seharusnya semakin dekat.

“Dongeng bisa menjadi salah satu media kembali mendekatkan orangtua dengan anak-anak,” cetus Mila.

Salah satu kegiatan Rumah Dongeng Pelangi (foto: courtesy).

Sebelum pandemi, orang tua kerap menjadikan kesibukan di luar rumah sebagai alasan tidak mendongeng. Pada masa pandemi, kata Mila, orang tua mempunyai kesempatan untuk membacakan cerita atau mendongeng, termasuk menjelaskan tentang pandemi atau berbagai peristiwa di dunia, termasuk yang semakin mencuat terutama di Amerika, diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Susan mengatakan anaknya, usia 9 tahun, mengandalkan dongeng sebagai sarana berkomunikasi dengannya, mengungkap perasaan dan pikiran atau mengisahkan pengalaman. Karena senang hewan, ia menggunakan hewan sebagai personifikasi.

“Me time aku dan Tristan kalau malam membaca buku dan mendongeng. Jadi, aku atau dia yang mendongeng? Dia akan eager bercerita kalau punya masalah di sekolah. Makanya kalau dia cerita, aku biasanya tanya, ‘lalu bagaimana perasaan anjing itu sekarang?’ Jadi, dongeng buat kami berdua adalah mengungkap (pe)rasa(an). Apa yang dirasakan dia saat itu, atau aku merasa Tristan harus menjadi pribadi yang lebih baik seperti apa, aku contohkan di dalam dongeng,” ujar Susan.

Sedangkan untuk memberi pemahaman pada anaknya akan isu tertentu, Susan mengatakan, “Sesekali saya akan memasukkan (membacakan) buku yang memiliki pesan di balik buku itu.”

Mendongeng adalah bentuk pengajaran tertua. Dari pengalaman Susan, Mila dan Aio, dongeng mampu membentuk seseorang menjadi karakter yang dibutuhkan untuk menawarkan solusi bagi isu-isu global.[ka/ab]

Oleh: VOA Indonesia

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno