Perbatasan RI-Malaysia di RS Badau Tidak Ada Dokter Spesialis
KAPUAS HULU, KALBAR - Rumah Sakit Badau daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia wilayah Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat hingga saat ini belum memiliki dokter spesialis sehingga cukup berdampak terhadap pelayanan kesehatan masyarakat di daerah tersebut.
"Kami sangat membutuhkan dokter spesialis dan berharap ada perhatian pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di perbatasan," kata Pelaksanaan tugas (Plt) Direktur Rumah Sakit Badau Muhammad Dimas Haryoko, kepada ANTARA, di Putussibau ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Jumat.
Disampaikan Dimas, belum adanya dokter spesialis di Rumah Sakit Badau berdampak terhadap kerja sama pelayanan kesehatan dengan BPJS kesehatan, karena syarat kerja sama itu harus ada minimal satu dokter spesialis.
Menurut dia, kurangnya minat dokter spesialis untuk melamar bekerja di Rumah Sakit Badau, kemungkinan jumlah insentif dokter spesialis yang ditawarkan pemerintah daerah mungkin dirasakan belum cukup besar untuk menarik minat dokter spesialis, dimana untuk saat ini berkisar sekitar Rp35 juta per bulan, disediakan juga gaji pokok dan fasilitas lain seperti rumah dan mobil dinas.
Oleh sebab itu, kata Dimas, manajemen Rumah Sakit Badau terus berupaya berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Hulu dan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat mengenai kekosongan dokter spesialis.
Salah satunya, dengan rencana pembukaan formasi dokter spesialis sebagai tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau tenaga Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Tahun 2023, dengan harapan menarik minat sejawat dokter spesialis untuk bekerja di Rumah Sakit Badau.
Selain itu, dilakukan juga penjajakan dengan beberapa pusat pendidikan dokter spesialis di Indonesia yang sedang diupayakan akan tercipta perjanjian kerjasama agar lulusan dokter spesialis bisa dikirim untuk mengabdi di Rumah Sakit Badau.
"Diharapkan dengan tersedianya dokter spesialis, kerjasama dengan BPJS Kesehatan bisa terwujud kembali sehingga masyarakat bisa menggunakan BPJS saat berobat," ucap Dimas.
Menurut dia lagi, kendala lainnya berupa jumlah sumber daya manusia yang masih kurang.
Dia menyebutkan sampai dengan akhir Januari 2023 jumlah sumber daya manusia (SDM) Rumah Sakit Badau sebanyak 27 orang, terdiri dari tiga orang ASN dan 24 orang merupakan tenaga kontrak.
Selain itu, beberapa profesi seperti perekam medik, analis laboratorium, asisten apoteker, radiografer serta perawat masih kurang dari segi ketersediaan.
Bahkan, beberapa profesi masih kosong seperti dokter gigi, ahli gizi, teknisi elektromedis, ahli kesehatan lingkungan serta ahli teknologi informasi (IT).
Dijelaskan dia, untuk tenaga medis yang tersedia saat ini adalah empat orang dokter umum. Paramedis berjumlah 10 orang perawat, tiga bidan, dua tenaga farmasi serta dua tenaga laboratorium.
"Kekurangan tenaga itu membuat pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa maksimal serta membuat beban kerja tenaga saat ini menjadi berlebihan karena harus merangkap berbagai tugas," tuturnya.
Selain itu, Dinas juga menyampaikan bahwa Rumah Sakit Badau sebenarnya memiliki beberapa potensi seperti sudah tersedianya ruang operasi, bangunan unit transfusi darah serta ruang pelayanan foto rontgen namun saat ini belum bisa dioperasionalkan.
Dia sangat berharap alat kesehatan serta sumber daya manusia yang dibutuhkan bisa cepat terpenuhi agar sarana dan prasarana yang sudah ada bisa difungsikan.
Perbatasan Malaysia
Di sisi lain, juga menceritakan kondisi Rumah Sakit Badau yang berada di daerah terpencil Provinsi Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dengan jarak sekitar 670 kilometer dari Kota Pontianak ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.
Sedangkan, jarak Rumah Sakit Badau dengan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau hanya sekitar lima kilometer.
Dia menuturkan Rumah Sakit Badau juga memiliki berbagai keterbatasan seperti jaringan telekomunikasi termasuk internet.
"Kami juga berharap ada perhatian khusus bagi tenaga kesehatan yang mengabdi di Rumah Sakit Badau agar ada tunjangan perbatasan," katanya.
Di tengah keterbatasan itu, Dimas mengaku menyambut baik transformasi kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Khususnya dalam hal perubahan pusat pendidikan dokter spesialis yang awalnya berupa University Base (berpusat di universitas) menjadi Hospital Base (berpusat di Rumah Sakit).
Diharapkan dengan perubahan itu banyak rumah sakit yang menjadi pusat pendidikan dokter spesialis, tersebar di setiap provinsi, sehingga jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahunnya bisa mengalami peningkatan.
Namun, kata dia lagi peningkatan jumlah dokter spesialis saja belum cukup, faktor yang tidak kalah penting adalah pemerataan.
Dengan harapan agar transformasi kesehatan juga bisa mengatur pemerataan dokter spesialis serta tenaga kesehatan lainnya agar jumlahnya merata dan tersedia di seluruh Indonesia.
"Mudah-mudahan Kementerian Kesehatan berkenan untuk semakin memperhatikan fasilitas kesehatan di perbatasan Indonesia. Pelayanan kesehatan di perbatasan negara adalah wajah negara kita, dan tanggung jawab kita bersama untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatannya sehingga penduduk Indonesia tidak banyak yang memilih berobat ke luar negeri," kata Dimas.
Untuk diketahui, Rumah Sakit Badau mulai beroperasi sejak tahun 2012 di bawah kepemilikan Kementerian Kesehatan dengan nama Rumah Sakit Bergerak Badau.
Selang berjalan waktu kepemilikan Rumah Sakit Badau menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu.
Saat ini Rumah Sakit Badau sudah meninggalkan nama "Bergerak" karena lokasi rumah sakit yang menetap (Rumah Sakit Statis) dengan bangunan sudah yang permanen. Memiliki kelas atau tipe sebagai rumah sakit tipe D dengan kapasitas 50 tempat tidur rawat inap.
Pewarta : TT/Antara
Editor : Yakop