Berita Borneotribun.com: Karantina COVID-19 Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Karantina COVID-19. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karantina COVID-19. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Februari 2022

Masyarakat Tolak Karantina, Hotel Dituding Untung Besar

Masyarakat Tolak Karantina, Hotel Dituding Untung Besar
Hotel-hotel di Jakarta di masa pandemi (foto: ilustrasi). Pihak hotel dituding yang paling diuntungkan dengan kewajiban karantina di masa pandemi, benarkah?


BorneoTribun Jakarta - Masa karantina berubah lagi, turun dari tujuh menjadi 5 hari. Namun, pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) tetap menolak kewajiban itu. Mereka menuding hotel adalah pihak yang paling diuntungkan.


“Padahal, tidak!” cetus Vivi Herlambang, koordinator hotel repatriasi Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Ia kemudian membeberkan pembagian uang yang diterima dari pelaku karantina, mulai dari untuk transportasi, biaya lab untuk PCR, tenaga kesehatan yang bertugas 24 jam, keamanan, dan hotel.


“Enam puluh lima persen (untuk) hotel, sedangkan yang dibayar-bayari ke orang lain 35%. Tapi 65% ini masih dikurangi tax service 21%,” keluhnya.


Pada akhirnya, kata Vivi, yang sehari-hari menjabat direktur pengembangan bisnis, penjualan dan pemasaran untuk hotel dan resor Sahid, hotel hanya menerima setengah dari biaya itu.


“Hanya 50 persen. Itu untuk yang repatriasi. Untuk yang isolasi, lebih kasihan. Lebih kecil,” lanjutnya.


Dari jumlah itu, kata Vivi, hotel membiayai operasi sehari-hari, mencakup listrik, kebersihan dan gaji karyawan, selain membayar jasa layanan paket repatriasi seperti paket makan lengkap tiga kali sehari dan ongkos cuci pakaian.


“Kami tidak pernah ada niatan untuk (dapat) revenue setinggi-tingginya. Tidak. Kita tujuannya adalah membantu negara,” imbuhnya.


Vivi mengingatkan, pekerja migran, pelajar, dan PNS yang tugas ke luar negeri bisa menjalani karantina tanpa membayar. Lainnya, seperti turis, harus karantina mandiri. Ia memaklumi kalau pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) menilai biaya ini mahal.


“Prinsipnya mereka tidak mau karantina. Tetapi karena harus dikarantina dengan aturan-aturan ini, maka mereka harus dikarantina.”


Konsultan independen kesehatan masyarakat dari LaporCOVID-19, Irma Hidayana, mengaku bisa menerima penjelasan Vivi, tetapi dengan berbagai catatan. LaporCovid adalah kelompok warga yang peduli pada hak asasi dan masalah kesehatan masyarakat terkait COVID-19. Kelompok itu banyak menerima keluhan masyarakat, termasuk kondisi hotel karantina.


“Banyak hotel yang fasilitasnya kotoooor sekali. Foto-fotonya beredar juga di medsos. PHRI saya kira juga perlu menertibkan karena yang kita hadapi adalah respiratory disease. Kalau ventilasi tidak ada, kamar kotor, tempat tidur, sarung bantal dan lain sebagainya bau dan kotor, saya kira itu perlu monitoring terus-menerus.”


Keluhan serupa diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua pengurus harian YLKI Tulus Abadi menguraikan, keluhan itu.


“Pertama terkait biaya yang sangat mahal, di luar standar. Kedua, fasilitas yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan,” ujarnya.


Ia meminta PHRI menjaga agar PPLN tidak menjadi korban oknum maupun sistem yang tidak berpihak kepada warga negara sendiri. Ia juga meminta dilakukan semacam investigasi dan sanksi.


“Pengaduan-pengaduan itu harus ditindaklanjuti. Jangan sampai ada upaya atau fenomena pemerasan oleh oknum-oknum tertentu, oleh aparat-aparat tertentu, yang kemudian masyarakat atau konsumen menjadi korbannya,” imbuh Tulus.


Irma dan Tulus meminta PHRI menertibkan anggota yang tidak mampu memberi layanan semestinya guna mencegah penularan COVID dan PPLN tidak sampai tertular penyakit justru dari hotel.


Sejak Juni 2021, apartemen eksekutif Mayflower yang dikelola Marriott terpilih menjadi hotel karantina. Direktur Penjualan dan Pemasaran Mayflower, Lisa Gunawan, mengatakan konsumen yang mereka bidik adalah keluarga dan ekspatriat. Tarif paket repatriasi di sana mulai Rp10 juta per orang untuk 4 malam 5 hari.


Demi Kesehatan dan kebersihan, kata Lisa, hotelnya mempunyai jendela yang bisa dibuka dan tidak menggunakan karpet. Yang berbeda dari hotel lain, area apartemen luas dan tersedia dapur bahkan mesin cuci. Pihak hotel tetap menyediakan makan tiga kali sehari plus camilan.


Tantangannya, Lisa menambahkan, memenuhi selera tamu yang beragam karena dari negara berbeda.


“Setiap negara beda-beda taste-nya. Bahkan ada dietary plan sendiri. Nah, itu semua harus kita akomodasi,” tukas Lisa.


Lisa mengaku bersyukur tamu hotelnya, “tidak begitu cerewet.” Dia tidak mengalami keluhan soal makanan dan kondisi kamar. Tipsnya,…


“Makanan. Itu paling penting. Pihak hotel harus menyediakan makanan yang cukup secara gizi, porsi, dan variety,” jelasnya.


Saat ini, tarif paket karantina 4 malam 5 hari beragam, tergantung hotel yang dipilih. Untuk bintang 2, kata Vivi, mulai dari Rp3,5 juta, dan semakin mahal sampai bintang 5 dan hotel mewah.


Tetapi, Vivi mengatakan, “Saya sudah sampaikan ke seluruh hotel yang bergabung dalam repatriasi, ini bukan bisnis. Ini jangan dilihat sebagai bisnis.” [ka/ab]


Oleh: VOA Indonesia

Senin, 21 Juni 2021

Tempat-tempat Ibadah di India Jadi Pusat Karantina COVID-19

Tempat-tempat Ibadah di India Jadi Pusat Karantina COVID-19
Masjid terlihat di tengah-tengah gubuk di Dharavi, salah satu daerah kumuh terbesar di Asia, selama penguncian nasional untuk memperlambat penyebaran COVID-19, Mumbai, India, 7 April 2020. (Foto: REUTERS/Francis Mascarenhas)

BORNEOTRIBUN.COM - Menanggapi tingginya angka kasus COVID-19 di India, sejumlah tempat ibadah, termasuk masjid, menawarkan diri sebagai tempat karantina. Mereka menampung siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang agama, kasta dan stasus sosial-ekonomi.

Terletak di kawasan Green Park, New Delhi, Masjid Green Park boleh jadi merupakan salah satu masjid yang sangat populer di ibu kota. Sebelum pandemi, masjid itu sering dikunjungi umat Islam yang ingin melaksanakan salat lima waktu atau berbagai kegiatan Muslim lainnya. Namun, sejak pandemi COVID-19 melanda, masjid itu seperti ditinggalkan.

Bukan karena, umat Islam enggan datang ke sana, melainkan karena kebijakan pemerintah terkait wabah. Jumlah pengunjung masjid dibatasi agar protokol kesehatan terkait COVID-19, termasuk sosial distancing, bisa diterapkan semestinya. Apalagi India, secara umum, kini bersiap menghadapi gelombang ketiga pandemi, sementara gelombang kedua belum juga berakhir.

Namun, kini ada sebuah kegiatan baru di sana. Masjid itu kini menjadi salah satu rumah ibadah yang menawarkan diri menjadi tempat karantina. Daya tampungnya memang tidak besar, yakni hanya 10 rang, mengingat kecilnya ukuran masjid itu. Namun, masjid itu siap menampung siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang agama, kasta dan stasus sosial-ekonomi.

Umat bersorak saat berdiri di dekat patung 'Dewi Corona', di tengah pandemi COVID-19, di sebuah kuil di Pratapgarh, Uttar Pradesh, India, 11 Juni 2021. (Foto: ANI/REUTERS TV/VIA REUTERS)

Mohammad Salim adalah salah satu pengurus Masjid Green Park. Ia mengatakan, apa yang dilakukan masjid itu merupakan bukti tanggung jawab sosial yang bersedia diembannya.

“Kami membuka pusat isolasi COVID-19 ini dengan tujuan meringankan beban pemerintah. Kami menyediakan obat-obatan, tapi kami tidak memiliki pasokan tabung oksigen. Kami sedang mengusahakannya meski sulit," katanya.

Menurut Salim, mereka yang menjalani karantina di masjidnya mendapatkan masker, peralatan sanitasi, dan obat-obatan, selain makanan tiga kali sehari. Di masjid itu hanya tersedia 10 tempat tidur sederhana sehingga hanya bisa menampung 10 orang. Semua itu tersedia berkat sumbangan dana para dermawan Muslim dan bantuan pemerintah New Delhi.

Warga India berkerumun di pasar di depan Masjid Charminar selama bulan suci Ramadhan di Hyderabad, India, Kamis, 6 Mei 2021. (Foto: AP)

Sebetulnya tidak hanya Masjid Green Park yang menggelar usaha itu. Beberapa masjid lain, kuil Hindu dan gurdwara – atau tempat ibadah orang-orang Sikh – menggelar program serupa dan bahkan beralih fungsi seperti rumah sakit, tidak hanya di New Delhi tapi juga di berbagai kota besar di India.

Masjid Bendhi Bazar di Mumbai bahkan memiliki satuan tugas yang setiap harinya mengisi tabung-tabung oksigen dan mengirimkannya ke mereka yang membutuhkan.

“Satuan tugas kami terdiri dari 25 hingga 30 orang. Kami bekerja secara bergiliran selama 24 jam sehari tanpa henti. Kami memulai usaha ini tahun lalu. Ada 350 hingga 400 pasien kami bantu setiap harinya," kata Baahir Aaman, seorang sukarelawan.

Kuil Pawandham di India, sebuah fasilitas ibadah umat Hindu yang tergolong mewah di Mumbai, dilengkapi bank oksigen. Kuil itu bisa menampung ratusan orang dan kini dilengkapi banyak peralatan medis untuk pertolongan darurat. Hanya saja, kuil itu mewajibkan pasien membayar biaya perawatan.

Dhruv Vaktania, seorang sukarelawan di kuil itu, menilai pentingnya fasilitas karantina yang dilengkapi bank oksigen.

Seorang wanita dikelilingi kerabatnya menerima bantuan oksigen secara gratis di Gurudwara (kuil Sikh), di tengah penyebaran COVID-19, di Ghaziabad, India, 6 Mei 2021. (Foto: REUTERS/Danish Siddiqui)

“Dalam masa kritis seperti ini, banyak pasien kesulitan mendapatkan tempat di rumah sakit. Kami menawarkan layanan ini. Kami di sini juga memiliki suplai oksigen dan obat-obatan, yang teramat sangat dibutuhkan saat ini. Kami menawarkan layanan ini dengan harga terjangkau," katanya.

Gurdwara Rakab Ganj Sahib di New Delhi juga turun tangan mengatasi pandemi. Komunitas Sikh di sana – yang umumnya kaya raya -- menyediakan 400 tempat tidur yang dilengkapi dengan ventilator.

Manjinder Singh Sirsa, ketua gurdwara itu, mengatakan, kegiatan selama masa pandemi ini merupakan usaha amal komunitas mereka yang berkelanjutan. Sebelum pandemi, gurdwara itu memiliki dapur umun yang menyediakan makanan bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang agama, kasta dan stasus sosial-ekonomi. [ab/uh]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno