Mengkhawatirkan, Keberadaan Lebah Hutan Indonesia
Sarang lebah madu "apis dorsata" atau dikenal sebagai lebah madu raksasa yang hidup di hutan-hutan Asia, termasuk Indonesia. |
BORNEOTRIBUN JAKARTA - Penelitian Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) tahun 2020 mengungkapkan terjadinya penurunan 57 persen populasi lebah di Indonesia. Berkurangnya habitat lebah hutan berdampak pada sumber pakan dan penurunan populasi lebah hutan Indonesia, termasuk apis dorsata.
Purnomo, peneliti dan pemerhati lebah hutan yang saat ini aktif mengelola dan mengolah produk perlebahan di Kampar, Riau, menjelaskan populasi lebah hutan penghasil madu dengan ukuran terbesar di dunia, apis dorsata, semakin terdesak dari tahun ke tahun akibat habitatnya yang terancam di Indonesia.
Pendiri rumah madu Wilbi itu mengatakan, “Apis dorsata itu di hutan habitatnya. Dia menempati pohon-pohon menjulang tinggi. Sekarang pohon-pohonnya sudah banyak ditebang. Pakannya juga sudah berubah akibat alih fungsi hutan, jadi HTI (hutan tanaman industri) dan perkebunan kelapa sawit.”
Apis dorsata dikenal masyarakat setempat sebagai lebah sialang karena bersarang dan bergantungan di berbagai jenis pohon sialang yang tinggi di hutan Sumatra.
Sarang lebah dorsata di pohon sialang di hutan Jambi (foto: courtesy). |
“Tempat bertengger bersarangnya lebah itu di pohon yang besar disebut pohon sialang, sedangkan pakanannya tuh dia makannya diambil dari pohon akasia, pohon sawit,” jelas Candra Lela.
Di Jambi, Candra Lela, yang menjabat Ketua Asosiasi Perlebahan Jambi juga sangat prihatin akan populasi lebah sialang yang semakin langka sejak bencana asap tahun 2015 dan kebakaran hutan Sumatra termasuk Riau dan Palembang. “Jambi berasap hampir mau 1 tahun. Memang musibah asap. Jadi tuh ya lebahnya kabur adanya, sebagian mati, punah gitu,” tambahnya.
Pohon Sialang di Riau tempat lebah dorsata dengan 30-60 sarang (foto: courtesy). |
Berawal menemani suami ke hutan, ibu rumah tangga itu terjun ke usaha madu lebah sengat tahun 2008, masuk hutan menemui para pemanjat pohon sialang sekaligus mengantarkan galon-galon madu dengan menempuh perjalanan 2-4 jam dari rumahnya di kota Jambi.
Harga madu lebah sialang meningkat mulai dari harga Rp 7.500/kg tahun 2008 menjadi Rp 60.000/kg tahun 2015. Lela menyampaikan dalam sebulan bisa mengumpulkan 10ton madu lebah dorsata bahkan pada tahun 2010 pernah mencapai 24ton dalam satu bulan. Pendiri Rumah Madu Hutan Jambi (RMHJ) itu aktif melakukan kampanye panen lestari kepada beberapa kelompok pemungut madu hutan yang beranggotakan 20-25 pemanjat sialang supaya lebah hutan Sumatra tidak punah dan dapat terjaga untuk regenerasi.
Candra Lela membawa anaknya masuk hutan Jambi sejak bayi berumur 22 hari, mengumpulkan madu lebah dorsata (foto: courtesy). |
“Panennya tidak boleh panen siang, baiknya itu panennya di malam hari atau subuh. Kemudian tidak dihabiskan, tidak dipotong semua, larvanya jangan dipanen juga. Kalau bisa dipanen larvanya ditinggalin gitu. Tidak menggunakan api, cukup asap,” kata Candra Lela.
Lebah dorsata sangat bergantung pada ketersediaan tanaman sumber pakan di hutan, jika kurang memadai akan mengakibatkan populasi lebah itu bermigrasi, Purnomo menjelaskan. Ia menyebutkan periode 20 tahun lalu populasi lebah dorsata diperkirakan 10.000 koloni di Riau. Alih fungsi hutan dengan pembukaan sejumlah perkebunan kelapa sawit sejak 10 tahun lalu berdampak pada penurunan populasi lebah yang kini hanya sekitar 50 persen di hutan Riau.
“Mungkin kalau dibanding 20 tahun yang lalu dengan sekarang ini, paling sekarang ini 15%. Dari 20 tahun yang lalu 10.000 (populasi lebah) kalau 10% berarti sudah 1.500-an,” tukas Purnomo.
Sekitar tahun 2000-an Riau dapat menghasilkan 60 ton madu hutan per bulan. “Kalau produksi sekarang ini, sebulan itu paling-paling sekitar 6 sampai 10 ton,” ungkap Purnomo.
Alih fungsi hutan Riau menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh pemerintah dan sejumlah perusahaan serta dimiliki oleh masyarakat berdampak pada 50 persen lebih perubahan lahan sejak 20 tahun lalu, kata Purnomo.
“Kalau sekarang kan, kalau kita ambil titik Pekanbaru ke hutannya sekitar 5-6 jam itu baru nanti jumpa hutan. Kalau dulu, 20 tahun yang lalu, istilahnya setengah jam, satu jam sudah ketemu hutan,” ujarnya.
Bencana asap akibat kebakaran hutan Sumatra tahun 2015 telah memaksa Candra Lela beralih ke budidaya mellifera, lebah hutan asal Eropa yang didatangkan dari Jawa. Sejak Januari 2020, 48 kotak bibit lebah mellifera yang dibeli RMHJ dengan kisaran harga 2 juta 400 ribu rupiah per kotak, kini berhasil dikembangkan menjadi 1.000 kotak lebah.
ebakaran hutan di Sumatra bulan Juli tahun 2015 (foto: dok). |
Purnomo menyampaikan bahwa budidaya lebah mellifera berhasil dikembangkan dalam dua tahun terakhir. Lebah mellifera memanfaatkan sumber nektar dari akasia yang liar sementara sumber polennya diambil dari bunga sawit. Namun demikian lebah dorsata di Sumatra, Purnomo menegaskan, pada akhirnya akan seperti kondisi di Jawa, yang hanya tinggal kenangan dalam 5-10 tahun ke depan.
“Kalau di Jawa dulu kan, populasi lebah hutan juga cukup baik. Sekarang tinggal kenangan. Dorsata mungkin sudah sulit ditemukan walau lebah ternak (mellifera) ini sudah cukup berhasil untuk dijadikan usaha.”
Budi selama 4 tahun dibina oleh Purnomo melalui Rumah Madu Wilbi. Ia beralih dari berkebun untuk mencari madu lebah sialang. Harga madu hutan dari Pulau Rupat yang berbatasan dengan Singapura itu dijual dengan harga Rp95.000-100.000 per kilogram.
Budi bersama rekan panen madu sialang di Pulau Rupat, dekat perbatasan Singapura (foto: courtesy). |
“Lebah sialang itu kalau sarangnya lebih dari 30 sarang mencapai 500 kg atau lebih untuk satu pohon,” kata Budi.
Purnomo menegaskan lebah hutan asli Indonesia, apis dorsata sangat penting untuk dilestarikan karena, “Pengaruhnya besar sekali terutama bagi kelangsungan ekosistem, penyerbukan vegetasi di hutan.” [mg/ka]
Oleh: VOA