Solusi Kang Ngopi Menyelamatkan Negeri | Borneotribun.com

Sabtu, 05 April 2025

Solusi Kang Ngopi Menyelamatkan Negeri

Solusi Kang Ngopi Menyelamatkan Negeri
Solusi Kang Ngopi Menyelamatkan Negeri.

PONTIANAK – Saya tidak tahu apakah waktu kecil Donald Trump pernah ditolak beli “klepon pancit” di Pasar Flamboyan Pontianak. Soalnya, rambut dia dianggap terlalu mengkilat. Tapi satu hal pasti, keputusannya mengenakan tarif bea masuk 32% ke barang-barang ekspor Indonesia adalah bentuk serangan global. Ini lebih kejam, lebih dalam dari Lisa Mariana, ups salah, Palung Mariana, maksudnya.

Ini tulisan saya yang keempat terkait tarif 32%. Sudah kayak episode telenovela, penuh emosi dan sambungan alur yang tak kunjung selesai. Seperti biasa, setiap saya menyentil sedikit soal ini, ada netizen selalu tanya solusi. “Bang, jangan nyalahin Trump terus, kasih solusi dong!” katanya.

Oke, baik. Maka izinkan saya, seorang filsuf ekonomi dari universitas warkop di pinggir Sungai Kapuas. Tentu memberi arahan strategis untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran akibat tarif 32%. Tarif yang bikin eksportir kita megap-megap. Lho yang suka minta solusi, baca ini ya!
Pertama-tama, kita perlu melebarkan sayap ekspor. Jangan terus nempel sama Amerika Serikat kayak mantan yang gak bisa move on. Asia, Afrika, Amerika Latin, semua bisa jadi ladang baru. Kirimkan batik ke Bolivia, ekspor kopi ke Kamerun. Kalau bisa kirim pop mie ke pedalaman Amazon. Yang penting ekspor jalan, walau pakai kapal yang mesinnya kadang suka ngambek.

Tapi ekspor tak akan jalan mulus kalau kita cuma diem. Pemerintah harus aktif bernegosiasi dengan Trump dan koleganya. Harus ada diplomasi. Harus ada pertukaran. Mungkin bisa ditawarkan kerja sama di bidang energi. Kalau kepepet banget, kasih akses gratis nonton sinetron Indonesia. Itu bisa bikin siapa pun luluh dalam lima episode pertama.

Tentu saja industri lokal jangan dibiarkan jadi korban. Pemerintah harus kasih insentif pajak, tarif ringan. Kalau bisa, pijat refleksi buat pengusaha kecil yang stres. Jangan sampai mereka banting setir jadi reseller stiker WhatsApp karena merasa lebih stabil penghasilannya.

Tapi ini semua akan percuma kalau kita masih disandera dua makhluk mitologis bernama “Korupsi” dan “Mentalitas Malas”. Ini bukan fiksi. Ini realita segetir air galon yang nyaris habis. Coba simak data tahun 2023, jumlah korupsi 791 kasus. Jumlah tersangka 1.695 orang. Kalau dikumpulkan, bisa bikin partai baru dengan nama "Koruptor Sejati Bersatu".  Kerugian negara Rp28,4 triliun. Itu cukup buat bagi-bagi nasi padang gratis ke seluruh rakyat Indonesia... mungkin dua kali.  Modus favorit, pengadaan barang dan jasa. 

Lanjut ke tahun 2024, Indeks Persepsi Korupsi, skor 37 dari 100. Kalau ini nilai ujian anak SMA, udah dipanggil orang tua ke sekolah.  Kerugian negara semester pertama, Rp5,2 triliun.
Institusi terbanyak terlibat, kementerian dan lembaga setingkatnya, total 39 kasus. Bahkan drama Korea pun kalah dramatis.

Ini semua menunjukkan, strategi sehebat apapun, akan percuma kalau kita masih punya kebiasaan “copet berkedok birokrasi”. Kita butuh revolusi mental. Bukan revolusi yang butuh senjata, tapi butuh keberanian untuk bilang, “cukup ya, korupsinya. Cukup jadi generasi mager.”
Kita juga butuh rakyat yang bangun pagi bukan cuma buat scroll TikTok, tapi buat kerja keras. Butuh anak muda yang bukan cuma bisa bikin konten “random pertanyaan ke orang asing,” tapi juga konten “bagaimana bikin rencana ekspor dalam 30 detik.”

Wahai netizen, pejabat, pengusaha, dan semua orang yang masih percaya Indonesia punya harapan, mari kita serius sedikit. Tapi gak usah terlalu serius juga, nanti stres. Cukup imbang. Seperti saya, yang nulis ini sambil ngopi, dengerin dangdut, dan mikirin nasib ekonomi nasional. 

#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan Advertiser. Borneotribun.com tidak terkait dalam pembuatan konten ini.