JAKARTA – Setelah libur panjang Idulfitri, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan masih bisa terjaga stabil, meskipun tetap menghadapi tekanan yang bisa memicu pelemahan.
Mengacu pada data Refinitiv yang dirangkum oleh CNBC Indonesia Research, tren historis dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa rupiah cenderung melemah pada awal perdagangan setelah Lebaran.
Dari 10 tahun terakhir, hanya tiga kali rupiah tercatat menguat—yakni pada tahun 2016, 2019, dan 2023.
Sisanya, pelemahan terjadi secara konsisten, bahkan sempat mencapai lebih dari 2% pada 16 April 2024.
Tarif AS Tambah Beban Tekanan Pasar
Perdagangan pada Selasa, 8 April 2025, menjadi momen pertama setelah libur panjang selama 11 hari. Para pelaku pasar kini mencermati dampak dari kebijakan baru Presiden AS Donald Trump, yang kembali menerapkan tarif balasan terhadap beberapa negara mitra dagang—termasuk tarif sebesar 32% untuk barang dari Indonesia.
Kebijakan ini memperkuat ketidakpastian global dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi keluarnya dana asing dari Indonesia. Di sisi lain, ekspor ke AS juga terancam karena kenaikan harga produk, yang bisa mengurangi daya saing.
Jika hal ini terus berlangsung, pasokan dolar AS di dalam negeri bisa menurun, memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah.
Analisis Pasar dan Optimisme Stabilitas
Kendati demikian, tetap ada sinyal positif di tengah tekanan. Mega Capital Sekuritas (MCS) mencatat bahwa rupiah sempat mendapatkan dorongan dari melemahnya indeks dolar AS (DXY), yang berada di level 103,02 pada 4 April 2025.
MCS memproyeksikan nilai tukar rupiah masih berpotensi bertahan di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.600 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Namun, ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, mengingatkan kemungkinan rupiah menyentuh Rp16.700/USD.
Ia menegaskan bahwa kondisi saat ini berbeda jauh dari krisis moneter 1998, karena ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat dan ditopang oleh sektor ekspor unggulan seperti batu bara dan komoditas yang diuntungkan ketika dolar menguat.
Selain itu, karena mayoritas impor Indonesia berasal dari Tiongkok dan ASEAN—yang mata uangnya juga mengalami pelemahan—kenaikan harga impor dinilai masih bisa ditekan.
Langkah Strategis Bank Indonesia dan Arah Kebijakan Jangka Panjang
Ekonom senior Samuel Sekuritas, Fithra Faisal Hastiadi, menyarankan Bank Indonesia untuk mengambil langkah intervensi strategis melalui penyuntikan cadangan devisa.
Menurutnya, tambahan devisa sebesar $1 miliar bisa menguatkan rupiah sekitar 100 poin.
Ia menyarankan dua fase intervensi: tahap pertama sekitar $2–3 miliar pada April, dan tahap kedua menyesuaikan kondisi pasar pada Mei.
Sementara itu, Enrico Tanuwidjaja dari UOB menekankan pentingnya memperkuat fondasi pasar domestik.
Ia mendorong penerapan ekonomi sirkular, pengurangan ketergantungan pada impor, serta pendalaman pasar keuangan dalam negeri.
Tanpa respons kebijakan yang tepat, Enrico memperkirakan rupiah berpotensi melemah hingga Rp17.200/USD pada akhir kuartal ketiga 2025.
Stabilitas Masih Bisa Dijaga
Meski tekanan terhadap rupiah pascalebaran cukup tinggi, para analis menilai stabilitas masih dapat dipertahankan jika pemerintah dan Bank Indonesia bertindak cepat dan strategis.
Dengan memperkuat sektor domestik dan menjaga kepercayaan pelaku pasar, rupiah diyakini tetap punya peluang untuk bertahan di tengah tekanan eksternal yang meningkat.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS