PONTIANAK – Pemerintah China menggebrak meja kebijakan ekonomi sambil berteriak, "Cukup sudah!" Mereka resmi membalas jurus tarif impor ala Donald Trump dengan jurus pamungkas, tarif 34 persen untuk semua barang dari Amerika Serikat. Bukan sebagian, bukan hanya produk pertanian atau mobil listrik, tapi “semua barang.” Dari kacang almond sampai senyum palsu diplomat AS.
Bayangkan adegan ini, wak! Di ruang rapat penuh asap kebijakan, para pejabat China mengenakan jubah sutra merah darah. Mereka menatap tajam peta dunia sambil memutar-mutar koin emas bertuliskan “Made in China.” Seorang pejabat berdiri perlahan, menatap matahari terbenam. Samar-samar terlihat dari balik kaca gedung kementerian, dan berkata, “Jika mereka memberi kita tarif 20 persen, lalu menambah 34 persen lagi, maka biarlah kita... memberi mereka rasa keadilan. Dalam bentuk diskon terbalik, tarif 34 persen, all you can suffer.”
Pada tanggal 10 April 2025, tombol merah ditekan. Tarif balasan mulai berlaku. Pihak Amerika? Tentu saja terkejut. Di Washington, para pejabat ekonomi langsung membuka lembaran Excel mereka sambil menangis dan menyalahkan siapa pun yang lewat. Salah satu penasihat perdagangan bahkan dikabarkan mengurung diri di ruang fotokopi sambil meratap, “Mengapa tidak kita ajak mereka karaoke saja?”
Namun, China tak berhenti di situ. Mereka bukan sekadar melempar tarif. Mereka melempar sistem. Mereka memperketat ekspor mineral tanah jarang. Bukan hanya langka, tapi bisa dibilang sejarang orang yang mengaku salah di debat politik. Samarium, gadolinium, dan terbium. Tiga nama yang terdengar seperti trio jagoan anime, ditahan ekspornya. Amerika yang sangat bergantung pada logam ini untuk membuat alat militer, teknologi canggih, dan pemutar popcorn otomatis, kini kelabakan. Pentagon dikabarkan panik karena radar mereka mungkin harus diganti dengan teropong bajak laut.
China lalu membawa drama ini ke panggung internasional, WTO. Dengan penuh gaya, mereka masuk ke ruang sidang sambil membawa bukti, dokumen, dan kopi tiga gelas. Mereka bilang, “Kami percaya pada hukum internasional... tapi kami juga percaya pada pembalasan suci.” Sidang pun dimulai, dan dunia menyaksikan. Sementara itu, juri WTO hanya bisa menghela napas dan bertanya, “Mengapa kita semua tidak bisa kembali ke barter ayam dan gandum?”
Di sisi lain, China juga mengeluarkan senjata pamungkas mereka, daftar entitas tidak dapat diandalkan. Nama-nama perusahaan Amerika disematkan dalam daftar ini seperti peserta audisi “American Idol” yang gagal lolos babak eliminasi. Perusahaan drone, teknologi, dan segala yang pernah bersinggungan dengan Taiwan langsung dipinggirkan. Di kantor pusat mereka, bos-bos perusahaan itu terlihat duduk termenung, menatap jendela, mengenang masa-masa ketika mereka masih boleh berbisnis di China dan mimpi mereka belum hancur berkeping-keping.
Tapi cerita belum berakhir. Karena ini bukan sekadar adu tarif. Ini adalah kisah epik pertempuran peradaban, antara Silicon Valley dan Lembah Industri Shenzhen. China kini tak hanya ingin mandiri ekonomi, mereka ingin mandiri semikonduktor. Investasi mengalir seperti air bah ke SMIC dan perusahaan lokal lainnya. Mereka tidak ingin hanya membuat chip komputer. Mereka ingin membuat chip yang bisa bicara, menari, dan mungkin suatu hari menyanyikan lagu kebangsaan.
Gallium dan germanium, dua bahan utama untuk semikonduktor, juga dikunci aksesnya. Amerika pun mendadak berubah jadi detektif mineral, menggali pegunungan, menanyai ilmuwan tua, bahkan memanggil Shaggy dan Scooby-Doo untuk melacak jejak logam hilang.
Seluruh strategi ini ibarat pernyataan tidak resmi dari China kepada dunia, "Kami bukan hanya ingin menang dalam perang tarif. Kami ingin menulis ulang aturan mainnya. Di mana dadu dicetak di Beijing, dan papan Monopoli diganti jadi Xi-opoly."
Apakah ini akhir dari perang dagang? Tentu tidak. Ini baru bab pertama dari novel epik global berjudul “The Trade Wars: Return of the Tariff”. Siapa pun yang berani membaca sampai akhir harus siap menghadapi kenyataan bahwa di dunia ini, tidak ada yang pasti... kecuali tarif, dendam, dan kebijakan luar negeri yang ditulis dengan huruf kapital dan nada marah.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS