Pontianak - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat menggelar Forum Group Discussion (FGD) orang utan Kalbar dengan melibatkan berbagai pihak sebagai upaya memperkuat strategi konservasi di daerah itu.
"Melalui kegiatan ini, sebagai bentuk komitmen kami dalam pelestarian orang utan Kalimantan Barat melalui sinergi multipihak dan pemutakhiran data konservasi," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, RM. Wiwied Widodo di Pontianak, Rabu.
Dia mengatakan, pada kegiatan tersebut, pihaknya melibatkan berbagai pihak untuk berkolaborasi memperkuat strategi konservasi yang berbasis data dan pendekatan multipihak.
Wiwied Widodo menyatakan bahwa Kalbar memiliki peran strategis dalam pelestarian orang utan karena wilayah ini merupakan habitat dari subspesies Pongo Pygmaeus Wurmbii yang tersebar di 13 metapopulasi, dengan populasi mencapai 18.490 individu, menurut data PHVA 2016.
Untuk memperkuat strategi konservasi yang berkelanjutan, BKSDA Kalbar saat ini tengah menyusun dokumen verifikasi dan validasi data orang utan. Proses ini melibatkan pembaruan informasi terkait populasi, distribusi, dan kondisi habitat orang utan di Kalbar, yang akan menjadi landasan penyusunan rencana aksi konservasi jangka panjang.
Dalam waktu dekat, BKSDA Kalbar akan menyelenggarakan FGD Regional bersama penggiat konservasi orang utan. Pertemuan ini akan menjadi momentum untuk menyampaikan hasil survei lapangan selama 2022–2025 yang dilakukan oleh berbagai mitra konservasi.
"Tidak hanya itu, forum ini juga akan merumuskan rekomendasi kebijakan, strategi aksi, serta memperkuat sinergi antara pemerintah, LSM, akademisi, dan komunitas lokal," tuturnya..
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal KSDAE, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, menekankan bahwa Indonesia merupakan rumah bagi tiga spesies orangutan: Pongo pygmaeus, Pongo abelii, dan Pongo tapanuliensis. Namun, ketiganya kini berstatus Critically Endangered (CR) berdasarkan IUCN Red List.
"Perlindungan habitat dan pencegahan perdagangan ilegal menjadi tantangan utama," kata Prof. Satyawan.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah memperkuat regulasi konservasi, salah satunya melalui UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menekankan pentingnya konektivitas ekosistem.
Sejak 2006 hingga 2024, sebanyak 91 individu orang utan korban perdagangan ilegal telah direpatriasi, baik dari Malaysia maupun Thailand. Untuk menekan angka perdagangan satwa, pendekatan multidimensi seperti penguatan hukum, pemberdayaan masyarakat, serta kerja sama internasional terus dikedepankan.
Tidak hanya itu, penggunaan teknologi dan inovasi juga menjadi sorotan. Inventarisasi keanekaragaman hayati, pemantauan habitat, hingga mitigasi konflik manusia dan orang utan mulai memanfaatkan teknologi digital untuk hasil yang lebih akurat dan cepat.
"Dunia usaha juga kami dorong untuk berperan aktif dalam konservasi. Praktik bisnis berkelanjutan, restorasi habitat, hingga edukasi konservasi karyawan dan masyarakat luas sangat dibutuhkan," kata Prof. Satyawan.
Melalui FGD regional ini, Kalimantan Barat menunjukkan komitmennya untuk menjaga eksistensi orang utan sebagai satwa kunci dan endemik.
Dengan kolaborasi lintas sektor, data yang terverifikasi, dan strategi yang menyentuh berbagai dimensi, diharapkan konservasi orang utan tak hanya menjadi agenda nasional, tetapi juga tanggung jawab bersama demi masa depan keanekaragaman hayati Indonesia.*
Pewarta : Rendra Oxtora/ANTARA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS