![]() |
Taliban Klaim Prioritaskan Hak Perempuan di Hari Perempuan Internasional, Benarkah? |
JAKARTA - Pada peringatan Hari Perempuan Internasional, Taliban mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa mereka berkomitmen untuk melindungi hak-hak perempuan di Afghanistan.
Juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid, melalui akun resminya di platform X, menegaskan bahwa "Emirat Islam" bertanggung jawab penuh atas perlindungan dan pemberian hak-hak perempuan Afghanistan.
Meskipun tidak secara langsung mengakui Hari Perempuan Internasional, Mujahid menekankan bahwa pemerintah Taliban mengutamakan martabat, kehormatan, dan hak-hak hukum perempuan.
Menurutnya, perempuan Afghanistan saat ini hidup dalam keamanan, baik secara fisik maupun psikologis.
Ia juga menyebut bahwa hak-hak fundamental perempuan, seperti kebebasan dalam pernikahan, hak mahar, dan warisan, tetap dijamin di bawah pemerintahan Taliban.
Realita di Lapangan Berbanding Terbalik?
Namun, klaim ini menuai banyak kritik dari komunitas internasional. Sejak Taliban mengambil alih Afghanistan pada tahun 2021, hak-hak perempuan di negara itu semakin dibatasi.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan termasuk larangan bagi anak perempuan untuk bersekolah di jenjang menengah, serta larangan bagi perempuan untuk mengajar atau belajar di universitas.
Pada tahun 2023, Kementerian Pencegahan Kejahatan dan Kebajikan (Vice and Virtue Ministry) semakin memperketat aturan dengan mewajibkan perempuan memakai penutup wajah penuh serta melarang mereka berbicara di depan umum.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara konsisten mengecam kebijakan ini dan mendesak Taliban untuk menghentikan peminggiran perempuan.
Utusan PBB untuk Afghanistan, Roza Otunbayeva, dan perwakilan UN Women, Alison Davidian, menegaskan pentingnya mendukung perjuangan perempuan Afghanistan dalam memperoleh kesetaraan.
Hak Perempuan Versi Taliban vs. Standar Internasional
Mujahid dalam pernyataannya menekankan bahwa hak-hak perempuan Afghanistan harus dipahami dalam konteks budaya Islam dan tradisi Afghanistan, yang berbeda dengan standar Barat.
Ia menyiratkan bahwa pendekatan internasional terhadap hak perempuan tidak bisa diterapkan begitu saja di Afghanistan.
Namun, meskipun Taliban terus mempertahankan retorika ini, komunitas global tetap menolak mengakui pemerintahan mereka secara resmi.
Pada Januari lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bahkan mengajukan permintaan surat perintah penangkapan terhadap dua pejabat tinggi Taliban atas keterlibatan mereka dalam penindasan terhadap perempuan Afghanistan.
Di sisi lain, UNESCO baru-baru ini menggelar konferensi yang melibatkan aktivis dan pakar hak asasi manusia untuk membahas isu hak-hak perempuan di Afghanistan.
Taliban sendiri menolak konferensi tersebut dan menuding beberapa organisasi serta lembaga Uni Eropa bersikap hipokrit.
Klaim Taliban vs. Fakta Lapangan
Meskipun Taliban mengklaim bahwa mereka menjamin hak-hak perempuan, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Larangan pendidikan, pembatasan ruang gerak, serta berbagai kebijakan diskriminatif justru memperburuk kondisi perempuan Afghanistan.
Hingga saat ini, komunitas internasional terus memberikan tekanan agar Taliban menghentikan kebijakan yang mengekang hak perempuan dan memberikan mereka kebebasan yang setara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Lantas, apakah Taliban benar-benar memprioritaskan hak perempuan, atau ini hanya sekadar pencitraan di tengah kritik dunia? Jawabannya bisa dilihat dari kebijakan mereka yang masih jauh dari kata inklusif dan adil bagi perempuan Afghanistan.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS