Jakarta - Setiap tahun, jutaan manusia bergerak serempak menuju satu tujuan yang sama: pulang.
Dalam budaya Indonesia, disebut mudik. Sebuah kata sederhana yang menyimpan kerinduan dalam-dalam dan menyuarakan satu harapan kolektif, bertemu keluarga di kampung halaman, berkumpul di meja makan yang penuh hidangan nostalgia, serta melupakan sejenak kerasnya hidup di kota.
Mudik bukan sekadar perjalanan dari satu titik geografis ke titik lainnya. Ia adalah fenomena sosial yang unik. Sebuah ritual massal yang sarat emosi dan budaya. Namun, di balik euforia dan romantika itu, tersimpan satu kenyataan yang sering luput dari perhatian: risiko kesehatan selama perjalanan.
Dari kelelahan fisik, pola makan yang kacau, hingga penurunan daya tahan tubuh, semuanya bisa mengintai dan merusak momen indah yang seharusnya dirayakan. Lalu pertanyaannya, mungkinkah mudik tetap penuh makna tanpa mengorbankan kesehatan? Jawabannya bukan hanya mungkin. Ia perlu dan mendesak untuk dilakukan. Inilah saatnya kita membangun kesadaran baru: mudik yang sehat adalah investasi untuk Lebaran yang bahagia.
Paradigma Baru dalam Tradisi Lama
Di tengah gegap gempita arus mudik, kita kerap melihat hal yang sama berulang: wajah lelah di terminal, anak-anak menangis di dalam bus penuh sesak, pengemudi mengantuk yang memaksakan diri menyetir berjam-jam, bahkan ada yang terpaksa menghabiskan Lebaran di rumah sakit akibat infeksi saluran pencernaan atau dehidrasi berat.
Tradisi, betapapun mulianya, tak boleh membutakan kita dari realitas. Maka, yang diperlukan bukanlah penolakan terhadap mudik, melainkan perubahan cara pandang. Bahwa mudik bukan hanya soal tiba, tapi soal bagaimana kita tiba. Bukan hanya cepat sampai, melainkan dalam keadaan sehat, waras, dan utuh.
Paradigma ini bukanlah bentuk kekhawatiran berlebihan. Ia lahir dari data dan pengalaman.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama mengingatkan bahwa perjalanan panjang, terutama yang dilakukan dalam posisi duduk tanpa henti, meningkatkan risiko Deep Vein Thrombosis (DVT), pembekuan darah di pembuluh vena dalam yang bisa berujung fatal. Belum lagi masalah dehidrasi, infeksi saluran kemih, dan kelelahan kronis yang sering dianggap remeh.
Namun kabar baiknya, semua itu bisa dicegah dengan ilmu pengetahuan yang tepat dan tindakan kecil yang konsisten.
Bukan sekadar tiket
Salah satu kekeliruan umum dalam persiapan mudik adalah menaruh perhatian terlalu besar pada logistik; beli tiket, booking hotel, servis kendaraan. Namun lupa bahwa tubuh dan pikiran juga butuh “servis”.
Persiapan sehat seharusnya dimulai beberapa hari sebelum berangkat. Periksa kondisi tubuh. Jika merasa tidak enak badan, lebih baik tidak memaksakan diri dan menunda perjalanan daripada membawa virus ke dalam ruang transportasi umum dan berisiko memperburuk kondisi diri.
Lengkapi vaksinasi yang relevan. Vaksin flu musiman, misalnya, terbukti efektif mengurangi risiko komplikasi pernapasan selama perjalanan. Begitu juga dengan booster vaksin COVID-19 bagi yang rentan.
Satu lagi yang tak kalah penting adalah tidur cukup. Tidur bukan aktivitas pasif. Ia adalah proses biologis aktif yang meregenerasi sel, memperkuat sistem imun, dan menyegarkan fungsi kognitif. Tidur kurang dari enam jam akan menurunkan kemampuan konsentrasi setara dengan mengonsumsi alkohol ringan. Jadi, jika Anda menyetir, kurang tidur bukan sekadar ceroboh. Ia bisa mematikan.
Bukan sekadar perut kenyang
Salah satu momen klasik mudik adalah membuka bekal di rest area, stasiun, atau bahkan di kursi kendaraan. Sayangnya, makanan yang dipilih seringkali hanya berfungsi sebagai pengganjal lapar, bukan penyokong kesehatan.
Bayangkan ini: Anda makan gorengan berminyak dari warung pinggir jalan, lalu minum teh manis kemasan, duduk sekitar enam jam, dan bertanya-tanya mengapa perut terasa kembung dan kepala berat.
Solusinya sederhana. Membawa bekal sendiri. Bukan berarti harus repot membawa rantang besar, cukup siapkan makanan yang ringan namun bernutrisi, mudah dikemas, dan tahan lama. Roti gandum isi ayam dan sayur, onigiri (nasi kepal ala Jepang) isi tuna, atau salad buah dengan yoghurt adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada mie instan atau keripik.
Jangan lupa membawa buah-buahan praktis seperti apel dan jeruk. Selain kaya vitamin, mereka juga membantu hidrasi dan menjaga pencernaan.
Dehidrasi menjadi masalah yang mengintai pemudik. Dalam perjalanan, kita cenderung malas minum karena enggan ke toilet. Ini adalah kesalahan besar.
Tubuh manusia terdiri dari kurang lebih 60 persen air. Setiap fungsi vital tubuh bergantung pada kecukupan cairan: sirkulasi darah, pencernaan, kerja otak, hingga daya tahan tubuh.
Dehidrasi tak selalu terasa. Kadang hanya berupa pusing, lelah, atau kesulitan berkonsentrasi. Tapi dampaknya nyata. Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan cairan sebanyak 1–2 persen dari berat badan sudah bisa mempengaruhi kemampuan kognitif dan suasana hati.
Strategi mudahnya: minum 500 ml air setiap 2–3 jam. Bawa botol minum sendiri agar bisa mengontrol asupan. Infused water (air putih berisi potongan lemon atau mentimun) bisa jadi alternatif menyegarkan. Hindari minuman manis, bersoda, dan minuman energi, karena semua itu justru mempercepat dehidrasi dan memperberat kerja ginjal.
Punggung kaku, kaki pegal, atau tangan kesemutan setelah duduk lama dalam kendaraan menjadi masalah lain. Itu bukan sekadar keluhan biasa namun bisa jadi pertanda sirkulasi darah terganggu, atau dalam kasus ekstrem, DVT seperti disebut di awal.
Kuncinya: gerak. Tak perlu ruang besar. Bahkan dari kursi kendaraan, Anda bisa melakukan leg stretch (meluruskan kaki dan menahannya 10 detik), shoulder shrug (angkat dan turunkan bahu), hingga neck rotation (memutar leher perlahan).
Jika memungkinkan, berdiri dan berjalan ke lorong atau rest area setiap 1–2 jam. Gerakan sederhana ini membantu mencegah penyumbatan pembuluh darah, melancarkan pernapasan, dan menjaga kesegaran mental.
Jauhi kebiasaan merusak
Kebiasaan seperti merokok, ngemil terus-menerus, atau menahan buang air kecil sering dilakukan untuk “membunuh waktu” selama perjalanan. Namun, justru itulah “pembunuh diam-diam” (silent killer) yang merusak tubuh secara perlahan.
Menahan buang air kecil, misalnya, bisa meningkatkan risiko infeksi saluran kemih dan gangguan ginjal. Tidur dalam posisi tidak ergonomis bisa menyebabkan nyeri otot dan bahkan gangguan tulang belakang. Terlalu lama menatap layar ponsel memicu kelelahan mata digital (digital eye strain), yang gejalanya bisa berupa sakit kepala, pandangan kabur, dan susah tidur.
Beberapa hal dapat dilakukan. Memperbanyak aktivitas alternatif seperti membaca buku fisik, mendengarkan podcast, atau berbincang dengan sesama penumpang. Mudik juga bisa menjadi momen refleksi dan interaksi manusiawi, bukan sekadar hiburan digital.
Istirahat Bukanlah Kelemahan
Dalam psikologi transportasi, ada istilah microsleep, tidur singkat beberapa detik yang terjadi tanpa disadari. Inilah penyebab utama kecelakaan fatal yang sering terjadi saat mudik.
microsleep tak bisa dicegah dengan kopi. Ia hanya bisa dicegah dengan tidur yang cukup. Jika Anda merasa lelah, berhentilah. Tidur sejenak selama 20–30 menit jauh lebih bermanfaat daripada memaksakan diri menyetir 2 jam tanpa jeda.
Lebih baik datang terlambat dalam keadaan selamat, daripada cepat namun tak pernah tiba.
Mudik sering diibaratkan perlombaan: siapa yang sampai kampung halaman paling cepat. Ini adalah ilusi yang menyesatkan. Kecepatan yang berlebihan hanya menambah stres dan risiko.
Sebaliknya, nikmatilah perjalanan. Gunakan momen mudik untuk menyadari keindahan lanskap, mengenang masa kecil, atau sekadar memperhatikan wajah-wajah di sekitar. Ketika Anda mulai melihat mudik sebagai bagian dari liburan, bukan sekadar “tiket menuju Lebaran”, maka perjalanan akan terasa lebih ringan dan bermakna.
Mudik adalah perayaan pulang. Tapi pulang yang sejati bukan sekadar tubuh yang tiba, melainkan tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, dan hati yang siap menerima kehangatan rumah.
Mari jadikan Mudik Sehat sebagai bagian dari budaya baru. Karena tradisi terbaik adalah tradisi yang terus tumbuh dan menyesuaikan diri dengan pengetahuan baru.
Lebaran adalah hari kemenangan. Maka, jadikan tubuh sehat sebagai bagian dari kemenangan itu. Biarkan pelukan pertama Anda dengan orang tua, canda dengan adik, dan senyum di meja makan penuh ketupat terjadi tanpa batuk, tanpa lemas, tanpa gangguan kesehatan.
Selamat mudik. Jaga diri. Mudik terbaik bukan yang paling cepat sampai, tapi yang paling sehat tiba.
*) dr Dito Anurogo MSc PhD, alumnus IPCTRM TMU Taiwan, dokter umum, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti Institut Molekul Indonesia, trainer profesional, reviewer jurnal nasional-Internasional, penulis puluhan buku
Oleh Dokter Dito Anurogo MSc PhD*)/ANTARA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS