JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan akan melancarkan tindakan tegas terhadap pengunjuk rasa pro-Palestina di sejumlah kampus Amerika.
Langkah ini dimulai dengan penangkapan Mahmoud Khalil, salah satu pemimpin demonstrasi di Columbia University, New York, yang Trump sebut sebagai “penangkapan pertama dari banyak yang akan datang.”
Khalil Ditangkap oleh Pejabat Imigrasi
Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa asal Suriah yang baru saja menyelesaikan gelar masternya di Columbia University, ditangkap oleh pejabat imigrasi AS pada akhir pekan lalu.
Menurut catatan resmi, Khalil memegang kartu hijau AS dan menikah dengan seorang warga negara Amerika yang tengah hamil delapan bulan.
Meski belum didakwa atas tindak pidana, pihak berwenang menyatakan bahwa penahanannya adalah bagian dari kebijakan Trump untuk melarang antisemitisme dan mencegah apa yang ia sebut sebagai "aktivitas pro-teroris" di universitas-universitas AS.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyatakan bahwa tindakan ini diambil untuk menegakkan perintah Trump yang melarang segala bentuk antisemitisme di kampus, dengan koordinasi langsung dari Departemen Luar Negeri.
Trump: “Tidak Ada Tempat bagi Pendukung Terorisme”
Melalui unggahannya di Truth Social, Trump menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan mentoleransi mahasiswa yang ia anggap sebagai pendukung aksi terorisme.
"Jika Anda mendukung terorisme, termasuk pembantaian pria, perempuan, dan anak-anak yang tidak bersalah, Anda tidak diterima di sini," tulisnya.
Ia juga memperingatkan bahwa lebih banyak mahasiswa di Columbia dan universitas lain yang akan menghadapi konsekuensi serupa jika mereka terus terlibat dalam aksi protes yang ia sebut anti-Amerika dan anti-Semit.
Demonstrasi Pro-Palestina di Kampus AS
Setahun yang lalu, kampus-kampus di AS menjadi pusat demonstrasi besar-besaran terkait perang Israel-Hamas.
Protes ini dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan penculikan 250 sandera di Israel selatan.
Sebagai respons, Israel melancarkan serangan ke Gaza, yang menurut otoritas kesehatan di wilayah tersebut telah menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Demonstrasi pro-Palestina ini memicu kontroversi di kampus-kampus AS, dengan sebagian pihak menuduh para pengunjuk rasa menyebarkan antisemitisme.
Beberapa protes bahkan berujung pada kekerasan dan bentrokan dengan kelompok pro-Israel.
Meski begitu, sebagian besar demonstrasi mulai mereda saat tahun ajaran baru dimulai pada musim gugur lalu.
Kritik terhadap Kebijakan Trump
Keputusan Trump untuk menindak keras para demonstran pro-Palestina menuai kritik dari berbagai pihak.
Maya Berry, Direktur Eksekutif Arab American Institute, menyatakan bahwa kebijakan ini berisiko membungkam kebebasan berbicara di AS.
"Menghubungkan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme adalah langkah berbahaya yang dapat merusak hak-hak sipil mahasiswa di Amerika," ujarnya ( Trump Sebut AS akan Deportasi Mahasiswa Pengunjuk Rasa Pro-Jihadis).
Selain itu, kelompok hak asasi manusia juga khawatir bahwa deportasi mahasiswa asing yang terlibat dalam aksi protes bisa menjadi preseden berbahaya bagi kebijakan imigrasi di masa depan.
Langkah Donald Trump untuk menindak keras mahasiswa yang terlibat dalam aksi pro-Palestina menunjukkan pendekatan keras pemerintahannya terhadap gerakan protes di kampus.
Dengan penangkapan Mahmoud Khalil sebagai contoh pertama, banyak pihak kini menunggu apakah tindakan ini akan meluas ke kampus-kampus lain dan bagaimana dampaknya terhadap kebebasan akademik serta hak-hak mahasiswa di AS.
Oleh: VOA Indonesia | Editor: Yakop
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS