Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah di Kutai Barat: Ahli Perdata Sebut Perkara Murni Perdata | Borneotribun.com

Jumat, 07 Februari 2025

Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah di Kutai Barat: Ahli Perdata Sebut Perkara Murni Perdata

Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah di Kutai Barat: Ahli Perdata Sebut Perkara Murni Perdata
Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah di Kutai Barat: Ahli Perdata Sebut Perkara Murni Perdata.
Kutai Barat, Kaltim – Sidang perkara dugaan pemalsuan surat tanah (SPPT) dengan terdakwa ET kembali digelar pada Rabu, 5 Januari 2025, di ruang sidang Pengadilan Negeri Kutai Barat. Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum menghadirkan seorang ahli perdata untuk memberikan keterangan di bawah sumpah di hadapan majelis hakim.

Yahya Tonang, selaku penasihat hukum (PH) terdakwa ET, dalam wawancara dengan beberapa awak media menyampaikan pandangannya terkait jalannya persidangan. Menurutnya, keterangan ahli perdata memperjelas bahwa kasus ini merupakan perkara perdata, bukan pidana.

Pendapat Ahli Perdata: Perkara Seharusnya Diselesaikan Secara Keperdataan

Ahli perdata yang dihadirkan dalam sidang menyampaikan bahwa jika terdapat dua surat kepemilikan tanah yang mengklaim lokasi yang sama, tetapi diterbitkan oleh dua wilayah administratif berbeda, maka penyelesaiannya harus melalui gugatan perdata.  

"Harus diuji surat mana yang lebih sah dan mana yang dapat dibatalkan oleh instansi yang menerbitkannya," ujar ahli perdata dalam persidangan.  

Dalam kasus ini, SHM (Sertifikat Hak Milik) atas nama Widodo diterbitkan oleh Desa Sekolaq Joleq, Kecamatan Melak, dan menunjukkan lahan basah untuk persawahan. Sementara itu, SPPT milik terdakwa ET diterbitkan oleh Kelurahan Simpang Raya, Kecamatan Barong Tongkok, dengan kondisi lahan kering.  

"Dari segi formil, tampak jelas bahwa kedua surat tersebut menunjuk lokasi yang berbeda," tambah ahli perdata. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa persoalan ini harus dibuktikan melalui mekanisme hukum perdata untuk menentukan letak tanah yang sebenarnya, mengingat kedua akta tersebut merupakan dokumen otentik.

Fakta Hukum: Gugatan Widodo Pernah Dinyatakan Tidak Dapat Diterima (NO)

Dalam persidangan, PH Yahya Tonang juga mengungkapkan fakta bahwa sebelumnya Widodo pernah menggugat terdakwa ET untuk meneguhkan SHM miliknya. Namun, dalam proses persidangan sebelumnya, Widodo tidak dapat menghadirkan peta asli penempatan lahan transmigrasi eks Sekolaq Joleq.  

"Yang ditampilkan justru tiga fotokopi peta yang disebut sebagai ‘peta bodong’ yang tidak memiliki nilai pembuktian," jelas Yahya Tonang.  

Akibatnya, gugatan yang diajukan Widodo tersebut dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima. Selain itu, dalam tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat di tingkat provinsi, majelis hakim sempat diminta untuk mengosongkan lahan dan melarang segala aktivitas di area sengketa.

Putusan pengadilan dalam perkara perdata sebelumnya dengan nomor: 12/Pdt.G/2021/PN, yang dikeluarkan pada 15 Januari 2012, menyatakan bahwa kedua surat tanah diterbitkan oleh dua wilayah administratif yang berbeda. Oleh karena itu, menurut penasihat hukum terdakwa, kasus ini seharusnya tetap berada dalam ranah perdata, bukan pidana.

Sidang kasus dugaan pemalsuan surat tanah ini semakin memperlihatkan kompleksitas sengketa pertanahan di wilayah Kutai Barat. Dengan adanya dua dokumen kepemilikan yang diterbitkan oleh instansi berbeda, persoalan ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut melalui jalur perdata.  

Sidang berikutnya akan menentukan langkah hukum selanjutnya yang akan diambil oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara ini. Sementara itu, penasihat hukum terdakwa tetap berpegang pada pendapat bahwa kasus ini tidak seharusnya masuk dalam ranah pidana.  

(Henryanus Achiang)

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar