Deforestasi lahan PT Mayawana Persada capai 4.633 hektare | Borneotribun.com

Sabtu, 22 Februari 2025

Deforestasi lahan PT Mayawana Persada capai 4.633 hektare

Deforestasi lahan PT Mayawana Persada capai 4.633 hektare
Deforestasi lahan PT Mayawana Persada capai 4.633 hektare. (ANTARA)
Pontianak - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah LSM dari Kalimantan Barat dan tingkat nasional mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, PT Mayawana Persada telah melakukan deforestasi di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara dengan total luas mencapai 4.633,05 hektare.

"Dari jumlah tersebut, sepanjang Januari hingga Maret 2024 saja, pembukaan hutan mencapai 3.890,31 hektare. Aktivitas ini terus berlanjut meskipun mendapat sorotan dari berbagai pihak," kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Link-AR Borneo, Sofian Efendi, di Pontianak, Sabtu.

Menurut Sofian, deforestasi tersebut mencakup kawasan gambut lindung seluas 1.842,69 hektare, hutan gambut budidaya 2.213,63 hektare, serta habitat orangutan 3.730,71 hektare.

Pembukaan lahan gambut di bagian selatan konsesi mulai terdeteksi pada Maret 2024, meskipun wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam Peta RKUPHHK-HTI Mayawana periode 2012–2021. Analisis citra satelit pada Februari 2024 mengindikasikan bahwa pembukaan lahan ini telah direncanakan sebelumnya.

Berdasarkan hal tersebut, pada 28 Maret 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat perintah penghentian aktivitas pembukaan hutan di Logged Over Area (LOA) atau area bekas tebangan. Namun, pembukaan lahan tetap terjadi, terutama di habitat orangutan dan kawasan gambut lindung.

Kemudian, dalam periode Juli hingga Desember 2024, pemantauan melalui sistem GLAD alerts mendeteksi pembukaan hutan seluas 334 hektare, sementara sistem RADD alerts menemukan pembukaan sebesar 1.931 hektare.

Sejak 2016 hingga Februari 2025, luas deforestasi yang dilakukan PT Mayawana Persada telah mencapai 42.500 hektare, setara dengan empat kali luas Kota Pontianak. Warga yang terdampak kerap dipaksa menerima kompensasi "tali asih" sebesar Rp150 per meter atau Rp1,5 juta per hektare, dengan ancaman penggusuran lahan yang telah mereka kelola turun-temurun.

"Kami menyebut ini sebagai perampasan tanah dan sumber kehidupan. Masyarakat tidak diberikan pilihan yang adil. Jika mereka menolak tali asih, perusahaan tetap menggusur lahan mereka," ujar Sofian.

Di tempat yang sama, peneliti Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra, menegaskan bahwa PT Mayawana Persada telah merusak ekosistem dengan menghilangkan hutan alam, merusak lahan gambut, serta mengganggu habitat satwa liar yang terancam punah. Pada 2024, perusahaan ini tercatat mengubah 4.056,32 hektare lahan gambut menjadi perkebunan monokultur seperti akasia dan eukaliptus, yang berkontribusi pada pelepasan emisi karbon sebesar 584.124,87 ton CO2 ke atmosfer.

Selain dampak lingkungan, aktivitas PT Mayawana Persada juga menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat adat Dayak di sekitar konsesi. Pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil menemukan indikasi bahwa perusahaan ini memicu konflik horizontal guna melancarkan ekspansi mereka.

Pada September 2024, dua tokoh masyarakat Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, yakni Tarsisius Fendy Sesupi (37) dan Ricky Prasetya Mainaiki (25), dipanggil Kepolisian Daerah Kalimantan Barat atas tuduhan tindak pidana terkait pemaksaan dan perampasan kemerdekaan seseorang.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalbar, Hendrikus Adam, menyoroti bahwa dampak lingkungan semakin parah, termasuk peningkatan frekuensi banjir di perkampungan sekitar konsesi. "Kita melihat bagaimana ekosistem terganggu, dan perkampungan sekitar konsesi Mayawana mengalami banjir yang lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Ini merupakan dampak nyata dari deforestasi yang dilakukan perusahaan," ungkapnya.

Selain itu, intimidasi terhadap warga semakin meningkat. Pengamanan konsesi oleh aparat serta upaya kriminalisasi terhadap warga yang menentang pembukaan lahan semakin meningkatkan ketegangan di lapangan. PT Mayawana Persada memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) melalui Surat Keputusan Nomor 732/Menhut-II/2019 dengan luas konsesi 136.710 hektare yang berlaku selama 60 tahun.

Sejak 2019 hingga 2023, PT Mayawana Persada telah menggusur tanah masyarakat, termasuk kebun karet, durian, dan cempedak di Desa Kualan Hilir, dengan total luas terdampak mencapai 76,6 hektare. Bahkan, di area Bukit Sabar Bubu, perusahaan ini diduga melakukan pembukaan lahan dengan cara mengusir warga serta membakar alat pertanian mereka.

Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan, masyarakat dan organisasi lingkungan terus mendesak agar pemerintah mengevaluasi izin PT Mayawana Persada serta menghentikan aktivitas deforestasi yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat adat.

Pewarta : Rendra Oxtora/ANTARA

DIIKLANKAN BORNEOTRIBUN

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar