Polri Diberi Kewenangan Izinkan Aborsi Korban Pemerkosaan: Apa yang Perlu Anda Ketahui? | Borneotribun.com

Senin, 05 Agustus 2024

Polri Diberi Kewenangan Izinkan Aborsi Korban Pemerkosaan: Apa yang Perlu Anda Ketahui?

Polri Diberi Kewenangan Izinkan Aborsi Korban Pemerkosaan: Apa yang Perlu Anda Ketahui?
Seorang pegiat antiaborsi mengangkat alat peraga yang menggambarkan janin yang dibungkus dengan uang seratus dolar palsu di Milwaukee, Wisconsin, AS, 15 Juli 2024, sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Shannon Stapleton)
JAKARTA - Dalam perkembangan baru yang cukup kontroversial, pemerintah menetapkan kepolisian sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk memberikan izin aborsi bagi korban pemerkosaan sesuai dengan peraturan baru. 

Kebijakan ini menuai kritik keras dari aktivis hak asasi manusia yang menganggap langkah tersebut sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan di Indonesia.

Aborsi dan Peraturan Baru

Di Indonesia, aborsi dianggap ilegal kecuali dalam kasus darurat medis atau pemerkosaan. 

Dengan peraturan baru ini, untuk diakui sebagai korban pemerkosaan, perempuan harus mendapatkan dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh pihak kepolisian. 

Sebelumnya, dokumen ini bisa diperoleh dari tenaga medis atau psikolog.

Polri belum memberikan tanggapan resmi terkait peraturan ini, yang merupakan bagian dari undang-undang kesehatan yang lebih luas dan akan segera diberlakukan. 

Prosedur bagaimana kepolisian akan menangani kasus korban pemerkosaan juga belum dijelaskan.

Kritik dan Tantangan

Aktivis dari Indonesian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengungkapkan bahwa kepolisian belum menetapkan peraturan internal yang mendukung korban pemerkosaan, seperti layanan kontrasepsi darurat atau aborsi aman. 

Belum ada pelatihan khusus bagi petugas dalam menangani kasus-kasus sensitif ini.

Olin Monteiro, seorang aktivis dari Jakarta Feminist, menyoroti bahwa perubahan peraturan ini dapat menghalangi korban pemerkosaan untuk mencari bantuan. 

"Perempuan masih takut karena budaya, norma, dan agama," ujarnya. 

"Peraturan ini hanya memberi korban satu pilihan, yaitu pergi ke polisi. Hal ini sangat membatasi."

Tunggal Pawestri, aktivis perempuan lainnya, menambahkan bahwa peraturan ini tidak membantu para korban. 

"Alih-alih benar-benar mendukung para korban pemerkosaan, saya pikir ini akan menjadi kemunduran," katanya.

Dampak pada Hak Perempuan

Para aktivis hak-hak perempuan khawatir bahwa peraturan ini akan memperburuk akses perempuan terhadap hak mereka untuk mendapatkan aborsi dalam kasus pemerkosaan. 

Dengan adanya ketakutan terhadap stigma sosial dan proses hukum yang rumit, banyak korban mungkin enggan melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang.

Penting untuk dicatat bahwa kebijakan baru ini masih dalam tahap awal penerapan, dan tekanan dari kelompok advokasi mungkin mempengaruhi peninjauan kembali atau perubahan peraturan.

Penetapan polisi sebagai satu-satunya pihak yang berwenang dalam memberikan izin aborsi bagi korban pemerkosaan menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran. 

Perlu ada dialog terbuka antara pemerintah, kepolisian, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak merugikan hak-hak perempuan. 

Memastikan bahwa korban pemerkosaan dapat mengakses bantuan yang mereka butuhkan harus menjadi prioritas utama.

Apa pendapat Anda tentang peraturan baru ini? Apakah menurut Anda peraturan ini akan membantu atau malah menghalangi korban pemerkosaan? Mari kita diskusikan lebih lanjut di kolom komentar!

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar