JAKARTA – Pembahasan mengenai isu keberlanjutan dan lingkungan di tingkat global sudah dimulai sejak tahun 1968 melalui limits to growth, dilanjutkan pada tahun 1997 melalui Kyoto Protocol, dan di tahun 2015 secara bersamaan dunia melahirkan dua kesepakatan yang dianggap bersejarah yakni Sustainable Development Goals (SDGs) dan Paris Agreement. Sudah 56 tahun upaya memperbaiki Bumi dilakukan, tetapi kondisinya semakin memburuk. Global warming menjadi global boiling. Climate change menjadi climate crisis.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, indeks-indeks global yang mengukur capaian menuju keberlanjutan dunia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Misalnya, terkait kinerja lingkungan, skor Environmental Performance Index (EPI) Indonesia turun dari 66 menjadi 28,2. Sementara itu, skor dunia turun dari 53,06 menjadi 43,1.
Kemudian, dalam Notre-Dame Global Adaptation Initiative (ND-GAIN), tercatat bahwa kapasitas dan kesiapan Indonesia beradaptasi atas dampak negatif perubahan juga menunjukkan tren negatif dengan skor yang turun dari 50,73 menjadi 47,59. Di saat yang sama kapasitas dan kesiapan dunia bergerak sangat lambat dengan skor 48,28 menjadi 49,61”, merujuk pada penjelasan Andi Widjajanto, Deputi Politik 5.0. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Senin (29/1/2024).
Pada tingkat nasional, data dan fakta yang ada tidak kalah memilukan. Sebagaimana disampaikan Prof. Mahfud pada Debat ke Empat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, 2014-2023, data dari Global Forest Watch menunjukkan luasan deforestasi Indonesia mencapai 12,5 juta hektare, lebih luas dari Korea Selatan, bahkan 23 kali luas Madura. Kedaulatan pangan terancam disebabkan oleh laju konversi lahan pertanian dan rusaknya unsur hara karena penggunaan pupuk kimia berlebih.
Tidak hanya di darat, laut Indonesia tercemar. Data dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut mencatat bahwa lebih dari 2,5 juta ton sampah plastik mencemari laut di Indonesia hanya dalam periode 2018-2022. Sementara itu, proyek-proyek hilirisasi yang diklaim sebagai andalan untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan memiliki dampak destruktif terhadap kelestarian lingkungan dan menimbulkan kerentanan serta ketimpangan ekonomi masyarakat lokal.
Kondisi di atas pada dasarnya terjadi karena sikap abai manusia terhadap lingkungan demi mencapai target pertumbuhan serta belum adanya pengelolaan yang baik secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Padahal hidup berdampingan dengan alam merupakan hal yang telah diwariskan oleh leluhur kita sejak lama. “Di dalam kearifan lokal, misalnya di Bali ada istilah Tri Hita Karana, di Jawa Barat ada istilah Tri Tangtu,” ulas Prof. Mahfud MD.
Bukan hanya itu, konstitusi kita pun melalui Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 telah mengatur pembuatan kebijakan atas sumber daya alam ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemahaman mengenai konsep ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ sebenarnya telah dilengkapi melalui 4 tolak ukur yang disusun dan disahkan oleh Prof. Mahfud MD melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010 pada 16 Juni 2011. Sayangnya, penerapan atas empat tolok ukur tersebut dalam praktik keseharian belum tampak.
Menjawab berbagai permasalahan yang terjadi hari ini, Prof. Mahfud menyampaikan bahwa Ganjar-Mahfud menawarkan Visi Misi berupa Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari untuk menuju Indonesia Unggul.
Visi Misi tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam program-program yang berfokus pada pertumbuhan berkelanjutan dan pengelolaan aspek lingkungan hidup lestari yang akan dilaksanakan dengan prinsip partisipatif dan mengutamakan kemakmuran rakyat.
Diawali dengan Petani Bangga Bertani merupakan program yang bertujuan untuk menciptakan kepastian pendapatan petani, melalui dukungan alsintan moderen, asuransi terhadap ancaman gagal panen, dan penguatan fungsi BUMN Pangan sebagai offtaker dan price setter harga dari hulu ke hilir.
Selain itu, program ini berusaha mendorong reformasi subsidi bibit dan pupuk melalui pemanfaatan KTP Sakti. Terakhir, program ini berusaha untuk meningkatkan peran Milenial dan Gen Z guna mempercepat pertanian unggul, terutama dalam modernisasi dan inovasi pertanian, pelatihan, serta pemberian akses permodalan bagi para petani milenial.
Program selanjutnya Di Laut Kita Jaya Nelayan Sejahtera merupakan program yang ditujukan untuk memberdayakan ekonomi nelayan melalui pemberian subsidi BBM dan bantuan alat tangkap tepat sasaran (kapal, jaring, keramba apung, dan lainnya).
Selain itu, program berupaya meningkatkan kesejahteraan melalui perluasan manfaat program Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN), penguatan fungsi BUMN Pangan sebagai offtaker untuk menjaga kepastian pendapatan nelayan dan memberikan kepastian wilayah zonasi tangkap dan kemudahan perizinan.
TIGA, program ini bermaksud untuk mengembangkan industri perikanan, melalui penyediaan fasilitas pendingin di pelabuhan, pengembangan hilirisasi produk perikanan, dan digitalisasi pemasaran hasil tangkapan.
Dalam upaya menjaga lingkungan, Ganjar-Mahfud akan menempatkan Masyarakat Adat sebagai salah satu garda terdepan penjaga lingkungan. Untuk itu, Ganjar-Mahfud mendorong program Reforma Agraria Tuntas serta pengakuan dan perlindungan terhadap hak Masyarakat Adat.
Implementasi Reforma Agraria Tuntas akan diwujudkan melalui tiga aksi nyata. Pertama, penegakan hukum melalui pembentukan Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam langsung di bawah Presiden.
Selanjutnya, mempercepat sertifikasi Hakim-Hakim Agraria untuk menyelesaikan kasus prioritas dalam sengketa agraria.
TIGA, mendorong penggunaan HGU yang sudah usai atau terbengkalai untuk dikelola secara komunal oleh petani, nelayan, peternak, dan masyarakat adat.
“Berbagai program unggul Pak Ganjar Pranowo dan Prof. Mahfud MD akan berhasil melalui TIGA kunci utama, terdiri dari Indikator keberhasilan pembangunan bukan hanya ekonomi (pertumbuhan, kemiskinan, kesenjangan, inflasi, pengangguran), tetapi juga sosial dan lingkungan hidup (emisi serta keanekaragaman hayati). Dilanjutkan, Community Based Resource Management (CBRM): Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
TIGA, memastikan perlindungan pada para pejuang hak atas lingkungan hidup melalui Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup Tahun 2009 Pasal 65 dan 66”, sebagaimana penjelasan Meizani Irmadhiany, Praktisi dan Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup.
Usaha untuk memperbaiki Bumi tidak mudah dan tidak murah. Upaya ini harus berkeadilan. Artinya setiap negara harus diberi tanggung jawab berdasarkan seberapa besar kemakmuran yang diperolehnya dengan mengeksploitasi bumi.
“Krisis Iklim adalah krisis planet dan umat manusia yang ada di dalamnya. Sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, tetapi saat ini ada ketidakadilan di dalam membagi tanggung jawab penyelesaian krisis iklim di tingkat global. Data menunjukkan, emisi bumi meningkat tajam sejak revolusi industri di Eropa tahun 1750. 200 tahun negara-negara barat seperti di Eropa dan Amerika Utara mengumpulkan kekayaannya dengan mengeksploitasi bumi secara besar-besaran. Sementara kebanyakan negara-negara berkembang baru berdaulat dan membangun negaranya pasca Perang Dunia ke II,” jelas Andi Widjajanto, Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud.
Indonesia sendiri baru memulai industrialisasi tahun 1970. Oleh karena itu, Ganjar-Mahfud akan menuntut peran lebih dari negara-negara maju untuk memperbaiki Bumi.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS