JAKARTA -- Langkah tegas dan berani yang diambil Presiden Joko Widodo dengan menyetop kegiatan ekspor bijih nikel terbukti sukses meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi negara.
Pada tahun 2022 saja, pendapatan negara terdongkrak hingga mencapai US$ 33,8 miliar atau sekitar Rp504 triliun dari sektor industri nikel.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto menuturkan bahwa kebijakan larangan ekspor raw material nikel ampuh menggenjot pendapatan yang signifikan.
Hal itu turut mendorong kesejahteraan UMKM yang berada di daerah penghasil nikel.
"Ekspor produk turunan nikel tahun 2022 mencapai angka US$ 33,8 miliar, dampaknya sektor UMKM daerah penghasil nikel cukup signifikan," ujar septiap pada kegiatan BRI Microfinance seperti dikutip dari Youtube Bank BRI, Jumat (27/1/2023).
Seto juga menyampaikan rasa optimisnya bahwa nilai tambah ekspor produk turunan nikel ke luar negeri pada 2023 akan terus melonjak.
Ia menargetkan pada tahun ini, pemasukan negara dari ekspor nikel mencapai US$ 35 - US$ 38 miliar atau sekitar Rp 542 triliun hingga Rp 569 triliun.
"Ini bisa menggantikan (nilai) ekspor sawit yang terbesar di Indonesia setelah batu bara," kata Seto.
Seto menerangkan bahwa Pemerintahan Jokowi terus berkomitmen untuk membangun ekosistem pertambangan mulai dari hulu ke hilir.
Seto yakin, dengan ekosistem yang baik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kalau ekosistem bisa terbentuk, maka dampak pertumbuhan ekonomi daerah juga signifikan, UMKM juga," tandas Seto.
Presiden Jokowi resmi memberhentikan kegiatan ekspor barang mentah nikel pada 1 Januari 2020.
Jokowi mendorong hilirisasi produk-produk turunan nikel seperti Limonit, Nickel Sulfat, Prekursor, Katoda, dan sel baterai.
Daro produk turunan nikel tersebut Indonesia bisa memperoleh nilai tambah ekonomi hingga puluhan kali lipat.
(Yakop/Im)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS