Sang penjaga regalia Kerajaan Melayu, Kisah heroik yang mengukir sejarah panjang di Pulau Penyengat | Borneotribun.com

Jumat, 11 November 2022

Sang penjaga regalia Kerajaan Melayu, Kisah heroik yang mengukir sejarah panjang di Pulau Penyengat

Sang penjaga regalia Kerajaan Melayu, Kisah heroik yang mengukir sejarah panjang di Pulau Penyengat
Kompleks Pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang (Nikolas Panama)
Tanjungpinang - Kisah heroik yang mengukir sejarah panjang di Pulau Penyengat, pusat Kerajaan Riau-Lingga-Pahang belum usai, meski Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Sejarah peperangan antara Kerajaan Riau-Lingga-Pahang dengan Belanda dan Jepang pada abad 17-18  tidak dapat menggeser peran seorang wanita yang kuat, teguh dan berani. Dia adalah Engku Puteri Raja Hamidah, putri sulung dari pernikahan Raja Haji Fisabilillah dengan Ratu Emas.

Engku Puteri Raja Hamidah yang kala itu akrab disapa Engku Hamidah memegang peranan penting dalam menjaga kedaulatan kerajaan dari tipu daya tentara Belanda dan Inggris. Istri dari Sultan Mahmud Riayat Syah itu tidak pernah goyah menyerahkan simbol kerajaan kepada Belanda dan Inggris, meski dibujuk rayu dan ditodong senjata.

Regalia, simbol kedaulatan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang dan adat melayu. Regalia berbentuk daun sirih, berukuran besar, lebih besar dari daun sirih sebenarnya. Sirih Besar itu terbuat dari emas.

Regalia hanya digunakan untuk penobatan atau pengangkatan sultan. Hal ini disebabkan Engku Hamidah dipandang sebagai tokoh perempuan yang memegang teguh adat istiadat kerajaan.

Engku Hamidah menyembunyikan simbol sakral itu untuk menyelamatkan negerinya. Kerajaan akan tunduk kepada penjajah bila regalia jatuh di tangan Belanda atau Inggris. Kini regalia tersebut disimpan di Museum Nasional.

Ia juga satu-satunya perempuan yang berani berperang mengikuti jejak sang ayah dan suami di Perairan Pulau Penyengat.

Sejarawan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr.Abdul Malik, mengatakan Engku Hamidah sebelum menikah tinggal di Kota Rebah, bibir Sungai Carang. Ia menolak tinggal di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat karena tidak ingin minum air dari satu tanah dengan Belanda dan Inggris.

Setelah Belanda dan Inggris kalah perang, ia baru tinggal di Pulau Penyengat setelah menikah dengan Sultan Mahmud. Engku Hamidah yang lahir pada tahun 1774 itu merupakan pewaris Pulau Penyengat. Sebab, pulau ini menjadi emas kawin atau mahar yang diberikan Sultan Mahmud Riayat Syah III kepadanya pada tahun 1803.

Di tangan Engku Hamidah, pembangunan Pulau Penyengat semakin pesat dan maju setelah suaminya berhasil mengalahkan Belanda.

Sementara Sultan Mahmud Riayat Syah meninggalkan Pulau Penyengat setelah berhasil mengalahkan Belanda. Taktik Sultan Mahmud yakni menggeser medan perang dari Pulau Penyengat ke Daik setelah mengetahui Belanda akan menyerang kembali Kerajaan Riau-Lingga-Pahang. Sultan Mahmud pun berhasil mengalahkan Belanda saat perang di Perairan Daik.

Tokoh Pluralisme

Abdul Malik berpendapat Engku Hamidah merupakan tokoh pluralisme. Ia berhasil menyatukan warga dari berbagai etnis seperti Melayu, Bugis, Tiongkok dan Minangkabau.

Strategi menyatukan warga dengan memberi ruang kepada mereka untuk beraktivitas baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan agama. Pernikahan Tan Tek Seng, pemimpin Kapitan Tionghoa pada saat itu merupakan cerminan kehidupan pluralisme di Kerajaan Riau-Lingga-Pahang.

Tan Tek Seng beserta mempelainya menggunakan adat China saat menikah di Tanjungpinang, kemudian memakai pakaian adat melayu saat menggelar pesta di Pulau Penyengat.

Sejarawan lainnya, Raja Malik, yang masih keturunan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang berpendapat Engku Hamidah layak menyandang tokoh emansipasi perempuan. Perempuan di kala itu tidak banyak yang mengambil peran seperti Engku Hamidah.

Peran Engku Hamidah di kerajaan seakan-akan melegitimasi bahwa perempuan melayu juga dapat berkontribusi di bidang politik, sosial, budaya pertahanan dan keamanan. Perempuan melayu tidak pasif, melainkan berani bersikap dan mengambil keputusan, meski berhadapan dengan risiko yang berat.

Dalam jejak sejarah, Engku Hamidah tidak pernah menjadi permaisuri yang mewariskan putera mahkota dan membangun zuriah (keturunan) dari darahnya untuk menjadi Sultan di puncak kekuasaan Riau-Lingga. Namun demikian, dia berhasil menjadi benteng yang tangguh sebagai pemegang, pemelihara, dan pengawal kebesaran dan Kedaulatan kerajaan, yang bernama regalia itu.

Dia pula menjadi simbol kekuatan yang senantiasa menjaga kesucian Sirih Besar dan perangkat kebesaran dan lambang kekuasaan kerajaan.

Usulkan jadi pahlawan

Pada abad 18, di Aceh Cut Nyak Dien melawan penjajah dengan cara bertempur, sedangkan Engku Hamidah di Pulau Penyengat melawan penjajah dengan mempertahankan regalia untuk menjaga kedaulatan negeri.

Sejarawan Abdul Malik dan Raja Malik merupakan dua dari sejumlah tokoh berhasil memperjuangkan Raja Ali Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pahlawan nasional. Raja Ali Haji berjasa di bidang pendidikan dan bahasa, sedangkan Sultan Mahmud berjasa melawan dan mengalahkan penjajah.

Kedua sejarawan asal Kepri itu menginginkan Engku Hamidah dinobatkan sebagai pahlawan, yang berjasa memegang amanah menjaga regalia sebagai simbol kedaulatan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang dalam melawan penjajah.

Engku Hamidah merupakan tokoh emansipasi perempuan, yang juga berjasa menyatukan berbagai etnis sehingga kehidupan kerajaan menjadi damai.

Perlawanan Engku Hamidah terhadap penjajah merupakan komitmen yang teguh sebagai simbol kekuatan perempuan kala itu.

Nilai kepahlawanan bukan hanya ditandai dengan perjuangan melawan penjajahan dan penindasan dengan bedil dan meriam. Bukan pula hanya persembahan darah, tetapi juga perlawanan dengan budaya, perjuangan dengan kata-kata, dengan ketegaran hati, dan sikap tidak menyerah dalam mempertahankan kedaulatan dan harkat negeri.

Perlawanan yang dilakukan Engku Hamidah dalam mempertahankan Regalia Kerajan Riau-Lingga itu merupakan perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan yang ingin merampas kedaulatan kerajaan melalui perampasan terhadap simbol kedaulatan kerajaan.

Abdul Malik dan Raja Malik mengatakan, butuh proses yang panjang dan kerja yang serius untuk memperjuangkan Engku Hamidah sebagai pahlawan nasional. Ia berharap Pemerintah Tanjungpinang memperjuangkan agar Engku Hamidah menjadi pahlawan nasional, mengikuti jejak ayah dan suaminya.

Pemerintah Tanjungpinang harus melibatkan akademisi untuk melakukan kajian lebih mendalam terhadap nilai-nilai kepahlawanan Engku Hamidah. Usulan itu  pun harus mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. 

Pewarta : Nikolas Panama/Antara
Editor : Yakop

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar