Festival Gandrung Sewu Bukan Agenda Pariwisata Biasa | Borneotribun.com

Minggu, 30 Oktober 2022

Festival Gandrung Sewu Bukan Agenda Pariwisata Biasa

Festival Gandrung Sewu Bukan Agenda Pariwisata Biasa
Festival Gandrung Sewu Bukan Agenda Pariwisata Biasa.
Banyuwangi - Hari Sabtu, 29 Oktober 2022, saat jarum jam masih menunjukkan pukul 12.00 WIB, suasana kawasan wisata Pantai Boom di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah terlihat ramai pengunjung.

Akses jalan menuju salah satu kawasan wisata di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa itu juga tersendat.

Para pengunjung itu tidak hanya datang dari Banyuwangi dan daerah sekitar, tapi juga luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Tampak juga sejumlah wisatawan mancanegara.

Hari itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi punya hajat besar, yakni Festival Gandrung Sewu 2022: Banyuwangi Rebound. 


Agenda pariwisata ini telah digelar sejak tahun 2012 dan sempat terhenti selama dua tahun pada 2020 dan 2021 karena ada pandemi COVID-19.

Tahun 2021 sebenarnya festival ini sudah kembali digelar, tetapi secara hybrid (offline dan online) terbatas karena situasi belum memungkinkan. 

Melibatkan ratusan penari yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan juga mancanegara. 

Mereka adalah warga Banyuwangi yang sedang merantau (diaspora).

Kini, setelah dua tahun tak ada gelaran, Pemkab Banyuwangi kembali menggelar Festival Gandrung Sewu 2022 secara langsung di Pantai Boom dengan melibatkan 1.284 penari anak-anak hingga dewasa, termasuk seniman pengisi drama kolosal.

Tidak salah kalau kemudian banyak warga Banyuwangi dan wisatawan luar daerah yang sangat antusias ingin menyaksikan festival tahunan ini. 

Mereka bahkan rela datang tiga jam sebelum pertunjukan dimulai demi mendapatkan tempat terdepan.

Masyarakat yang tidak bisa datang langsung ke Banyuwangi tetap dapat menyaksikan Festival Gandrung Sewu melalui siaran langsung secara streaming yang disiapkan panitia.

Tema yang diangkat pada festival kali ini adalah "Sumunare Tlatah Blambangan" atau "Kemilau Bumi Blambangan". 


Tema ini menceritakan sebuah kisah Banyuwangi semasa masih menjadi kawasan Kerajaan Blambangan. Kala itu, kerajaan dilanda wabah atau pageblug yang tidak bisa dibendung.

Banyak rakyat Blambangan yang terjangkit wabah itu hingga meninggal dunia. Pagi kena wabah, sore mati. Malam terserang wabah, pagi meninggal.

Akibatnya, seluruh aspek kehidupan ikut terusik hingga memasuki kalangan Istana Blambangan, termasuk Putri Dewi Sekardadu pun ikut terkena wabah itu.

Segala upaya telah dilakukan pihak kerajaan, namun tidak membuahkan hasil.

Akhirnya berkat usaha keras, pihak Istana Blambangan berhasil menemui pertapa muda bernama Syech Maulana Malik Ibrahim atau Syech Wali Lanang untuk meminta pertolongan.

Penyebar agama Islam itu bermunajat kepada Allah SWT dan atas izin-NYA berhasil melenyapkan pageblug dari Bumi Blambangan, termasuk menyembuhkan Putri Dewi Sekardadu.

Seluruh rakyat Blambangan bergembira dan sebagai hadiahnya, sang raja menikahkan putrinya itu dengan Syech Maulana Malik Ibrahim.

Cerita dalam drama kolosal itu seperti menggambarkan situasi yang terjadi di Indonesia dan juga belahan dunia selama dua tahun terakhir saat dilanda pandemi COVID-19.

Ribuan warga Indonesia menjadi korban dari keganasan virus yang pertama kali ditemukan di China itu.

Hampir seluruh sendi kehidupan terdampak. Warga tidak lagi bisa berinteraksi secara bebas, perekonomian terganggu dan banyak sektor usaha tutup. Rasa was-was dari ancaman virus mematikan itu setiap saat dirasakan masyarakat.

Drama kolosal "Kemilau Bumi Blambangan" itu ditampilkan secara apik di pelataran pasir Pantai Boom selama sekitar satu jam.

Puluhan ribu penonton yang menyaksikan festival dibuat kagum dan terpesona dengan gerakan dinamis para penari gandrung yang  beratribut khas warna merah serta iringan musik rancak gamelan Osing yang memadukan budaya Jawa dan Bali.

Meningkatkan kesadaran budaya

Ketika pertama kali digelar pada tahun 2012, Pemkab Banyuwangi sempat kesulitan mendapatkan seribuan penari gandrung untuk mendukung festival itu. Bahkan, para kepala desa, lurah dan camat digerakkan untuk mencari peserta hingga akhirnya terjaring lebih dari seribu penari.

Seiring berjalannya waktu, warga Banyuwangi, terutama para pelajar dan anak-anak milenial, mulai tertarik untuk ambil bagian memeriahkan Festival Gandrung Sewu.

Bahkan tahun ini, jumlah pendaftar yang ingin ikut festival lebih dari 3.000 orang, sehingga panitia penyelenggara harus melakukan seleksi hingga terpilih sebanyak 1.284 orang penampil.

Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas pun merasa terharu dengan antusiasme dan semangat para anak muda serta seniman dari seluruh wilayah setempat untuk terlibat dalam perhelatan akbar ini.

Bagi Pemkab Banyuwangi, Festival Gandrung Sewu bukan sekadar peristiwa pariwisata biasa, tetapi sebuah upaya memajukan seni budaya daerah dengan melibatkan pelaku seni di Bumi Blambangan (sebutan Banyuwangi), khususnya anak-anak muda.

Kini, ketika menyebut "gandrung", imajinasi sebagian besar masyarakat sudah langsung tertuju pada Kabupaten Banyuwangi, sebagai daerah asal kesenian tersebut. Artinya, tari gandrung telah mengangkat pamor Banyuwangi tidak hanya menasional, tapi juga mendunia.

Tari Gandrung yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda itu, telah berkali-kali dipentaskan dalam berbagai acara nasional dan internasional, antara lain acara kenegaraan di Istana Negara dan acara kebudayaan di Jerman, Malaysia, Prancis, Hong Kong, Brunei Darussalam, Rusia, serta Jepang.

Seringnya tari gandrung ditampilkan pada berbagai ajang di luar negeri menjadi kesempatan emas bagi Kabupaten Banyuwangi untuk menjual potensi pariwisata dan ekonomi yang dimiliki. Ujung-ujungnya tentu berdampak pada kemajuan dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Setidaknya dari Festival Gandrung Sewu yang dihadiri puluhan ribu pengunjung atau wisatawan, banyak dampak ekonomi ikutan yang terdongkrak, semisal transportasi, penginapan, kuliner, hingga penjualan oleh-oleh khas yang diproduksi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) setempat.

Sektor UMKM menjadi salah satu pendongkrak pertumbuhan ekonomi Banyuwangi yang selama pandemi tahun 2020 terkontraksi minus 3,58 persen, dan tahun 2021 kembali bangkit dengan membukukan pertumbuhan positif 4,08 persen. 

Tahun 2022, seiring menurunnya pandemi, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi diproyeksikan bisa lebih dari 5 persen, salah satu penopangnya tetap dari sektor UMKM.

Sisi positif terpenting lain yang bisa diperoleh dari gelaran Festival Gandrung Sewu adalah meningkatnya kesadaran dan kecintaan anak-anak muda Banyuwangi kepada budaya daerahnya.

Mereka bisa berbangga karena tari gandrung kini telah mendunia, tidak kalah dengan budaya K-Pop asal Korea yang juga digandrungi banyak negara di dunia.

Pewarta : Didik Kusbiantoro/Antara
Editor : Yakop

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar