Warga Sikh AS Masih Berjuang Hadapi Diskriminasi Pasca Serangan 11 September. |
Setelah serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat yang dilakukan kelompok Islamis, lelaki Sikh masih sering menghadapi diskriminasi dan serangan terhadap mereka, mulai dari perundungan (bullying) hingga kejahatan berbasis kebencian.
Setelah 20 tahun serangan teroris itu, warga Sikh ternyata masih juga menghadapi hal serupa.
Raghuvinder Singh tidak pernah membayangkan ayahnya akan berada dalam bahaya, sewaktu sang ayah berkunjung sebagai seorang pendeta tamu ke sebuah kuil Sikh di Oak Creek, Wisconsin, pada Agustus 2012.
Namun sang ayah termasuk satu di antara tujuh umat Sikh yang akhirnya meninggal dunia karena peristiwa pembantaian pada 5 Agustus tahun tersebut.
Mereka tewas di tangan seorang veteran Angkatan Darat Amerika pendukung supremasi kulit putih yang melepaskan tembakan ke arah kuil.
Ayah Singh terkena tembakan di bagian kepala dan kemudian tubuhnya lumpuh separuh.
“Ia selalu dalam keadaan lumpuh dan semikoma. Ia tak dapat berbicara. Ia tak dapat bergerak.
Ia tak dapat berjalan. Hidupnya berubah total," kata Singh. Ayah Singh menderita karena cedera yang dialaminya selama tujuh tahun lebih, dan akhirnya meninggal dunia pada 2 Maret 2020. Orang-orang muda Sikh Amerika masih berjuang satu generasi kemudian.
Mereka menghadapi diskriminasi yang dipicu oleh peristiwa 11 September 2001 berupa serangan terhadap orang tua mereka maupun mereka sendiri.
Serangan-serangan itu beragam, mulai dari perundungan di sekolah hingga ke profil rasial sampai ke kejahatan berdasarkan kebencian – terutama terhadap kaum lelaki Sikh, yang biasanya memelihara jenggot dan serban untuk menunjukkan kepercayaan mereka.
Satjeet Kaur, Direktur Eksekutif di The Sikh Coalition, sewaktu berbicara mengenai persepsi warga Amerika Sikh setelah serangan 11 September, mengatakan,"Orang melihat serban dan jenggot sebagai sesuatu yang ditakuti.”
Sementara itu, hingga menjelang peringatan 20 tahun serangan teroris 11 September, generasi muda Sikh menyatakan masih banyak yang perlu diperbaiki terkait dengan kejahatan berbasis kebencian terhadap komunitas mereka.
Biro Investigasi Federal (FBI) bahkan baru mulai melacak kejahatan berbasis kebencian khususnya terhadap warga Sikh pada tahun 2015, dan banyak badan penegak hukum setempat yang gagal mencatat serangan semacam itu secara komprehensif.
FBI mencatat 67 kejahatan anti-Sikh pada tahun 2020, jumlah tahunan tertinggi sejak kategori ini diciptakan pada tahun 2015.
“Sering kali kita lupa bahwa itulah kenyataan sesungguhnya dari kebencian. Kebencian ini berdampak pada kehidupan orang-orang, pada keluarga mereka," tambah Satjeet.
Serangan-serangan semacam itu dapat dirasakan sangat berat terhadap kaum muda Sikh, yang menghadapi bullying dari teman-teman sekelas mereka yang berusaha merenggut serban mereka atau mengolok-olok mereka sebagai “keponakan Osama” atau “Saddam Hussein.”
"Orang-orang mulai mengaitkannya karena menganggap inilah tampilan ‘teroris'," kata Satjeet Kaur.
Mereka seringkali harus bergumul dengan falsafah Sikh yang disebut chardi kala, suatu ajakan untuk tetap optimistis pada saat menghadapi penindasan. Tejpaul Bainiwal, 25 tahun, adalah seorang kandidat doktor di University of California, Riverside.
Ia mempelajari sejarah Sikh yang pertama kali mulai berdatangan di AS pada akhir tahun 1800-an. Bainiwal mengakui bahwa ia banyak terlibat baku hantam semasa di SMA dengan para pelajar lain yang merenggut penutup kepalanya dan kemudian mengejeknya.
Ia mengatakan keluarga-keluarga Sikh yang ketakutan, termasuk keluarganya sendiri, berdebat mengenai apakah akan terus menunjukkan tanda kepercayaan mereka, seperti serban, setelah pembantaian 5 Agustus 2012 di kuil Sikh di Oak Creek, Wisconsin, yang pada akhirnya menewaskan tujuh orang.
"Saya dulu seorang anak yang pemberang. Saya bingung karena, saya lahir dan besar di sini, jadi mengapa mereka seperti memilih saya?" kata Tejpaul Bainiwal.
Perlu waktu lama bagi Bainiwal sebelum ia akhirnya menghargai konsep Sikh mengenai chardi kala. Ia menjelaskan, "Untuk menyeimbangkan chardi kala dan kemarahan ini, saya pikir … saya bisa bilang ini rumit, karena kita manusia dan kita penuh dengan emosi. Dan salah satu hal yang diajarkan oleh kepercayaan Sikh adalah mengendalikan kemarahan kita."
Sewaktu ayah Singh masih hidup, ia dapat berkomunikasi dengan cara mengedipkan mata sekali untuk menandakan ‘tidak’ dan berkedip dua kali untuk ‘ya.’ Singh yang kini berusia 49 tahun mengatakan, pelajaran terbesar yang diberikan ayahnya adalah bagaimana cara menjalankan chardi kala.
“Sewaktu saya menanyainya, ‘Papa Ji, apakah Anda sedang menjalankan chardi kala? Ia akan berkedip dua kali, sengaja berkedip dua kali dan ia akan mengatakan, ‘ya, saya dalam keadaan chardi kala.’ Sehingga kami belajar, kami belajar darinya, bahwa dalam kondisi seperti itu, jika ia dapat hidup dalam chardi kala, mengapa kita tidak bisa?” katanya. [uh/ab]
VOA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS