Perundungan Siber di Indonesia Kian Mengkhawatirkan. |
BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Cyberbullying atau perundungan siber di Indonesia terus meningkat. Di satu sisi, pelaku cenderung lepas dari tanggung jawab, di sisi lain mayoritas korban tidak berani bertindak.
Kasus perundungan siber di Tanah Air sangat mengkhawatirkan. Penelitian yang dilakukan Center for Digital Society (CfDS) dan Center for Lifespan and Development (CLSD) Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan 45,35 persen dari 3.077 responden mengaku pernah menjadi korban perundungan.
Penelitian yang dimulai sejak 2000 dengan tajuk “Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia” ini didukung oleh Facebook Global.
Ada 3.077 pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di 34 provinsi yang menjadi responden.
Dari lebih tiga ribu siswa itu, kata Desintha Dwi Asriani selaku peneliti, mayoritas berusia di bawah 15 tahun.
“Secara agregat, prosentasi responden 69 persen adalah siswa SMP, dalam kategori 13-15 tahun, kemudian yang perempuan 71 persen dan ternyata dari responden tersebut, mayoritas, 88 persen, punya gawai pribadi. Mereka punya device sendiri untuk melakukan aktivitas online,” ujar Deshinta dalam paparan hasil penelitian di Yogyakarta, Kamis (16/9).
Tiga aplikasi yang paling banyak digunakan responden adalah Whatsapp, Instagram dan Facebook. Seluruh responden, baik yang memiliki ataupun tidak memiliki gawai pribadi, adalah pengguna aktif media sosial.
Survey menunjukkan, 1.182 responden, atau 38.41 persen, mengaku pernah menjadi pelaku tindakan perundungan siber.
Sedangkan 45,35 persen responden mengaku pernah menjadi korban. Bentuk perundungan yang paling sering dilakukan responden adalah exclusion seperti pengucilan kawan, denigration seperti pencemaran nama baik atau fitnah, dan harassment yang bisa berupa meninggalkan komentar kasar atau meneror melalui pesan beruntun.
Dari sisi jenis kelamin, responden perempuan ternyata lebih banyak melakukan tindakan perundungan siber dalam bentuk denigration.
Sedangkan responden laki-laki, lebih sering melakukan harassment dan exclusion.
Dilihat dari jenjang pendidikan, responden siswa SMA lebih banyak yang melakukan tindakan perundungan siber dalam bentuk denigration dan exclusion dibandingkan dengan responden SMP.
Tiga Faktor dan Tiga Temuan
Ada tiga faktor yang dicatat sebagai hasil analisis terhadap hasil survei ini. Menurut Deshinta, persoalan pertama adalah faktor psikologis yang mendorong anak-anak untuk melihat perundungan siber sebagai sesuatu yang biasa.
“Tindakan mengejek, mengekslusi, melakukan gap, semacam geng-geng tertentu, itu dianggap seperti praktik yang biasa. Karena sering melakukannya, itu kelihatan hal yang biasa. Pembiasaan-pembiasaan itu yang kemudian mendorong individu untuk merasa bahwa melakukan perundungan siber di aktivitas online itu tidak apa-apa,” ujar Deshinta.
Analisis kedua adalah bahwa ada keyakinan perundungan siber adalah sesuatu yang mudah diterima, dan karena itu pelaku terus melakukannya.
Sedangkan yang ketiga, muncul anggapan perundungan siber mudah dilakukan sehingga kecenderungannya meningkat.
Melalui diskusi bersama perwakilan orang tua, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi pemerintahan terkait, ada sejumlah temuan menarik dari tim.
Pertama, orang tua remaja di Indonesia menyadari remaja merupakan subyek yang rentan di ruang digital.
Namun, kerap kali orang tua tidak mampu melakukan pengawasan dan pendampingan optimal karena adanya kesenjangan literasi digital antara orang tua dengan anak.
Merusak Ekosistem Digital
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2018 menyebutkan jumlah angka anak korban perundungan siber mencapai 22,4 persen.
Angka ini cukup besar, diduga karena dipicu tingginya konsumsi internet oleh anak-anak.
Sementara riset Polling Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019, sekurangnya 49 persen warganet dalam rentang usia 15-19 tahun mengaku pernah menjadi sasaran perundungan di media sosial.
Koodinator Program di Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Andika Zakiy, mengutip data APJII, menyebut, korban cenderung mendiamkan tindakan itu.
“Sebanyak 31,6 persen pihak yang dirundung itu membiarkan saja pelakunya. Padahal ini bisa menyebabkan ekosistem digital kita menjadi rusak,” kata Andika menanggapi hasil penelitian ini.
Mengutip data dari DQ Institute, ujar Andika, Indonesia berada di peringkat 26 dari 30 negara yang dikaji oleh lembaga berbasis di Singapura tersebut.
Dalam Children Online Safety Index (COSI), Indonesia hanya mencatatkan angka 17,5, di bawah angka rata-rata.
Indonesia juga ada di posisi terendah dalam soal panduan dan pendidikan, di mana seharusnya sekolah dan keluarga mampu memberdayakan anak-anak di tengah dunia digital.
Indonesia juga rendah dalam capaian menurut indeks ini, dengan duduk di peringkat 24 untuk kompetensi digital, peringkat 29 untuk manajemen waktu pemakaian gawai, dan posisi 29 juga untuk empati digital.
“Kalau batas usia pengguna media sosial itu kan 13 tahun, di bawah itu tidak boleh. Tetapi ternyata anak-anak di bawah 13 tahun sudah menggunakan media sosial dengan punya akun mereka sendiri. Berarti, ada pembiaran orang tua untuk anak mengakses media sosial tersebut,” kata Andika.
Andika mengingatkan, anak-anak di bawah usia 13 tahun belum siap untuk dapat berkomentar dengan baik di media sosial.
Selain itu, bisa jadi mereka juga akan menerima komentar dari pengguna lain, yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Faktor lain yang penting direnungkan adalah bahwa anak-anak itu, belum siap untuk menyaksikan terjadinya perundungan siber melalui akun media sosial mereka sendiri.
Pemerintah Ajak Semua Pihak
Sementara itu, Fitra Andika Sugiyono dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menyebut pemerintah akan dan terus bekerja sama dengan berbagai pihak dalam isu ini.
“Pemerintah membuat peta jalan untuk perlindungan anak di ranah daring. Peta jalan ini fungsinya adalah mengurangi angka kekerasan daring terhadap anak, salah satunya adalah perundungan siber ini,” kata Fitra.
Kemen PPPA telah mengembangkan sinergi serta kolaborasi lintas sektor, yaitu pemerintah, masyarakat dan lembaga sosial masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan aman bagi anak di dunia daring.
Selain itu, ada juga perubahan peraturan untuk memastikan kemajuan teknologi tetap melindungi anak. Namun, Fitra mengingatkan persoalan ini harus dihadapi bersama seluruh pihak terkait.
Terkait isu ini, Kemen PPPA sudah membuka Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) dan menyediakan Sapa 129 sebagai layanan telepon sahabat anak dan perempuan.
Selain itu, mereka juga melakukan sosialisasi dan pelatihan hak dan perlindungan anak, serta membentuk Forum Anak di tingkat nasional maupun daerah. [ns/ah]
VOA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS