Perajin Anyaman di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat Siap Mengirimkan Pesanan. |
BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Jumat, 13 Agustus 2021, Pandemi menjadi pukulan telak bagi banyak pelaku usaha yang kehilangan omzet pendapatan akibat adanya pembatasan mobilitas para konsumen demi memutus penyebaran COVID-19.
Pukulan sama juga pernah dirasakan oleh Emiliana, perempuan berusia 38 tahun, perajin anyaman bambu dari Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Beliau adalah salah satu garda terdepan perlindungan hutan yang membantu memastikan ekosistem tetap terjaga supaya bambu bahan baku kerajinannya bisa selalu tersedia.
Perajin Anyaman di Kabupaten Sitang, Kalimantan Barat. |
Selama hampir satu tahun di awal pandemi, ibu dua orang anak yang sudah 10 tahun menjalani usaha kriya ini harus kehilangan pemasukan karena usahanya sangat bergantung pada wisatawan yang datang ke Sintang.
Akan tetapi, pepatah ‘dari buntung jadi untung’ dirasakan langsung saat Emi dan ratusan perajin lain yang tergabung dalam Koperasi Jasa Menenun Mandiri (JMM) di kabupaten itu mulai berkenalan dengan dunia digital yang difasilitasi melalui kolaborasi asosiasi pemerintah daerah
kabupaten Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LKTL) bersama Krealogi oleh Du’anyam.
Peralihan menuju pasar digital itu berbuah manis. Saat Lebaran tahun lalu, Koperasi JMM berhasil menerima pesanan 80 produk anyaman dengan omzet mencapai sekitar Rp15 juta.
Pesanan itu masih mengalir hingga kini. Emi mengaku saat ini rata-rata pendapatannya dari menganyam mencapai Rp1 juta per bulannya. Lewat pelatihan ini, JMM juga belajar menggunakan sistem tata niaga digital untuk dapat mengelola pesanan koperasi secara berkelompok dengan lebih efisien dan mampu memastikan semua produk punya kualitas yang sama baiknya.
“Sebelum pandemi, produk kami dibeli oleh wisatawan yang datang ke toko. Sejak pandemi, kondisinya berubah total, toko sangat sepi. Setelah memanfaatkan promosi lewat platform digital, pesanan bisa datang dan kami kerjakan secara berkelompok,” kata Emi.
Sugiman, Direktur Koperasi JMM Sintang mengatakan, para perajin kini memasarkan produknya ke ragam platform digital seperti WhatsApp, Facebook, dan Instagram.
“Akses internet memungkinkan masyarakat desa untuk menggunakan WhatsApp, Facebook dan Instagram. Dengan begitu, para perajin bisa mempromosikan produk buatannya sendiri ke masyarakat yang lebih luas. Hingga saat ini, pesanan terhadap produk buatan kami juga terus berdatangan,” kata Sugiman.
Kendati demikian, buah manis dari bisnis digital belum dirasakan secara luas oleh banyak pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di pelosok negeri.
Bank Indonesia memperkirakan nilai transaksi perdagangan digital (e-commerce) sampai akhir tahun ini mencapai Rp395 triliun atau tumbuh 48,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sayangnya, dari peningkatan transaksi yang signifikan itu, partisipasi produk UMKM sangat minim, hanya berkisar di angka 6-7 persen. Selebihnya, barang yang dijual di beragam marketplace dalam negeri berasal dari produk impor.
Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), menaksir setidaknya ada empat tantangan bagi pelaku UMKM untuk bisa ikut memanfaatkan ceruk bisnis digital.
Produk Anyaman dari Sintang, Kalimantan Barat. |
Pertama, tingkat literasi digital yang masih rendah. Kedua, dukungan infrastruktur termasuk akses internet dan jalur logistik yang belum merata. Ketiga, minimnya edukasi kepada konsumen perihal produk-produk UMKM, khususnya yang ramah lingkungan.
Terkait literasi digital, pengembangan ‘rumah promosi’ seperti JMM dapat menjadi sentra pemasaran di masing-masing kabupaten lestari dapat menjadi jawaban.
Kaum muda lokal bisa diberdayakan untuk mendukung bisnis produk lestari. Mulai dari pemasaran, pengelolaan pesanan, penyimpanan, dan tata niaga lain dapat dikelola lebih sistematis. Dengan begitu, perajin bisa benar-benar fokus pada kualitas karya.
“Hal lain juga dari sisi logistik. Bagaimana caranya produk UMKM bisa bersaing harga dengan yang shipping dari luar negeri misalnya.
Solusi yang mulai dilakukan adalah mengelola pesanan secara berkelompok atau skema reseller serta gotong royong bersama mitra yang fokus di jaga logistikdan pergudangan supaya ongkos transportasi bisa ditekan,” kata Gita.
Pihaknya menambahkan, pengembangan pasar bagi produk UMKM tidak melulu harus difokuskan pada ekspor. “Kami yakin bahwa produk UMKM Indonesia yang berkualitas, yang ramah lingkungan dan ramah sosial sebaiknya jangan hanya ditujukan untuk kepentingan ekspor. Ceruk pasar dalam negeri masih terbuka luas asal kita kombinasikan dengan edukasi konsumen. Apalagi platform ecommerce terus berkembang, sehingga terbuka untuk mendukung pertumbuhan bisnis UMKM
daerah,“ tutur Gita.
Potensi Produk Lestari Sebagai asosiasi kabupaten, LTKL saat ini tengah fokus untuk mengembangkan dan memasarkan produk lestari bernilai tambah tinggi hasil karya para pelaku UMKM di berbagai kabupaten di Indonesia termasuk lewat marketplace, metode business matching serta berbagai kegiatan kampanye belanja online.
Bagi LTKL, produk yang lestari adalah produk yang tidak berdampak negatif bagi lingkungan, mampu memastikan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam rantai pasok dan mengelola energi serta limbahnya dengan bertanggungjawab.
Tentunya transisi ini butuh gotong royong dengan pemerintah nasional. Salah satunya, LTKL bekerjasama dengan SMESCO Indonesia, APKASI dan gerakan Hutan Itu Indonesia akan menggelar pekan ‘UMKM Fair: Gerai Kabupaten Lestari’ untuk mendukung kampanye ‘Bangga Buatan Indonesia’ dan memperingati kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus nanti.
LTKL juga mendorong pemerintah nasional untuk memprioritaskan pengadaan barang dan jasa untuk barang lokal yang lestari. Saat ini, BUMN sudah mengalokasikan 20% pengadaan barang dan jasanya untuk produk lokal. Sedangkan menurut Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), serapan produk lokal dipatok sebesar 40% untuk mendukung kampanye ‘Bangga Buatan Indonesia’.
Gita menambahkan, “Kami ingin mendorong kampanye ‘Bangga Buatan Indonesia’ melangkah lebih jauh menjadi ‘Bangga Buatan Indonesia yang Lestari’. Kami juga percaya bahwa pemulihan ekonomi paska pandemi berarti peningkatan produk lokal yang ramah lingkungan dan ramah
sosial.”
Menangani berbagai klien skala UMKM, Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN menyatakan bahwa ada banyak sekali faktor yang membuat sebuah bisnis berhasil.
“Untuk mencapai tujuan tersebut, kami akan menilai elemen-elemen pendukung lainnya yang ada di rantai pasok dari hulu hingga hilir. Misalnya, visi dan misi pendiri, sumber supply produk, kesiapan tim, keunikan dan potensi produk, serta tempat pemasaran produk tersebut,” tutur
Atika.
ANGIN melihat bahwa ke depannya potensi pasar untuk produk lestari cukup besar karena kesadaran konsumen yang semakin tinggi untuk membeli produk yang berkualitas dan berdampak baik bagi lingkungan dan masyarakat.
Wakil Bupati Sintang, Yoseph Sudianto, menyambut baik kolaborasi tersebut untuk membantu pengembangan potensi alam dan sumber daya di daerahnya.
“Kami menetapkan visi Sintang Lestari pada tahun 2030. Untuk mencapainya, kami harap mendapat dukungan dari pemerintah pusat dalam membuka peluang pengadaan barang dan jasa bagi daerah, di luar kota-kota besar. Selain itu, kami juga membuka diri bagi investor bagi produk lestari di daerah kami,” kata Yoseph.
Atika menambahkan, pemerintah diharapkan memberikan prioritas bagi kemudahan berinvestasi melalui penyederhanaan izin usaha dan administrasi lainnya bagi sektor ini. Selain itu, perlu juga didorong untuk segera membuat definisi yang lebih jelas terhadap wirausaha lokal dan produk lestari.
“Dalam konteks investasi hijau, perlu ada insentif khusus bagi investor lestari atau investor yang fokus pada pelaku usaha yang mengedepankan keberlanjutan,” kata Atika.(RLS)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS