324 Pemda Serap Anggaran Bantuan di Bawah 15 Persen. |
BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Serapan belanja perlindungan sosial dan dukungan ekonomi sebesar Rp25,46 triliun untuk pemerintah daerah masih rendah.
Sebanyak 324 dari total 542 pemerintah daerah baru menyerap di bawah 15 persen hingga Juli 2021.
Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia juga mengatakan pemerintah daerah akan menggelontorkan bantuan sebesar Rp25,46 triliun pada masa pandemi ini.
Anggaran tersebut bersumber dari anggaran yang dialokasikan untuk belanja wajib dana transfer umum.
Rinciannya Rp12,1 triliun untuk perlindungan sosial dan Rp13,35 triliun untuk pemberdayaan ekonomi. Kendati demikian, kata Sri Mulyani, serapan anggaran pemerintah daerah untuk bantuan yang berupa perlindungan sosial dan dukungan ekonomi ini masih rendah.
"Ada 324 daerah yang realisasi belanja perlindungan sosial dan dukungan ekonomi itu baru 6,2 persen. Ini berarti 59,8 persen daerah dari seluruh wilayah di Indonesia," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Rabu (21/7/2021).
Sementara yang serapannya lebih dari 50 persen, kata Sri Mulyani, sebanyak 24 pemerintah daerah. Ia berharap pemerintah daerah dapat meningkatkan penyerapan anggaran untuk membantu masyarakat yang terdampak di tengah pandemi corona.
Sri Mulyani juga menyoroti realisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa yang rendah yakni Rp6,11 triliun dari total anggaran Rp28,8 triliun pada Juli ini. Pemerintah menargetkan BLT Desa ini untuk 8 juta keluarga dengan bantuan sebesar Rp300 ribu selama 12 bulan.
"Jumlah desa yang baru menyerap di bawah 15 persen ada 163 daerah yang realisasinya hanya Rp938,3 miliar. Padahal anggarannya Rp11,51 triliun," tambah Sri Mulyani.
Kata Sri Mulyani, pemerintah daerah yang menyalurkan BLT Desa di atas 50 persen berjumlah 21 pemda. Di antaranya adalah Kabupaten Manggarai, Kota Denpasar, dan Kabupaten Sleman.
Mengapa Penyerapan Anggaran di Daerah Rendah?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan penyerapan anggaran pemerintah daerah dan BLT desa rendah. Antara lain belum adanya sinkronisasi data dari pemerintah pusat dengan daerah dan kesulitan teknis administrasi dari pemerintah desa. Selain itu, kata dia, pelaksana teknis atau pejabat pembuat komitmen takut dipidana karena kesalahan administrasi.
"Jadi kalau ada pejabat ragu-ragu membuat keputusan pencairan anggaran itu ada asistensi. Nah ini yang harus dievaluasi kenapa ada kekhawatiran seperti itu," jelas Bhima kepada VOA, Rabu (21/7/2021).
Bhima merekomendasikan pemerintah pusat atau kementerian sosial membuat pusat data terpadu penerima bantuan yang dapat menjadi rujukan bagi semua daerah. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya tumpang tindih data seperti yang terjadi saat ini. Untuk BLT Desa, Bhima merekomendasikan masyarakat untuk memantau langsung pengawasan penyaluran bantuan ini sehingga penerima bantuan bisa lebih merata.
Bhima juga merekomendasikan pemerintah pusat untuk turun langsung memberikan bantuan konsultasi kepada daerah yang kesulitan administrasi dalam penyerapan anggaran. Namun, ia menyarankan pemerintah memberi sanksi tegas jika terdapat pemerintah daerah yang sengaja menahan dana tersebut di tengah pandemi hanya untuk mendapat keuntungan bunga dari bank.
"Harus ada sanksi berat dari pemerintah pusat. Misalnya dananya dipangkas dan kepala daerahnya mendapat sanksi," tambah Bhima. [sm/em]
VOA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS