Foto: Pimpinan pesantren waria Al Fatah, Shinta Ratri (tengah/berhijab) menerima sumbangan buku-buku tuntutan shalat dan Iqro dari mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.(Foto: VOA/Munarsih). |
BORNEOTRIBUN.COM - Kelompok minoritas gender dan seksual terus menerima diskriminasi dan tindak pelecehan di seluruh dunia. Namun di Yogyakarta, beberapa perempuan transgender, yang biasa disebut waria, menemukan pelipur lara dalam ajaran agama.
Di Yogyakarta, Shinta Ratri, seorang perempuan transgender, merasakan sebuah kebutuhan di tengah komunitasnya.
“Kami ini tidak hanya waria yang… begitu saja. Kami ini manusia yang punya kebutuhan yang sama dengan orang lain. Kebutuhan makan, kebutuhan rumah, kebutuhan hiburan, bahkan kebutuhan rohani untuk beribadah," katanya.
Hal itu mendorongnya mendirikan Pesantren Al-Fatah pada tahun 2008, yang menjadi pusat kajian agama Islam bagi transpuan – atau kerap disebut waria – seperti dirinya, sekaligus menyediakan ruang aman bagi mereka untuk belajar dasar-dasar beribadah.
“Fenomena yang ada itu ketika waria ini beribadah di ruang publik, itu di sana timbul ketidaknyamanan, baik itu yang tidak nyaman para warianya, atau bahkan jamaahnya sendiri, terjadi bullying, bisik-bisik, dikerumunin anak-anak," kata Shinta.
Meski berada di ruang yang aman, salat berjamaah memunculkan tantangan tersendiri bagi para transpuan. Ada yang memilih salat di barisan jamaah laki-laki, ada pula yang bergabung di barisan jamaah perempuan.
Foto: Adis, seorang transpuan, sedang merias wajah sebelum mengamen di rumahnya di perkampungan di Jakarta, 27 Januari 2012. (Foto: AP) |
“Perlu diketahui juga waria ini ada dua fenomena, yang tetap memilih memakai sarung ketika beribadah atau yang memakai mukena. Kebanyakan orang masih memilih memakai sarung, kebanyakan waria, dengan alasan sendiri-sendiri. Semuanya di sini kita bebaskan atas dasar kenyamanan," kata Shinta.
Shinta Ratri sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan saat beribadah. Begitu pula Rully Malay, salah seorang jamaah di pesantren itu.
“Tentunya ukuran nilai dari manusia itu tidak ditentukan oleh pakaiannya atau orientasi seksualnya, tapi bagaimana dia menjaga laku hidupnya dan melakukan ibadah-ibadahnya, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia, juga alam semesta," ujar Rully.
Kajian di Pesantren Al-Fatah dipimpin oleh ustadz yang mengajar secara sukarela, seperti Arif Muhammad Safri, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
“Tapi bahwa saya ingin memahamkan bahwa agama itu harus memberikan kenyamanan terhadap siapapun, termasuk kepada teman-teman transpuan. Udah lah, jauhkan aja dulu stigma, jauhkan aja dulu halal-haram. Kalau bicara macam masalah tadi itu, maka memang saya bawa agama yang memang bisa membuat kenyamanan terhadap mereka," tuturnya.
Seperti komunitas transgender di banyak negara, transpuan di Indonesia juga kerap termarjinalkan, dengan akses pendidikan dan pekerjaan yang terbatas. Banyak di antaranya menjadi pekerja seks. Akan tetapi, alih-alih menghakimi, Safri memilih memberikan pelajaran agama yang bersifat lebih praktis untuk kebutuhan beribadah sehari-hari, seperti salat lima waktu yang mensyaratkan kebersihan diri.
“Harus saya akui bahwa teman-teman masih banyak yang aktif untuk menjajakan diri. Saya berpikir, jangan-jangan di antara teman-teman juga masih banyak yang nggak bisa cara mandi wajib, ya seperti itu. banyak teman-teman yang salat juga misalnya, harus seperti apa toh salat itu?” kata Arif.
Pesantren Al-Fatah kini memiliki 63 anggota. Setiap hari Minggu, mereka berkumpul untuk mengkaji Al-Qur’an dan mendalami ajaran Islam – sebuah oasis pemberdayaan bagi komunitas yang hidup di tengah sebagian besar masyarakat yang keras dan konservatif. [rw/lt]
Oleh: VOA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS