Paket vaksin COVID-19 AstraZeneca. (Foto: dok). |
BorneoTribun Jakarta -- Mengikuti langkah sejumlah negara di Eropa yang menangguhkan penggunaan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca, Indonesia hari Senin (15/3) mengambil langkah serupa. Benarkah vaksin ini memicu pembekuan darah?
Menyusul terjadinya pembekuan darah pada puluhan orang di Jerman, Italia, Perancis dan beberapa negara lain di Eropa setelah menerima vaksin AstraZeneca, pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah serupa.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya masih menunggu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah kejadian pembekuan darah itu disebabkan oleh vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca atau tidak.
“Beberapa negara di Eropa mengamati adanya gangguan di darah, kemudian mereka menghentikan. Sampai sekarang berita yang kami terima dari WHO mereka masih meneliti, kita juga terima dari MHRA itu adalah BPOM nya UK, dan EMA itu BPOM nya Eropa mereka sampai sekarang belum mengkonfirmasi apakah ini ada korelasinya karena vaksin atau tidak,” ujar Budi.
Berdasarkan informasi yang diterimanya sejauh ini dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di London, Inggris, kejadian pembekuan darah itu tidak berkaitan dengan pemberian vaksinasi AstraZeneca. Meski begitu, pihaknya tetap akan menunda penggunaan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca tersebut.
Menkes Budi Gunadi Sadikin. (Foto:VOA). |
“Untuk konservativismenya, BPOM menunda dulu implementasi AstraZeneca sambil menunggu konfirmasi dari WHO. Ya mudah-mudahan dalam waktu singkat bisa keluar karena memang betul yang AstraZeneca ini expired period-nya di akhir Mei,” jelasnya.
Pihaknya pun saat ini masih menunggu fatwa halal untuk AstraZeneca dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika nantinya, AstraZeneca sudah terbukti aman dan halal, pemerintah ujarnya akan memperhatikan penggunaan vaksin tersebut. Pasalnya, rentang waktu penyuntikan dosis pertama dan kedua memiliki rentang waktu yang lebih panjang dari vaksin lainnya yakni 9-12 minggu.
Kasus Pembekuan Darah Minim
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi cukup yakin bahwa kejadian pembekuan darah tidak berkaitan dengan pemberian suntikan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca. Pasalnya sampai saat ini sudah ada 17 juta orang yang sudah menerima vaksin COVID-19 dari AstraZeneca, dan dari jumlah tersebut hanya ada 40 kasus penggumpalan darah.
“Mengapa kemudian Kemenkes menunda dulu pendistribusian AstraZeneca? Ini dikarenakan lebih kepada kehati-hatian. Artinya, kami mengikuti apa yang menjadi arahan dari BPOM karena kita tahu BPOM bersama ITAGI dan para ahli sedang melihat kembali apakah kriteria-kriteria penerima vaksin yang tadinya sudah dikeluarkan yang ditujukan untuk penggunaan vaksin produksi dari Sinovac maupun Bio Farma, ini juga akan sama kriterianya dengan vaksin yang akan kita gunakan yaitu vaksin AstraZeneca,” jelas Nadia.
Indonesia menangguhkan penggunaan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca, Senin, 15 Maret 2021. (Foto: ilustrasi). |
Lanjutnya, sambill menunggu kinerja BPOM pihaknya juga akan melakukan kajian kualitas atas 1,1 juta dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca yang sudah datang beberapa waktu lalu. Hal ini untuk memastikan tidak ada kemasan yang rusak dari vaksin sebelum akhirnya akan didistribusikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di seluruh Indonesia.
Ia mengimbau masyarakat untuk tidak takut dengan adanya informasi kasus pembekuan darah ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menyatakan bahwa manfaat daripada vaksin akan jauh lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan.
“Dan kita tahu bahwa vaksin AstraZeneca ini sangat efektif digunakan pada usia di atas 65 tahun dan terutama pada orang-orang yang memiliki komorbid, jadi seperti yang pernah disampaikan Menkes bahwa berbagai jenis vaksin memiliki kelebihan yang tentunya sifatnya saling compliment dengan jenis vaksin yang lain. Sekali lagi sudah ada 17 juta orang menerima vaksin AstraZeneca dimana kejadian pembekuan darah ini hanya 40 kasus, jadi angkanya sangat-sangat kecil,” tuturnya.
Perlu Kajian Mendalam
Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PP Peralmuni) Prof.Dr Iris Rengganis mengatakan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) ada yang berkaitan dengan vaksinasi, dan ada pula yang tidak. Sehingga menurutnya memang diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya, agar informasi yang beredar di kalangan masyarakat tidak simpang siur.
“Harus dibuktikan bahwa ini akibat itu atau bukan. Jadi dilihat kasus per kasus kejadiannya. Harus diteliti, gak bisa langsung kita bilang oh ini berhubungan, gak bisa. Lalu cara membuktikannya gimana? Ya dilihat dari kasus per kasus, benar gak KIPI itu karena vaksin atau bukan,” ujarnya kepada VOA di Jakarta, Selasa (16/3).
Ia yakin bahwa BPOM, yang melakukan penelitian lebih lanjut terkait hal ini, akan mengumpulkan berbagai informasi yang terjadi di berbagai negara yang sudah menggunakan AstraZeneca tersebut sebelum akhirnya mengeluarkan izin otorisasi penggunaan darurat (emergency use of authorization/EUA).
Eijkman : Penangguhan Sudah Tepat
Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio mengungkapkan langkah pemerintah dengan menunda penggunaan AstraZeneca sudah tepat. Menurutnya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa vaksin terbukti aman dan efektif.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo) |
Semua informasi harus dikumpulkan, kalau misalnya orang itu sebelumnya sudah memiliki beberapa kelainan atau faktor resiko, tentu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan vaksinasi itu sendiri,” kata Amin kepada VOA.
Ditambahkannya, proses screening atas orang yang akan divaksin COVID-19 harus lebih ketat, dan masyarakat didorong bersikap jujur terhadap berbagai penyakit yang telah diderita sebelumnya guna meminimalisir efek samping vaksinasi COVID-19.
“Kalaupun harus dilakukan vaksinasi harus dilakukan dengan hati-hati, dalam pengawasan, makanya kita semua yang divaksinasi harus tunggu 30 menit setelah divaksinasi untuk memastikan bahwa tidak ada KIPI jangka pendek yang mungkin terjadi, tapi setelah itu pun kalau misalnya timbul reaksi beberapa jam kemudian ya harus tetap lapor,” katanya. [gi/em]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS