Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berbicara kepada media setelah salat Jumat, di Istanbul, 15 Januari 2021. (Foto: AP) |
BORNEOTRIBUN | TURKI - Nasib puluhan ribu pengungsi Uighur di Turki yang kemungkinan menghadapi deportasi ke China,terancam menjadi bencana politik yang memalukan bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang telah lama menganggap dirinya sebagai pembela hak-hak Muslim yang diakui secara global.
"Mereka mengatakan kepada kita sebagai pembela Muslim terbesar, tetapi mereka gagal mendengar tangisan saudara-saudari kita yang disiksa karena mengatakan mereka adalah Muslim Turki," kata Meral Aksener dari Partai Baik Turki yang beraliran kanan-tengah dalam pidatonya Rabu kepada para anggota parlemennya yang mengecam anggota parlemen Partai AKP Erdogan yang berkuasa.
Tayangan pidato yang disiarkan televisi pemerintah Turki itu, dihentikan saat Aksener mengundang pengungsi Uighur, Nursiman Abdurasid, untuk berbicara. Stasiun penyiaran pemerintah itu tidak memberikan penjelasan atas insiden tersebut, tetapi kejadian itu menjadi viral di media sosial yang diberi label dengan tagar "AKPsilenceUigh."
Platform media sosial menyiarkan sisa pidato Abdurasid, yang berbicara mengenai bagaimana saudara dan orang tuanya ditempatkan di kamp-kamp penahanan China dan menyerukan dunia Muslim dan kemanusiaan untuk membantu komunitasnya.
Namun Erdogan, yang kerap mencela Barat karena penganiayaan terhadap Muslim dan mengutuk meningkatnya Islamofobia, menahan diri untuk tidak secara langsung mengecam perlakuan China terhadap minoritas Uighurnya. Diaspora Uighur paling banyak di Turki sejak negara itu membuka pintunya bagi etnis minoritas Muslim yang melarikan diri dari penganiayaan politik di China. Turki sekarang menampung komunitas diaspora Uighur terbesar di dunia.
Para ahli sebelumnya sudah memperingatkan mengenai hak-hak dari sekitar 50 ribu orang Uighur yang mendapat suaka di Turki, di mana mereka memiliki kesamaan bahasa, budaya dan agama warisan, terancam oleh perjanjian vaksin virus corona baru-baru ini antara Ankara dan Beijing.
Pada akhir Desember, para pendukung hak menyuarakan kekhawatiran atas kedatangan vaksin COVID yang lama tertunda dari Sinovac yang berbasis di China, yang terjadi hanya beberapa hari setelah Beijing tiba-tiba meratifikasi kesepakatan ekstradisi 2017 dengan Ankara. [my/pp]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS