Werner Boestfleisch, (86 tahun), menerima vaksinasi Covid-19 produksi Pfizer-BioNTech di Potsdam, Jerman Selasa (5/1). |
BorneoTribun - Peluncuran vaksinasi COVID di Eropa tidak berjalan semulus yang diharapkan oleh para pejabat. Sejumlah kritikus menyatakan pemerintah tidak cukup siap untuk pengadaan dan tantangan logistik dalam jumlah kampanye antigen massal terbesar yang pernah ada.
Rangkaian kesalahan dalam pengaturan logistik mengganggu strategi vaksin Uni Eropa pada minggu pertama, kata para kritikus. Publik merasa frustrasi atas kecepatan vaksinasi itu.
Presiden Prancis Emanuel Macron telah mengecam beberapa Menteri yang sangat lambat dalam upaya inokulasi di Prancis. Hanya 400 warga menerima dosis pertama suntikan Pfizer-Biontech pada minggu pertama program itu dimulai.
Sejumlah kritikus menyampaikan pemerintah Eropa harus belajar dari Israel, yang bergerak cepat dalam program vaksinasi massal dan memberi suntikan pertama kepada 17% dari sembilan juta penduduk negara itu.
Para pejabat Israel menyatakan pusat-pusat layanan memungkinkan distribusi vaksin yang cepat dan pentingnya dukungan dari tentara Israel.
Mereka juga menyatakan persaingan yang ada di antara penyedia layanan kesehatan dalam sistem medis publik juga membantu mempercepat vaksinasi.
Sementara itu, kekurangan staf ikut menjadi faktor kelambanan vaksinasi Covid-19 di Eropa, termasuk kesulitan manajemen lainnya. Akan tetapi walikota dan politisi oposisi menuntut upaya percepatan.
"Itu adalah skandal negara," kata Jean Rottner, presiden wilayah Grand Est di Prancis timur. "Divaksinasi lebih rumit daripada membeli mobil," katanya di televisi France 2.
Di Jerman, salah satu ilmuwan yang mengembangkan vaksin Pfizer, Ugur Sahin, CEO BioNTech, menyatakan distribusi vaksin di Eropa "tidak tampak cerah" selain awal yang lamban di beberapa negara Eropa, ia menyampaikan kemungkinan kurangnya persediaan vaksin dalam jangka menengah. Ugur mempertanyakan alasan Uni Eropa memesan 300 juta dosis vaksin - cukup untuk sekitar sepertiga dari 450 juta warga di blok kawasan itu - dan menolak memesan lebih banyak.
Uni Eropa juga melakukan pembelian besar dari pengembang vaksin lain, tetapi mereka ketinggalan dalam pengembangan. “Ada anggapan banyak perusahaan lain yang akan memproduksi vaksin. Tampaknya ada sikap: Kita akan mendapat jumlah yang cukup, tidak akan seburuk itu, segalanya terkendali. Itu mengejutkan saya,” kata Sahin lebih lanjut.
Badan Obat-obatan Eropa pada hari Rabu menyetujui vaksin COVID-19 buatan Moderna, membuka jalan untuk digunakan juga kemudian didistribusikan ke seluruh Uni Eropa.
Pejabat Uni Eropa di seluruh wilayah itu mengakui bahwa mereka berpacu dengan waktu, sebagian dikarenakan varian baru virus corona yang lebih menular, yang awalnya diketahui bulan lalu oleh otoritas Inggris sehingga tingkat penularan naik dari 50 menjadi 74%.
Pemerintah Inggris menarget vaksinasi dua juta penduduk seminggu. Tetapi sebagian ahli medis tidak yakin jumlah itu dapat dicapai dalam waktu dekat. Kepala medis Inggris, Chris Whitty, pekan ini meragukan perkiraan optimistis pemerintah.
Ia menyatakan kekurangan vaksin akan menjadi masalah selama berbulan-bulan. “Kekurangan vaksin menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan,” katanya dalam sepucuk surat kepada para dokter.
Di Spanyol, kekurangan tenaga medis dan lemari pembeku untuk vaksin, yang harus disimpan dan didistribusi pada suhu -70C, menambah hambatan dalam program vaksinasi tersebut.
Spanyol telah menerima 718.535 dosis Pfizer tapi hanya berhasil memvaksinasi 82.334 dosis pada hari Senin, menurut menteri kesehatan Salvador Illa. Ia berjanji tingkat vaksinasi akan segera mencapai "kecepatan penuh". [mg/ka]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS