Aktivis hak aborsi berkumpul di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 21 Mei 2019. (Foto: Reuters) |
BorneoTribun - Hakim Amy Coney Barrett, seorang hakim konservatif dari Indiana yang diangkat sebagai Hakim Agung baru-baru ini, pernah mengutarakan ketidaksetujuannya dengan keputusan itu. Ia juga menyebutkan ketidaksetujuannya dengan Obama Care yang menyediakan alat kontrasepsi bebas pungutan atau murah.
Di antara warga Amerika usia 18 sampai 29 tahun, 70 persen mendukung hak aborsi, menurut studi PEW. Di antara semua kelompok usia, 60 persen warga Amerika mendukung aborsi yang legal.
“Saya takut, karena ancaman terhadap Roe versus Wade berarti ancaman terhadap hak perempuan untuk menentukan nasib mereka,” kata Zoe Tishaev, mahasiswa tahun pertama di Duke University di North Carolina kepada VOA. “Hal itu berarti ancaman terhadap hak perempuan untuk membuat pilihan. Untuk saya, ini ancaman langsung terhadap kebebasan saya untuk memilih.”
Amy Coney Barrett di Halaman Selatan Gedung Putih Gedung Putih di Washington, Senin, 26 Oktober 2020. (Foto: AP) |
Untuk perbandingan, 55 persen dari warga Amerika usia 65 keatas mendukung aborsi yang legal.
Kristi Hamrick, jurub icara Students for Life of America mengatakan kepada VOA bahwa dia yakin Roe versus Wade harus “dikaji kembali, diubah, dan dikembalikan kepada negara-negara bagian.”
“Sebuah pemahaman yang salah dari kemanusiaan seseorang telah memungkinkan sebuah hukum yang buruk muncul,” kata Hamrick.
Hakim Barrett menentang aborsi dalam tulisannya dari 2006. Di Harian South Bend Tribune dia memasang surat anti aborsi dan iklan, dan menyerukan “pengakhiran pada sejarah Roe v Wade yang biadab.” South Bend terletak di Indiana, tempat tinggal Hakim Barrett.
Pada 2016, terjadi 623471 aborsi di AS dan merupakan titik terendah sejak aborsi dibuat legal pada 1973. Demikian data dari CDC.
“Saya pribadi merasa keputusan Roe v Wade nyeleneh, karena mengabaikan hak perlindungan untuk semua individu berdasarkan amandemen ke 14,” kata Sam Sparks, seorang mahasiswa di Wheaton College, yang mengatakan, dia sangat gembira dengan penunjukan Hakim Barrett.
Sebaliknya, Tishaev dari Duke University mengatakan, “tidak seorangpun harus dipaksa untuk melahirkan kalau mereka tidak mampu merawatnya. Rove v Wade membebaskan ribuan perempuan di seluruh AS. Kalau hak itu dihilangkan ini kemunduran, penindasan, dan sebuah penghapusan hak secara sistemik.”
“Sebagai seorang perempuan kulit hitam, saya menilai penentangan terhadap Roe v Wade sebagai serangan pada hak-hak reproduksi, dan mereka campur tangan pemerintah atas hak kami memuakkan,” kata Adtoyosi Atewologun, seorang mahasiswa tahun kedua di Boston College.
Ditambahkannya, menghapus UU itu bisa punya efek psikologis yang buruk terhadap perempuan muda.
Hakim Barrett ditunjuk untuk mengisi kekosongan di Mahkamah Agung setelah Hakim Agung Ruth Bader Ginsburg meninggal pada September.
Hakim Ginsburg sepanjang karirnya memfokuskan perhatiannya pada hak-hak perempuan dan pernah mengatakan, keputusan Roe itu ada cacadnya. Katanya, hukum itu seharusnya didasarkan pada konsep kesetaraan gender dan bukan konsep privasi.
“Pengadilan menulis sebuah opini yang membuat pembatasan aborsi di negara ini secara sekaligus, dan itu sebetulnya bukan cara peradilan beroperasi,” demikian kata Ginsburg dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg pada 2019. Dia berpendapat keputusan itu, sebagaimana dalam bentuknya sekarang, terbuka terhadap serangan oleh penentang aborsi. [jm/my]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS