Beatrice Kipp, 13, kanan, sedang berlatih dengan Timmy Sellars, 14, di Blackfeet Native Boxing Club di Blackfeet Indian Reservation di Browning, Montana., 14 Juli 2018. (Foto: AP/David Goldman) |
BorneoTribun - “Blackfeet Boxing: Not Invisible” adalah sebuah dokumenter yang memperlihatkan bagaimana para perempuan suku asli Amerika di daerah permukiman khusus suku Indian Blackfeet di Browning, Montana, belajar tinju untuk membela diri dari penculikan, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga -- sebuah epidemi dalam komunitas suku asli AS.
Di sebuah klub tinju di daerah permukiman khusus suku Indian Blackfeet di Browning, Montana, Frank Kipp melatih perempuan dan anak-anak perempuan untuk membela diri dari penculikan dan pembunuhan terhadap perempuan suku asli.
Salah satunya, Ashley Loring Heavyrunner, yang hilang pada Juni 2017. Pencarian oleh komunitasnya dan kakaknya Kimberly Loring menginspirasi dokumenter "Blackfeet Boxing: Not Invisible" oleh Kristen Lappas.
"Orang-orang berduka, mereka memasang poster "orang hilang" di seluruh daerah permukiman khusus suku Indian itu," katanya.
Logo Blackfeet Boxing. (Foto: VOA) |
"Kita tidak bisa membicarakan soal orang hilang tanpa menghadapi isu penyalahgunaan narkoba, alkohol dan kekerasan dalam rumah tangga, penculikan anak, penyelundupan manusia. Ada masalah-masalah sosial ini," kata Misty LaPlant, seorang polisi.
Donna Kipp, puteri Frank Kipp, berlatih tinju sejak kecil. Dia pernah mengikuti berbagai kompetisi dan tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan yang tinggal di daerah permukiman terpencil, yang berjarak dua jam dengan kendaraan bermotor dari kota terdekat.
"Kami tinggal di wilayah kecil dan terkadang laki-laki mengincar kami. Laki-laki tua, laki-laki, kadang-kadang ada orang-orang yang datang ke sini dan mereka tidak tinggal di sini, karena ini tempat persinggahan turis," katanya.
"Perempuan suku asli beberapa generasi diperlakukan seperti ini di daerah ini oleh orang-orang dari luar, laki-laki kulit putih, dan laki-laki dari komunitas mereka sendiri," lanjut Kristen Lappas.
Sebagai seorang tokoh komunitas, Frank telah menyaksikan anak-anak mengalami masalah dalam lingkungan yang tidak normal.
"Kami berusaha mencegah anak-anak bunuh diri, menciptakan program karena kami tak mau kehilangan mereka terus menerus," katanya.
"Tidak ada tempat bagi anak-anak muda untuk berkumpul dalam lingkungan yang produktif, kecuali di sasana tinju Frank. Dia mengubah jalan pikiran anak-anak perempuan di tempat ini dan merasa berdaya, merasa percaya diri," lanjut Kristen Lappas.
Namun, Blackfeet terkena dampak buruk virus corona, dan Frank terpaksa menutup klubnya.
"Bagi banyak anak, ini sangat sulit karena kami tahu mereka ingin kembali ke klub," kata Donna Kipp. [vm]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS