Kasir di kantor cabang Bank Mandiri sedang menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, 20 Juli 2015. (Foto: Antara via Reuters) |
BorneoTribun | Jakarta - Menteri Keuangan mengklaim perekonomian Indonesia membaik, meskipun masih diliputi kondisi pandemi. Salah satu indikatornya adalah naiknya konsumsi masyarakat. Namun pengamat membantah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat perlahan namun pasti, perekonomian Indonesia mulai membaik. Hal tersebut, kata Ani terlihat dari berbagai indikator ekonomi seperti naiknya tingkat konsumsi masyarakat dan pemerintah.
“Proyeksi ekonomi Indonesia 2020, adalah sesuai dengan tren dunia yang mengalami perbaikan di kuartal-III, masing-masing mungkin memiliki speed yang berbeda. Namun kita lihat di kuartal-II 2020 beberapa perbaikan dalam indikator ekonomi terutama dari sisi agregat demand kita,” ujarnya dalam telekonferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Senin (19/10).
Perempuan yang akrab disapa Ani ini menjelaskan pada kuartal-III konsumsi pemerintah naik 18,8 persen, yang menurutnya bisa mengangkat perekonomian Indonesia menuju 0 persen atau bahkan menuju zona positif. Dengan begitu, menurutnya, indikator lain seperti investasi dan ekspor akan mulai bergerak ke arah yang positif. Konsumsi listrik, kata Ani juga mulai menunjukkan perbaikan di mana secara tahunan positif 2,1 persen.
Mobilitas masyarakat juga diprediksi akan semakin meningkat pasca pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat yang kembali menjadi PSBB transisi sehingga roda perekonomian bisa berjalan dengan baik
“Ini yang menggambarkan bahwa aktivitas dari keseluruhan, dari mulai rumah tangga, bisnis, industri, sosial, dan pemerintahan sudah mulai menunjukkan suatu tren yang sesuai dengan harapan yaitu menuju kepada pemulihan,” jelasnya.
Indonesia Resesi, Menkeu Klaim Ekonomi Indonesia Masih Lebih Baik dari Negara Lain
Walaupun diklaim membaik, pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini masih akan tumbuh negatif di kisaran minus 0,6 persen hingga minus 1,7 persen. Meski begitu, jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, perekonomian Indonesia jauh lebih baik. Ia mencontohkan, perekonomian Spanyol pada kuartal III diperkirakan tumbuh minus 12,3 persen, Inggris minus 10 persen, Perancis minus 19 persen, Italia minus 9,7 persen. Sementara negara tetangga seperti Malaysia perekonomiannya pada kuartal-III diperkirakan akan menyentuh minus 4,5 persen, Filipina minus 6,3 persen, Singapura minus 6,0 persen.
“Semua negara baik di barat, timur, utara, selatan, maju maupun emerging maupun developing country, semuanya mengalami tekanan yang luar biasa, kita melihat mungkin magnitude dari tekanannya saja yang berbeda. Dan mereka melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi penurunan ekonominya, mereka juga melakukan apa yang disebut countercyclical . Kalau kita lihat countercyclical-nya di berbagai negara juga cukup dalam,” kata Ani.
Ekonom INDEF Bhima Yudistira Adhinegara kepada VOA mengatakan perekonomian Indonesia belum pulih secara signifikan. Bahkan ia menyebut, perekonomian Indonesia baru bisa tumbuh positif pada kuartal-II atau kuartal-III 2021 dengan asumsi tidak terjadi gelombang dua perebakan virus corona.
“Pemerintah sering mengklaim bahwa Indonesia ekonominya relatif bagus, dibandingkan negara di ASEAN dan negara G20, padahal pada faktanya, Vietnam sudah tumbuh positif bahkan sejak kuartal-II, tumbuh positif 0,3 persen, kuartal-III positif 2,62 persen,” ungkap Bhima.
Menurutnya, hal tersebut bisa terjadi karena penanganan pandemi di Vietnam jauh lebih serius dibandingkan dengan di Indonesia. Dengan kasus baru corona harian yang masih bertambah di atas 4.000 kasus setiap hari ditambah kegaduhan UU Cipta Kerja, akan sulit rasanya untuk menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di tanah air. Ia menambahkan, dari sisi industri manufaktur juga masih berjalan sangat lambat, hal ini terlihat dari skor purchasing managing index (PMI) yang masih berada di bawah angka 50.
Utang Menumpuk Karena Pandemi
Dalam kesempatan ini, Ani mengakui utang Indonesia terus membengkak khususnya akibat terjadinya pandemi. Namun, ia menyatakan, bahwa hal serupa tidak terjadi di Indonesia saja, namun di seluruh dunia. Peningkatan jumlah utang, ujarnya, pasti akan terjadi karena tingginya kebutuhan stimulus fiskal untuk menopang penurunan ekonomi alias countercyclical.
Ia mencontohkan, rasio utang Amerika Serikat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mendekati 131 persen, Perancis 111 persen, Kanada 114 persen, Jepang 266 persen, Tiongkok 61 persen, Thailand 50 persen, Filipina 48 persen. Sedangkan rasio utang Indonesia saat ini menyentuh level 38,5 persen.
"Indonesia sendiri dengan proyeksi defisit anggaran 6,34 persen dan rasio utang 38 persen, kita sudah lihat potensi pemulihan ekonomi. Kita sudah lakukan konsolidasi fiskal dengan hati-hati dan penuh kalkulasi agar ekonomi bisa membaik," tekannya.
Sementara itu, Bhima mengingatkan pemerintah agar memperhatikan bunga utang yang terus meningkat seiring penambahan beban utang. Bunga utang bisa memakan 20 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Selama ini, kata Bhima, pemerintah hanya memperhatikan rasio utang terhadap PDB. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemampuan pemerintah membayar utang, khususnya utang luar negeri.
“Indikator yang mungkin pemerintah tidak menyampaikan, yaitu debt to service ratio (DSR). DSR ini jadi indikator penting, kalau utangnya pakai dolar atau valas, maka ngebalikin nya juga harus pakai valas. Kalau terjadi mismatch gak sehat, DSR kita di kuartal-II 2020 itu sudah di atas 29 persen, makin meningkat, jadi ini kemampuan bayar utang luar negeri. Pemerintah ngelihatnya cuma debt ratio to GDP, padahal indikator kesehatan utang banyak,” katanya.
Bila dibiarkan menumpuk, kata Bhima, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf akan mewariskan begitu banyak utang kepada generasi dan pemerintahan selanjutnya, apalagi ada utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2050.
Ia menyarankan pemerintah merestruktur utang agar jumlah utang tidak terlalu membengkak nantinya.
“Jadi restrukturisasi ini termasuk negosiasi kembali kepada kreditur-kreditur multilateral maupun bilateral. Jadi, kaya ngomong ke Bank Dunia, kita mau produksi vaksin, mau memulihkan ekonomi, itu harusnya bisa menjadi pengurang utang, pengurang pokok utangnya. Jadi utang kita bisa dikurangi dengan cara-cara debt swap atau menukar utang dengan program,” paparnya. (VOA)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS