Sebuah perahu wisata berlayar di lepas pantai pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, tujuan wisata populer di Indonesia timur, 24 Mei 2016. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via REUTERS) |
BorneoTribun | Palu, Sulteng - Dua organisasi lingkungan mengkhawatirkan dampak lingkungan pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata Pulau Rinca, salah satu bagian dari kawasan Taman Nasional Komodo.
Aloysius Suhartim Karya, Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur mengingatkan pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata di Pulau Rinca, bisa mengganggu kelestarian habitat komodo (Varanus komodoensis).
Berbicara kepada VOA, Aloysius mengatakan kegiatan pembangunan di Loh Buaya, Pulau Rinca, dipastikan akan menghilangkan pepohonan yang menjadi tempat berlindung anak-anak komodo dari komodo dewasa. Pembangunan itu juga akan akan memusnahkan pohon Bidara, Kesambi dan pohon Asam yang buah-buahan yang dihasilkannya menjadi sumber makanan monyet ekor panjang. Monyet tersebut merupakan salah satu satwa buruan komodo.
“Komodo yang baru menetas usia nol sampai tiga tahun, mereka memiliki insting untuk menyelamatkan dirinya dari predasi komodo dewasa, Dia langsung naik di atas pohon, dia akan tinggal diatas pohon selama dua hingga tiga tahun lalu dia akan memakan serangga yang ada di luar sana tokek dan cicak, ” kata Aloysius.
Dia menambahkan, lokasi pembangunan di zona pemanfaatan dalam kawasan Taman Nasional Komodo tersebut, adalah tempat berbagai satwa seperti kerbau liar, kuda liar dan babi hutan, mencari makanan. Padahal, hewan-hewan liar itu merupakan makanan komodo. Menurutnya, kehadiran manusia dan kebisingan yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan tersebut akan membuat binatang-binatang itu tidak nyaman, sehingga berpindah ke tempat lain.
Dua organisasi lingkungan mengkhawatirkan dampak lingkungan pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata Pulau Rinca. (Foto: ilustrasi). |
“Dengan adanya pembangunan ini nanti akan memindahkan binatang-binatang ini karena mereka tentu akan terganggu dan biasanya yang namanya binatang ketika mereka tidak nyaman mereka akan bermigrasi dan mereka harus menyesuaikan diri dengan alam yang baru, dan kita tidak bisa pastikan apakah makanan di sana sesuai atau tidak,” ungkap Aloysius.
Dia juga mengingatkan kebisingan yang ditimbulkan kegiatan pembangunan tersebut dapat menyebabkan stres pada komodo yang dikenal sebagai binatang penyendiri.
Aloysius Suhartim mengimbau masyarakat internasional untuk ikut berusaha menghentikan pembangunan sarana prasarana pendukung pariwisata di Pulau Rinca.
“Saya mau mengimbau kepada seluruh masyarakat di seluruh dunia bahwa mari kita berempati terhadap situasi terkini yang dialami oleh Komodo. Bahwa rumahnya sudah diobrak-abrik oleh pemerintah Indonesia. Komodo membutuhkan pertolongan. Komodo membutuhkan suara lantang dari semua orang, dari semua pihak. Kita bantu dia untuk suarakan kepada pemerintah Indonesia untuk hentikan segera pembangunan eksploitasi itu yang jelas-jelas merusak dari rumah komodo ini, karena kita percaya kalau itu diteruskan akan terjadi pemusnahan,” imbau Aloysius.
Umbu Wulang Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur menilai pembangunan berskala besar yang rakus lahan akan berdampak pada penyusutan ruang hidup komodo untuk berkembang biak dan mencari makan. Pembangunan itu juga akan mengganggu rantai makanan komodo.
“Pemerintah sebaiknya jangan utak-atik deh kawasan komodo. Biar bagaimanapun komodo ini adalah harta dunia yang tinggal satu-satunya. Sebaiknya pemerintah fokus benar untuk urusan konservasi. Mengurusi kesejahteraan masyarakat yang dibangun berbasis pada ekonomi berkelanjutan, tidak rakus lahan,” kata Umbu Wulang.
Umbu Wulang berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mampu menjalankan fungsinya untuk melindungi ekosistem Taman Nasional Komodo dari kegiatan pembangunan yang mengancam kelestarian satwa tersebut.
“Saya pikir dunia sebenarnya saat ini sedang menaruh harapan yang besar kepada KLHK sebagai penjaga benteng itu. Dan sialnya, celakanya KLHK tidak menjalankan mandat dunia itu. Saya merasa KLHK itu bukan hanya mandat Indonesia tapi juga mandat dunia untuk memastikan keberlangsungan hidup komodo di NTT secara lebih baik ke depan dan memastikan upaya-upaya pelestarian dan konservasi disana tetap baik,” kata Umbu Wulang.
Pemerintah Pastikan Penataan Kawasan Tetap Lindungi Habitat Komodo
Biro Komunikasi Kementerian PUPR dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, penataan kawasan pulau Rinca tetap melindungi habitat Komodo. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata di pulau Rinca merupakan bagian dari penataan menyeluruh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Pembangunan infrastruktur pada setiap KSPN direncanakan secara terpadu baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi,” jelas Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam rilis tersebut.
Pembangunan kawasan Pulau Rinca mencakup perbaikan Dermaga Loh Buaya, serta pembangunan pengaman pantai, jalan akses setinggi dua meter tempat penginapan, sertapos penelitian dan pemantauan habitat komodo.
Izin Lingkungan Hidup untuk penataan Kawasan Pulau Rinca di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat telah terbit pada 4 September 2020 berdasarkan Peraturan Menteri LHK No 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup yang memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo.
Balai Taman Nasional Komodo dalam sebuah pengumuman menyatakan, resort Loh Buaya ditutup sementara dari kunjungan wisatawan dalam upaya penataan sarana. Penutupan itu berlangsung dari tanggal 26 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021. (VOA)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS