BORNEOTRIBUN -- Tim penjaga hutan yang semua anggotanya perempuan telah mendobrak tradisi di Kenya. Mereka berpatroli di Taman Nasional Amboseli yang sangat luas. Seiring meningkatnya kasus perburuan hewan liar, upaya patroli semakin menemui tantangan karena terbatasnya perjalanan yang dapat dilakukan tim ini.
Di kaki bukit Gunung Kilimanjaro, mamalia yang luar biasa ini meraung dengan bebas ketika sekelompok tim penjaga hutan perempuan berjalan di bawah terik matahari.Mereka sedang memburu para pemburu supaya dapat melindungi satwa liar di taman itu.
Mereka dikenal sebagai “Tim Singa Betina,” salah satu unit penjaga hutan di Kenya yang semua anggotanya perempuan. Tim ini dibentuk pada tahun 2017 oleh International Fund for Animal Welfare di bawah tim keamanan Ten Boma Wildlife.
Berangkat dari masyarakat patriarki di mana laki-laki memonopoli sebagian besar pengambilan keputusan, perempuan-perempuan dalam tim itu tampak seperti menentang tradisi. Purity Amselet, yang berusia 24 tahun, mengatakan ia menghadapi keputusasaan masyarakat.
Anggota Team Lioness, sebuah unit penjaga hutan Kenya yang semuanya perempuan, di dalam konservasi Olgulului di Amboseli, Kenya, 7 Agustus 2020. (Foto: REUTERS/Njeri Mwangi) |
“Persepsi yang ada dalam masyarakat tentang saya – sebagai petugas penjaga hutan – pertama, mereka yakin saya tidak akan berhasil karena menilai saya lemah karena ketika itu perempuan dikenal hanya melakukan pekerjaan domestik, melahirkan, melakukan pekerjaan rumah tangga, merawat bayi dan anak-anak, mencari kayu bakar hingga memerah susu. Jadi ketika mereka melihat kami melakukan pekerjaan ini, mereka tidak yakin kami mampu melakukannya," kata Purity.
Komandan tim itu, Patrick Papatiti, mengatakan perempuan-perempuan ini harus dibebaskan dari masyarakat dan bergabung dengan tim yang kini beranggotakan 68 orang itu. Tim ini mengawasi Taman Nasional Amboseli.
Tim Penjaga Hutan Olgulului Community Wildlife berkantor di perbatasan antara Kenya dan Tanzania. “Tim Singa Betina” melindungi lahan komunitas Maasai di Taman Nasional Amboseli.
Menurut Papatiti, unit ini berhasil mengumpulkan informasi dan menyelesaikan perselisihan yang ada, dan ini mungkin lebih baik dibanding mitra laki-laki mereka.
“Dibandingkan tim laki-laki y ang kadangkala terlibat perkelahian, perempuan-perempuan ini tidak pernah terlibat dalam konfrontasi yang mengarah pada perkelahian," kata Papatiti.
"Mereka akan menyampaikan pembelaan [they will plead], bicara dan minta kita berhenti sebelum bergulir menjadi perkelahian. Mereka terlibat dalam komunitas ini. Mereka telah melakukan yang terbaik," lanjutnya.
Tetapi beberapa bulan terakhir ini para perempuan anggota tim penjaga hutan ini menjadi lebih waspada seiring meningkatnya jumlah kasus perburuan daging hewan liar.
Pandemi telah mengancam mata pencaharian masyarakat Maasai, sehingga sebagian kini telah beralih memburu hewan liar untuk dimakan.
“Orang-orang memburu hewan liar untuk dimakan karena tidak ada lagi turis yang datang dan membeli manik-manik yang biasanya mereka jual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi mereka tergantung pada daging hewan liar," kata Purity.
Sharon Karaine, anggota Team Lioness, sebuah unit penjaga hutan Kenya yang semuanya perempuan, saat bertemu dengan anak-anak, Kenya, 7 Agustus 2020. (Foto: REUTERS/Njeri Mwangi) |
Nolepeta, ibu delapan anak yang berusia 81 tahun, telah membuat manik-manik seumur hidupnya. Ia mengatakan sejak pandemi virus corona, sulit sekali menjual manik-manik untuk menghidupi keluarga besarnya.
“Pandemi ini telah menjadi tantangan besar bagi kami karena kami biasanya menjual manik-manik pada turis, dan mendapatkan uang untuk biaya sekolah dan makan anak-anak kami," kata Nolepeta.
Sementara itu kekhawatiran terjangkit virus corona telah menyulitkan upaya mengumpulkan informasi, ujar Sharon Nankinyi, anggota tim penjaga hutan yang berusia 21 tahun.
“Ketika virus corona melanda Kenya, kami harus melakukan pembatasan fisik dengan masyarakat. Hal ini menyulitkan upaya mengumpulkan informasi karena kekhawatiran terjangkit virus corona dari masyarakat," kata Sharon.
Pembatasan perjalanan akibat virus corona juga membuat tim ini harus bertugas selama empat bulan tanpa bertemu keluarga mereka sekali pun. Ini berat bagi Amsele yang memiliki seorang putri berusia dua tahun.
“Bertugas selama empat bulan tanpa sempat melihat putri saya terasa janggal bagi saya. Biasanya kami bertugas selama tiga minggu dan pulang ke rumah selama satu minggu. Jadi ini sebuah tantangan besar," kata Amsele.
Amselet yakin membantu memberdayakan perempuan dalam proses ini dapat ditiru di seluruh belahan dunia.
“Akan lebih baik jika lebih banyak perempuan yang menjadi anggota tim penjaga hutan di seluruh dunia karena menunjukkan pemberdayaan perempuan dalam masyarakat lokal mereka dan sekaligus menunjukkan kesetaraan gender. Jadi jika ada lebih banyak perempuan dalam tim ini, akan lebih baik dan lumayan.”
Sumber: www.voaindonesia.com
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS