Seorang petugas keamanan duduk di antara potret orang yang meninggal akibat Covid-19, di Katedral, Lima, Peru, Sabtu, 13 Juni 2020. (Foto: AP) |
BORNEOTRIBUN -- Dengan angka kematian global akibat pandemi Covid-19 kini melampaui 900 ribu, pakar penyakit menular di AS menyatakan penghentian uji coba akhir di tingkat global oleh perusahaan farmasi AstraZeneca terhadap vaksin eksperimentalnya menunjukkan efektivitas langkah pengamanan yang diterapkan dalam uji coba itu.
“Penting untuk menunjukkan bahwa itulah alasan mengapa kita melakukan berbagai tahap pengujian, untuk menentukan apakah, pada kenyataannya, calon-calon vaksin ini aman,” kata Dr. Anthony Fauci, kepala Institut Nasional bagi Alergi dan Penyakit Menular, dalam wawancara dengan CBS This Morning, Rabu (9/9).
Perusahaan farmasi raksasa Inggris-Swedia itu menghentikan uji cobanya karena seorang partisipan sukarela jatuh sakit setelah menerima vaksin eksperimental itu.
Anthony Fauci, Direktur National Institute for Allergy and Infectious Diseases, Jumat, 31 Juli 2020 di Capitol Hill di Washington. (Foto: Kevin Dietsch/Pool via AP) |
“Sayang sekali hal ini terjadi, dan mudah-mudahan mereka dapat melanjutkan uji coba,” kata Fauci. “Tapi kita tidak tahu. Mereka perlu menyelidikinya lebih jauh,” lanjutnya.
Perusahaan itu hari Selasa mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan jeda dalam pengujian merupakan “tindakan rutin, yang harus dilakukan kapan saja terjadi kondisi sakit yang berpotensi tidak dapat dijelaskan dalam salah satu uji coba, sambil ini diinvestigasi, memastikan kami menjaga integritas uji coba.”
AstraZeneca mengembangkan vaksin AZD1222, bekerja sama dengan University of Oxford, Inggris. Vaksin ini sedang memasuki pengujian Fase 2 dan Fase 3 berskala besar di beberapa negara, di antaranya AS, Inggris, Brazil, Afrika Selatan dan India. AZD1222 adalah satu dari tiga vaksin Covid-19 yang sedang dalam uji coba tahap akhir Fase 3 di AS.
Perusahaan itu tidak mengungkap kondisi partisipan yang sakit itu. Namun, harian The New York Times melaporkan bahwa sukarelawan yang berbasis di Inggris itu didiagnosis mengalami myelitis transversa, sindrom peradangan yang mempengaruhi sumsum tulang belakang dan kerap dipicu oleh infeksi virus. Namun, The Times menyatakan tidak diketahui apakah ini terkait langsung dengan vaksin AZD1222.
Ini adalah kedua kalinya AstraZeneca menghentikan uji coba berskala besar terhadap vaksin eksperimentalnya setelah seorang sukarelawan jatuh sakit setelah divaksinasi. Jurnal ilmiah Nature menyebutkan uji coba dihentikan pada bulan Juli setelah seorang partisipan lainnya di Inggris juga menunjukkan sindrom myelitis transversa.
AstraZeneca adalah satu dari sembilan perusahaan farmasi raksasa yang berjanji tidak akan meminta persetujuan dari badan-badan regulator pemerintah AS bagi suatu vaksin sebelum seluruh data menunjukkan vaksin itu aman dan efektif.
Kesembilan perusahaan itu mencakup Johnson & Johnson, Merck, Moderna dan Novavax, serta perusahaan yang memimpin dua proyek vaksin bersama, Pfizer dan BioNTech, serta Sanofi dan GlaxoSmithKline. Mereka mengemukakan janji dalam suatu pernyataan yang dilansir hari Selasa (8/9), beberapa jam sebelum AstraZeneca mengumumkan penghentian uji coba vaksinnya.
Janji bersama yang tidak biasa itu dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran yang berkembang di kalangan pakar kesehatan bahwa perusahaan-perusahaan farmasi berada di bawah tekanan politik cukup besar untuk segera mengembangkan dan menyediakan vaksin Covid-19. Presiden AS Donald Trump telah berulang kali memberi kesan bahwa suatu vaksin yang berhasil dalam uji coba dapat siap sebelum pemilihan presiden AS 3 November.
PM Inggris Boris Johnson, Rabu (9/9), mengumumkan pemerintahnya akan meluncurkan program ambisius untuk melakukan tes Covid-19 terhadap sedikitnya setengah juta orang setiap hari, dengan hasil yang diketahui dalam beberapa menit. Johnson menyatakan ia berharap program ini akan berlangsung sebelum tahun depan, dan akan membuat Inggris kembali ke semacam situasi normal dan memberi keleluasaan lebih besar bagi mereka yang hasil tesnya negatif.
Johnson menambahkan pernyataannya dengan perintah baru yang membatasi jumlah orang yang boleh hadir dalam sebagian besar pertemuan sosial menjadi enam orang, berkurang dari 30 yang berlaku sekarang ini.
Batas baru ini akan berlaku mulai pekan depan. Inggris mengalami lonjakan hampir 3.000 kasus baru per hari dalam beberapa pekan ini, angka tertinggi sejak bulan Mei.
Pejabat kesehatan tertinggi Inggris Chris Whittey menyatakan peraturan baru itu kemungkinan besar akan tetap berlaku selama beberapa bulan.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS