Penerimaan dan pencatatan uang ASKA (foto: courtesy). |
BORNEOTRIBUN -- Tradisi arisan bukan hal yang asing di kalangan perempuan dan ibu-ibu di Indonesia. Akan tetapi sejumlah ibu dan kelompok perempuan di Sigi, Palu dan Donggala lebih mendapat manfaat dengan menabung melalui ‘sistem tanam saham.’ Program pendampingan Wahana Visi Indonesia ini dikhususkan bagi perempuan, membantu mereka mengelola ekonomi rumah tangga untuk kesejahteraan anak.
Asosiasi Simpan-pinjam untuk Kesejahteraan Anak (ASKA) dimulai pada awal tahun 2012. Kini, asosiasi itu berkembang, dari dua menjadi 50 kelompok, dengan mayoritas anggota perempuan yang tersebar di 24 desa.
Program pendampingan Wahana Visi Indonesia (WVI) itu tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, bertujuan membantu keluarga berpendapatan tidak tetap, khususnya kaum perempuan, dalam mengelola ekonomi rumah tangga. Di Palu, Sigi dan Donggala, yang tidak punya akses atau jauh dari institusi finasial dan lembaga keuangan, WVI membentuk ASKA.
Para pengurus membuka kotak ASKA (foto: courtesy) |
Salah seorang pendamping WVI di lapangan Sabtarina Dwi Febriyanti menjelaskan masyarakat Sigi yang tinggal di wilayah pegunungan malas ke bank. Alasannya, mereka harus menempuh sedikitnya 2 jam untuk ke bank terdekat, dan bank mengharuskan mereka menyediakan banyak dokumen untuk administrasi. Padahal, umumnya anggota ASKA adalah petani sayuran di pekarangan rumah dan berdagang di pasar sekali seminggu.
“Setiap 4 minggu mereka membutuhkan uang 500 ribu untuk diputar. Sementara biasanya di bank menyediakan pinjaman rata-rata sekitar 7 jutaan. Mereka mungkin ada rasa takut mengelola uang sebesar itu, belum lagi memikirkan bunga yang harus dikembalikan ke bank,” kata Sabtarina.
Pendapatan yang tidak menentu dari hasil bertani dan berdagang tidak mencukupi kebutuhan sejumlah anggota ASKA ketika mereka menghadapi kesulitan seperti gempa di Sulawesi atau pengeluaran besar, seperti untuk membeli kebutuhan sekolah dan pengobatan anak. Meminjam uang di bank, bukanlah pilihan bagi mereka.
Proses pembagian uang ASKA (foto: courtesy). |
Program simpan-pinjam ASKA dikelola berdasarkan kepercayaan. Manfaat program itu dirasakan langsung oleh anggotanya, yang terdiri dari remaja, ibu-ibu yang punya penghasilan sendiri, perempuan dewasa yang mandiri dan belum berumah-tangga.
Program ASKA di Sulawesi tidak hanya menolong ketika gempa menghancurkan Sigi, Palu dan Donggala, dan kini pandemi COVID-19.
Melati, usia 38 tahun, salah seorang anggota ASKA menjelaskan, “Kelompok pertama, yang 25 (ribu) saham, ada dua: kelompok COVID A dan COVID B. Kelompok kedua adalah kelompok 30/20 artinya 30 (ribu) saham tanggal 20 setiap bulan. Sedangkan kelompok 50/50 (ribu) saham, tanggalnya 22. Begitu pengaturannya supaya mereka gampang mengingat.”
Program ASKA ibarat menabung dengan ‘sistem tanam saham,’ dengan maksimal 5 saham tiap bulan dalam kelompok maksimal beranggotakan 25 orang. Masing-masing kelompok ASKA menentukan anggota dan aturan sendiri, termasuk nominal terkecil tabungan saham antara 20.000 dan 50.000 rupiah. Tiap anggota bisa meminjam maksimal dua kali lipat jumlah uang saham yang mereka tanam di ASKA.
Siklus simpan-pinjam itu berlangsung 9 hingga 12 bulan. Setiap bulan, jumlah uang yang terkumpul dicatat dan pinjaman disesuaikan dengan uang yang terkumpul, nilai saham yang ditanam, dan kebutuhan anggota ASKA. Jangka waktu dan besarnya cicilan termasuk bunga pinjaman, ditentukan anggota masing-masing kelompok ASKA. Pinjaman terakhir bisa diberikan dua bulan sebelum siklus ASKA berakhir.
Sabtarina menjelaskan lebih jauh, “Misalkan saya punya tabungan di situ Rp300 ribu, berarti maksimal pinjaman Rp600 ribu. Jangan sampai, saya pinjam sampai 2 juta, ternyata tidak bisa mengembalikan. Ada mekanisme kontrolnya juga. Selama bisa mengembalikan dan sudah lunas, anggota ASKA bisa meminjam kembali.”
Kelompok ASKA terus bertambah dan jumlah uang yang terkumpul juga semakin banyak sehingga WVI bersama gerakan akar rumput perempuan itu berupaya menjalin kerjasama agar bank datang ke desa setiap bulan untuk mengambil uang yang terkumpul. Selain itu, daerah yang paling sulit diakses akan diberi kotak uang tunai lengkap dengan gembok yang kuncinya masing-masing dipegang oleh dua orang berbeda.
Kerja sama pilot project juga dilakukan dengan PT. Pegadaian dengan mengkonversi tabungan sejumlah anggota ASKA dalam bentuk tabungan emas. Monica Kader dari divisi Hubungan Kelembagaan Pegadaian Kantor Palu berharap ke depannya ada kelompok ASKA yang bisa menjadi agen Pegadaian.
Monica mengatakan, “Walaupun lokasinya tidak terlalu dekat dengan outlet Pegadaian, transaksi yang ingin dilakukan itu tetap bisa dieksekusi oleh agen Pegadaian tersebut, di mana anggota ASKA itulah yang menjadi agen Pegadaian.”
Pendampingan WVI dalam pemberdayaan ekonomi perempuan dimulai dari pelatihan mengelola keuangan rumah tangga, hingga implementasi simpan-pinjam melalui ASKA. Mereka akan terus mendampingi sampai anggotanya mandiri, bisa menyisihkan uang untuk menabung, membeli pakaian sekolah anak, membayar SPP anak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hingga mempunyai modal untuk membuka warung kecil-kecilan.
Bagi Sabtarina, yang ikut merintis ASKA, perempuan harus kuat, tangguh dan percaya diri karena memiliki peran kunci yang sangat diperlukan untuk mendidik dan menentukan masa depan anak, masyarakat dan bangsa.
“Harus bisa menjadi perempuan yang kuat, bukan sekadar, kalau orang Jawa bilang ‘konco wingking’ (orang/teman bekerja di belakang atau dapur, red.), tapi bisa ikut serta, apapun peran perempuan, baik di masyarakat maupun keluarga,” tambah Sabtarina.
Melati adalah anggota ASKA dari Desa Padende, Kecamatan Marawola, Sigi, sejak 2014. Ia memaparkan, ekonomi masih belum stabil dan belum pulih pasca bencana, kini menghadapi pandemi virus corona. “Jadi sudah jatuh tertimpa tangga. Kami masih mempertahankan ASKA. Manfaatnya sudah dirasakan. Menabungnya itu, sangat luar biasa motivasi ibu-ibu di sini.”
Sumber: www.voaindonesia.com
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS