Kenaikan Cukai Rokok Berpotensi Atasi Krisis Ekonomi karena Pandemi | Borneotribun.com

Kamis, 20 Agustus 2020

Kenaikan Cukai Rokok Berpotensi Atasi Krisis Ekonomi karena Pandemi

 

Ilustrasi.(Foto: GM/KO)


BORNEOTRIBUN - Menaikkan cukai rokok menjadi salah satu kebijakan fundamental yang bisa diambil pemerintah untuk menyikapi krisis ekonomi karena pandemi Covid-19. Sebab, pendapatan dari cukai rokok dapat dimanfaatkan bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan penanganan Covid-19.


Ketua Umum Komisi Nasional Pengembalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyatakan sekarang ini sebenarnya waktu yang tepat bagi pemerintah menaikan cukai rokok. Apalagi di masa pandemi, orang-orang masih menyandu rokok.


“Padahal itu menambah rentan terkena Covid-19. Belum lagi keuangan keluarga juga makin menurun karena konsumsi rokok,” katanya kepada KalbarOnline.com. 


Dengan dinaikkannya cukai rokok, kesehatan masyarakat menjadi lebih terjamin. Karena, seperti yang diketahui, risiko kematian karena Covid-19 akibat komorbid menjadi lebih tinggi.


Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu menilai upaya pemerintah dalam hal pengendalian rokok di tengah pandemi Covid-19 tidak terlihat. Dalam pedoman ataupun protokol kesehatan pencegahan Covid-19 pelarangan merokok pun tidak ada.


“Padahal, merokok dapat meningkatkan risiko penularan Covid-19. Karena memicu kerumunan jarak dekat,” ucapnya.


Semestinya, lanjut Hasbullah, untuk pencegahan penularan Covid-19 ada iklan yang beredar atau sosialisasi untuk mengurangi merokok karena dapat meningkatkan risiko Covid-19 atau komplikasi penyakit lain. “Jangan sampai di daerah-daerah penularan Covid-19 terus meningkat. Di Jakarta kan kasus per harinya pernah 100an per hari, tetapi sekarang ini sampai 500 kasus per harinya,” tambahnya.


Dalam upaya pengendalian rokok, Komnas Pengendalian Tembakau meminta pemerintah segera revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Yakni, dengan perluasan gambar peringatan kesehatan menjadi 90 persen, yang sekarang masih 40 persen.


Menurutnya, perusahaan rokok di Indonesia pun mampu dan bersedia untuk menambah perluasan gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok. “Di Nepal itu bisa dipenuhi, mestinya di Indonesia juga bisa,” ujarnya.


Kemudian, peraturan itu berlaku juga untuk rokok elektrik. Karena belum ada bukti rokok elektrik dalam jangka panjang tidak menimbulkan risiko adiktif. Selagi ada konten tembakau atau nikotin, kebijakan yang diperlakukan harus sama dengan industri rokok.


“Yang terbaik adalah iklan rokok tidak ada sama sekali di televisi, radio, maupun internet,” ujarnya. (red)


*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar