Berita Borneotribun.com: Varian Delta COVID-19 Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Varian Delta COVID-19. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Varian Delta COVID-19. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Juni 2021

Ahli Epidemiologi: Masuknya Varian Delta dari India Mengerikan

Ahli Epidemiologi: Masuknya Varian Delta dari India Mengerikan
Seorang dokter merawat bayi yang dites positif virus corona Covid-19 di sebuah rumah sakit di Bogor pada 23 Juni 2021, ketika tingkat infeksi di Indonesia melonjak dan rumah sakit kebanjiran pasien baru. (Foto: AFP/Aditya Aji)

BORNEOTRIBUN JAKARTA - Ahli Epidemiologi mengakui lonjakan tinggi pengidap COVID-19 di Indonesia per harinya karena masuknya varian Delta dari India. Kecepatan dan masa inkubasi varian baru virus COVID-19 ini mengerikan.

Masuknya varian Delta virus COVID-19 dari India menyebabkan penderita COVID-19 di Indonesia melonjak cepat. Varian Delta yang lebih cepat dan lebih ganas penyebarannya ketimbang varian Alpha mengakibatkan belasan ribu orang terinfeksi pada Rabu (23/6) dan puncaknya Kamis (24/6) tembus 20 ribu penderita.

Karena membeludaknya pasien, sampai-sampai banyak penderita COVID-19 di rumah-rumah sakit ditangani di seleasar dan bahkan hingga ke halaman luar rumah sakit, seperti terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi.

Seorang pasien COVID-19 duduk di atas velbed di tenda sementara di luar ruang gawat darurat rumah sakit pemerintah di Bekasi
Foto: Seorang pasien COVID-19 duduk di atas velbed di tenda sementara di luar ruang gawat darurat rumah sakit pemerintah di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia Partakusuma mengaku kaget dengan lonjakan yang sangat tinggi pengidap COVID-19.

"Kita kaget juga tiba-tiba jumlah pasien yang datang ke rumah-rumah sakit ini dalam dua tiga hari ini sangat tinggi. Rumah sakit kewalahan untuk menerima karena walaupun fasilitas sudah ditambah, kita membutuhkan proses untuk pemindahan, kita membutuhkan proses untuk menambah SDM (sumber daya manusia), kita juga membutuhkan proses untuk adanya perluasan-perluasan area rumah sakit," kata Lia.

Jadi yang sekarang banyak dilakukan, lanjut Lia, terutama di rumah-rumah sakit di Jawa adalah mendirikan tenda dilengkapi ranjang di luar rumah sakit untuk merawat pasien COVID-19. Sehingga pasien-pasien COVID-19 tidak menunggu antrean terlalu lama di ruang unit gawat darurat (UGD).

Lia mengharapkan pasien COVID-19 bergejala ringan tidak terlalu panik dan sebetulnya tidak perlu ke rumah sakit sehingga rumah sakit tidak kelebihan daya tampung. Dia menyarankan pasien COVID-19 bergejala ringan bisa berkonsultasi dengan dokter lewat telepon selama melakukan isolasi mandiri.

Lia meminta masyarakat berempati kepada tenaga kesehatan yang sudah terlalu sibuk dan repot melayani pasien COVID-19 yang membeludak.

Menurut ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, sudah terjadi penurunan artifisial atau semu pada Januari lalu, dari rata-rata 15 ribu penderita COVID-19 per hari menjadi lima ribuan orang karena pemerintah kabupaten/kota tidak mau dicap sebagai zona merah (berbahaya) untuk COVID-19.

Penurunan semua kasus COVID-19 pada Januari lalu itu, lanjut Tri karena ada upaya-upaya untuk menunda pelaporan harian, tidak ada pelacakan dan pengetesan yang baik.

Tri mengakui lonjakan tinggi pengidap COVID-19 di Indonesia per harinya karena masuknya varian Delta dari India. Dia menegaskan kecepatan dan masa inkubasi varian baru virus COVID-19 ini mengerikan. Di samping itu, varian Delta juga COVID-19 menyerang semua umur.

Foto: Seorang dokter merawat bayi yang dites positif virus corona Covid-19 di sebuah rumah sakit di Bogor pada 23 Juni 2021, ketika tingkat infeksi di Indonesia melonjak dan rumah sakit kebanjiran pasien baru. (Foto: AFP/Aditya Aji)

"Bayangin, kita berpapasan (dengan penderita COVID-19) dengan jalan cepat saja, mungkin menular. Walaupun berpapasan satu meter, itu dahsyatnya. Dahsyat kedua adalah masa inkubasinya. Masa inkubasi COVID-19 kan 3-7 hari. Dalam tiga hari aja dia (varian Delta) sudah bisa menimbulkan gejala. Ketiga, semua yang terserang varian baru itu minta ampun. Demamnya berbeda, sakitnya berbeda," ujar Tri.

Selain itu, lonjakan tinggi kasus COVID-19 di Indonesia juga dipengaruhi oleh kerapnya terjadi kerumunan saat berbelanja, salat tarawih dan salat Idulfitri, dan kerumunan ketika acara halal bihalal.

Tri menyarankan pemerintah menerapkan karantina wilayah terhadap daerah yang sudah memiliki penderita COVID-19 varian Delta, sehingga tidak menularkan ke wilayah lain.

Penderita COVID-19 varian Delta juga sebaiknya dirawat di lokasi terpisah bukan di rumah sakit bergabung dengan penderita COVID-19 varian Alpha.

Seorang pasien COVID-19 bernapas dengan masker non-rebreather di tenda darurat sebuah rumah sakit di
Foto: Seorang pasien COVID-19 bernapas dengan masker non-rebreather di tenda darurat sebuah rumah sakit di Jakarta, 24 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia merupakan konsekuensi dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diambil oleh pemerintah pusat ketimbang karantina wilayah (lockdown) saat pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia Maret tahun lalu.

"Akibat kita memilih PSBB, kemudian COVID-19 awal-awalnya bisa ditangani tetapi dalam perkembangannya sulit untuk dikendalikan lagi. Karena (virus) COVID-19 itu banyak varian kemudian bermutasi. Jadi pilihan PSBB sebenarnya sudah nggak efektif untuk mengatasi penyebaran COVID," tutur Trubus.

Para perawat bersiap untuk merawat pasien COVID-19 di tenda perawatan yang didirikan di sebuah rumah sakit di Jakarta
Foto: Para perawat bersiap untuk merawat pasien COVID-19 di tenda perawatan yang didirikan di sebuah rumah sakit di Jakarta, Kamis, 24 Juni 2021. (Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters)

Menurut Trubus, kedua jenis pilihan kebijakan untuk menangani pandemi COVID-19 tersebut terdapat dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, yakni pasal 9 tentang karantina wilayah dan pasal 10 mengenai PSBB.

Trubus merasa aneh karena kebijakan PSBB yang sudah terbukti gagal menagatasi penyebaran virus COVID-19 masih dipertahankan dan tidak dievaluasi. Mestinya pemerintah mencari format baru untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 yang sudah memiliki banyak varian.

Trubus menyarankan pemerintah segera menerapkan karantina wilayah terhadap daerah-daerah yang sudah dimasuki varian Delta COVID-19. Menurutnya, pemerintah daerah harus diberi kewenangan untuk memutuskan sendiri apakah perlu melakukan karantina wilayah atau tidak.

Foto: Seorang pasien COVID-19 terbaring di atas velbed di tenda sementara di luar ruang gawat darurat rumah sakit pemerintah di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Trubus mencontohkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah berkali-kali mengajukan rencana untuk menerapkan karantina wilayah tetapi ditolak oleh pemerintah pusat.

Trubus mengakui kesadaran masyarakat memang rendah dalam pelaksanaan protokol kesehatan.

Namun dia menekankan hal itu terjadi karena pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan kebijakannya. Trubus menilai pemerintah tidak tegas dalam memberlakukan protokol kesehatan dan lemahnya penegakan sanksi. [fw/em]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno