Jumat, 28 Maret 2025
Rabu, 26 Maret 2025
Ombudsman Selidiki Dugaan Intimidasi Polisi terhadap Demonstran di Belanda
![]() |
Ombudsman Selidiki Dugaan Intimidasi Polisi terhadap Demonstran di Belanda. |
JAKARTA -- Ombudsman Nasional Belanda, Reinier van Zutphen, mengumumkan akan menyelidiki kasus kunjungan polisi ke rumah para demonstran. Van Zutphen ingin berdiskusi langsung dengan Kepala Kepolisian terkait hal ini. Menurutnya, kunjungan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. "Saya belum pernah melihat polisi datang ke rumah seseorang hanya untuk bertanya soal demonstrasi," ujarnya.
Polisi Datangi Rumah Demonstran di Amersfoort
Kasus ini mencuat setelah seorang wanita di Amersfoort didatangi dua polisi akhir pekan lalu. Wanita tersebut merekam percakapan dan mengunggahnya ke media sosial. Dalam rekaman, salah satu polisi berkata, "Kami melihat bahwa Anda sering hadir dalam demonstrasi, dan kami ingin bertanya sedikit soal itu jika Anda tidak keberatan."
Wanita itu mengaku merasa terintimidasi, terutama ketika polisi membahas rencana kepindahannya ke rumah baru. "Itu memberi kesan bahwa saya diawasi melalui media sosial oleh polisi," katanya kepada media lokal, AD.
Ombudsman: "Apakah Ini Benar-benar Terjadi?"
Van Zutphen mengaku terkejut dengan kejadian ini. "Yang pertama kali terlintas di benak saya adalah: apakah ini benar-benar terjadi?" katanya. Sebagai mantan hakim pidana, ia merasa situasi ini seperti seorang tersangka yang sedang diinterogasi. "Kalau seseorang diberitahu bahwa mereka tidak harus menjawab pertanyaan, itu seperti ada dugaan kesalahan yang sedang diselidiki."
Menurutnya, kasus ini bisa berdampak buruk bagi kebebasan berpendapat dan berkumpul. "Jika seseorang mengalami hal seperti ini, bisa saja mereka takut untuk ikut demonstrasi lagi di kemudian hari. Ini disebut efek mencegah atau chilling effect," jelasnya.
Polisi Minta Maaf
Setelah mendapat kritik dari berbagai pihak, kepolisian Belanda akhirnya meminta maaf kepada wanita tersebut. Kepala Polisi Nasional, Janny Knol, menyatakan, "Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Kami tidak seharusnya menanyai seseorang tentang partisipasi mereka dalam demonstrasi atau pandangan politik mereka. Kami bukan polisi pemikiran."
Namun, pihak kepolisian tidak menjelaskan alasan di balik kunjungan tersebut dengan alasan privasi. "Apapun alasannya, cara ini tidak boleh digunakan untuk mendekati seseorang," tambah Knol.
Amnesty International dan XR Soroti Privasi Demonstran
Kelompok aktivis lingkungan, Extinction Rebellion (XR), menyebut bahwa polisi sering melakukan kunjungan serupa kepada para demonstran. XR bahkan telah mengajukan gugatan hukum terhadap kepolisian, menuntut agar praktik ini segera dihentikan.
Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, juga telah lama mengkhawatirkan isu ini. Dalam laporan mereka tahun 2022, disebutkan bahwa beberapa orang melaporkan menerima kunjungan polisi setelah identitas mereka diperiksa saat demonstrasi.
Penyelidikan Ombudsman
Van Zutphen sebenarnya sudah menyoroti tekanan terhadap hak berdemonstrasi sejak tahun 2018. Ia menemukan bahwa dalam kasus demonstrasi bertema kontroversial, seperti protes terhadap pembangunan pusat pengungsi, polisi dan pemerintah daerah sering kali gagal melindungi hak demonstran.
Awal tahun ini, Ombudsman kembali melakukan penyelidikan lanjutan, dan kasus kunjungan polisi ke rumah demonstran akan menjadi bagian dari investigasi tersebut. "Kami ingin mengetahui dengan jelas mengapa hal ini terjadi dan apakah ada pelanggaran hak-hak dasar warga negara," tegasnya.
Kasus ini memicu perdebatan luas di Belanda tentang batasan wewenang kepolisian dan perlindungan hak-hak warga negara dalam berdemokrasi. Masyarakat kini menunggu hasil penyelidikan Ombudsman untuk melihat apakah ada tindakan lebih lanjut terhadap praktik kontroversial ini.
Selasa, 11 Maret 2025
Donald Trump Janjikan Tindakan Keras terhadap Demonstran Pro-Palestina di Kampus AS
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan akan melancarkan tindakan tegas terhadap pengunjuk rasa pro-Palestina di sejumlah kampus Amerika.
Langkah ini dimulai dengan penangkapan Mahmoud Khalil, salah satu pemimpin demonstrasi di Columbia University, New York, yang Trump sebut sebagai “penangkapan pertama dari banyak yang akan datang.”
Khalil Ditangkap oleh Pejabat Imigrasi
Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa asal Suriah yang baru saja menyelesaikan gelar masternya di Columbia University, ditangkap oleh pejabat imigrasi AS pada akhir pekan lalu.
Menurut catatan resmi, Khalil memegang kartu hijau AS dan menikah dengan seorang warga negara Amerika yang tengah hamil delapan bulan.
Meski belum didakwa atas tindak pidana, pihak berwenang menyatakan bahwa penahanannya adalah bagian dari kebijakan Trump untuk melarang antisemitisme dan mencegah apa yang ia sebut sebagai "aktivitas pro-teroris" di universitas-universitas AS.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyatakan bahwa tindakan ini diambil untuk menegakkan perintah Trump yang melarang segala bentuk antisemitisme di kampus, dengan koordinasi langsung dari Departemen Luar Negeri.
Trump: “Tidak Ada Tempat bagi Pendukung Terorisme”
Melalui unggahannya di Truth Social, Trump menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan mentoleransi mahasiswa yang ia anggap sebagai pendukung aksi terorisme.
"Jika Anda mendukung terorisme, termasuk pembantaian pria, perempuan, dan anak-anak yang tidak bersalah, Anda tidak diterima di sini," tulisnya.
Ia juga memperingatkan bahwa lebih banyak mahasiswa di Columbia dan universitas lain yang akan menghadapi konsekuensi serupa jika mereka terus terlibat dalam aksi protes yang ia sebut anti-Amerika dan anti-Semit.
Demonstrasi Pro-Palestina di Kampus AS
Setahun yang lalu, kampus-kampus di AS menjadi pusat demonstrasi besar-besaran terkait perang Israel-Hamas.
Protes ini dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan penculikan 250 sandera di Israel selatan.
Sebagai respons, Israel melancarkan serangan ke Gaza, yang menurut otoritas kesehatan di wilayah tersebut telah menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Demonstrasi pro-Palestina ini memicu kontroversi di kampus-kampus AS, dengan sebagian pihak menuduh para pengunjuk rasa menyebarkan antisemitisme.
Beberapa protes bahkan berujung pada kekerasan dan bentrokan dengan kelompok pro-Israel.
Meski begitu, sebagian besar demonstrasi mulai mereda saat tahun ajaran baru dimulai pada musim gugur lalu.
Kritik terhadap Kebijakan Trump
Keputusan Trump untuk menindak keras para demonstran pro-Palestina menuai kritik dari berbagai pihak.
Maya Berry, Direktur Eksekutif Arab American Institute, menyatakan bahwa kebijakan ini berisiko membungkam kebebasan berbicara di AS.
"Menghubungkan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme adalah langkah berbahaya yang dapat merusak hak-hak sipil mahasiswa di Amerika," ujarnya ( Trump Sebut AS akan Deportasi Mahasiswa Pengunjuk Rasa Pro-Jihadis).
Selain itu, kelompok hak asasi manusia juga khawatir bahwa deportasi mahasiswa asing yang terlibat dalam aksi protes bisa menjadi preseden berbahaya bagi kebijakan imigrasi di masa depan.
Langkah Donald Trump untuk menindak keras mahasiswa yang terlibat dalam aksi pro-Palestina menunjukkan pendekatan keras pemerintahannya terhadap gerakan protes di kampus.
Dengan penangkapan Mahmoud Khalil sebagai contoh pertama, banyak pihak kini menunggu apakah tindakan ini akan meluas ke kampus-kampus lain dan bagaimana dampaknya terhadap kebebasan akademik serta hak-hak mahasiswa di AS.
Oleh: VOA Indonesia | Editor: Yakop
Sabtu, 22 Februari 2025
Kebijakan “Ugal-ugalan” Bikin "Gerah", Mahasiswa dan Pekerja Turun ke Jalan
![]() |
Amanda (kiri) dan Aryo, pendemo yang mengaku rela ambil cuti demi ikut berunjuk rasa dalam aksi massa #IndonesiaGelap di Patung Kuda, pada Jumat, 21 Februari 2025. (Foto: Hafizh Sahadeva/VOA) |
Mensesneg Janji Akan Pelajari Tuntutan
Kebijakan Efisiensi yang Menuai Kritik
Aksi Kreatif, Sindiran Pedas
Apa Selanjutnya?
Demo #IndonesiaGelap Masih Berlanjut di Sejumlah Kota Besar, Kritik terhadap Kabinet
Protes di Surabaya: Kritik terhadap Kabinet
Gelombang Protes Masih Berlanjut
Massa Padati Patung Kuda Jakarta, Lanjutkan Aksi #IndonesiaGelap
Latar Belakang Aksi #IndonesiaGelap
Tuntutan dan Isu yang Diangkat
- RUU Masyarakat Adat
- RUU Perampasan Aset
- RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
- Revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri
- Revisi Tata Tertib DPR
- Revisi UU Mineral dan Batu Bara
Demo di Berbagai Kota, Berlangsung Damai
Tak Ada Pejabat yang Temui Demonstran
Protes Kreatif, Poster-Poster Menggelitik
Pengamat: Pemerintah Harus Merespons dengan Baik
Aksi Serupa Terjadi di Amerika Serikat
Senin, 05 Agustus 2024
Ribuan Orang Beraksi di Depan Kedutaan Besar AS di Jakarta: Seruan untuk Hentikan Genosida di Gaza
![]() |
Seorang pria membawa plakat saat unjuk rasa pro-Palestina, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, di Jakarta, 9 Juni 2024. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana) |
Pernyataan Tegas dari Ketua Pelaksana Aksi
Dukungan dan Kecaman dari Wakil Ketua MPR
Desakan kepada Pemerintah Indonesia
Demonstrasi Global: Paris, Baghdad, dan Sanaa
Pernyataan dari PM Israel
Analisis dari Pengamat Hubungan Internasional
Bentrokan di Bangladesh: Ketegangan Meningkat di Tengah Protes Kuota Pemerintah, 73 Orang Tewas, Termasuk 14 Petugas Polisi
![]() |
Bentrokan di Bangladesh: Ketegangan Meningkat di Tengah Protes Kuota Pemerintah. |