Aktivis, Pengungsi Uighur di Turki Khawatir Dianggap Mulai Tunduk pada China
Aktivis, Pengungsi Uighur di Turki Khawatir Dianggap Mulai Tunduk pada China
BORNEOTRIBUN -- Banyak warga minoritas Uighur di China mencari suaka di Turki, menyusul tindakan keras Beijing terhadap kelompok minoritas Muslim berbahasa Turki tersebut.
Para pengamat menggambarkan kondisi mereka yang ditahan pemerintah China seperti berada dalam kamp konsentrasi.
Semakin besarnya tekanan Beijing terhadap Ankara, membuat sebagian pengungsi Uighur khawatir akan masa depan mereka di Turki.
Pada aksi unjuk rasa baru-baru ini, aktivis Uighur mengeluh bahwa di Turki mereka tidak bisa bersuara menentang China. Polisi sebelumnya telah menangkap mereka karena mengenakan kaus bergambar anggota keluarga yang dipenjara oleh otoritas China..
“Polisi bilang kamu boleh pergi sekarang, tapi kamu tidak boleh membawa kaus ini. Kami bilang ‘kenapa?’ polisi itu mengatakan, ‘tidak boleh, kamu harus memakainya secara terbalik.’ Memaksa kami memakai kaus itu secara terbalik – bagian luar di dalam, bukan hanya menghina kehormatan kami, tapi juga ibu dan saudara-saudara kami,” kata Mirzehmet Ilyasoglu, salah seorang aktivis tersebut.
Seorang bocah etnis Uighur mengenakan topeng saat protes terhadap China di Istanbul, Turki, 14 Desember 2019. (Foto: Reuters) |
Turki adalah satu di antara sejumlah negara yang menampung sebagian besar pengungsi Uighur. Kebanyakan tinggal di kota Istanbul.
Seorang penyair bernama Abduurehim Imin Parach melarikan diri ke Istanbul tujuh tahun lalu, sementara istrinya masih ditahan di kamp penahanan China. Parach khawatir kritiknya terhadap China membuatnya menjadi sasaran otoritas Turki.
“Polisi menahan saya ketika berada di restoran dan membawa saya ke kantor polisi di Sefakoy. Mereka memberi saya sebuah dokumen dan meminta saya menandatanganinya. Isinya berbunyi, ‘Orang ini terafiliasi dengan organisasi yang merupakan ancaman bagi Turki.’ Saya bilang saya tidak ada kaitan apa-apa dengan kelompok-kelompok tersebut, dan saya tidak akan menandatanganinya,” kata Abduurehim Imin Parach.
Kasus-kasus seperti Parach bukan lagi hal yang aneh, kata pengacara hak asasi manusia, Ibrahim Ergin. Ia tengah melawan sejumlah upaya ekstradisi China terhadap beberapa aktivis penting Uighur.
“Orang-orang ditahan dengan tuduhan sebagai pejuang teroris asing meskipun tidak ada bukti. Kami tahu China memberi tekanan besar terhadap kementerian dalam dan luar negeri Turki serta pasukan keamanan. Dalam komunikasi kami dengan para pejabat, kami diberitahu bahwa deportasi lima hingga sepuluh warga Uighur, membuat posisi Turki secara ekonomi dan politik lebih sehat,” katanya.
Mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu (Dautuolo) menuduh pemerintahan Erdogan mengorbankan kelompok Uighur untuk mempererat hubungan ekonomi dengan China.
Perempuan pengungsi Uighur di kompleks berpagar di pusat kota Kayseri, Turki, 11 Februari 2015. (Foto: REUTERS/Umit Bektas) |
Presiden Erdogan menyangkal tuduhan itu dan mengatakan bahwa Turki telah memberikan suaka kepada puluhan ribu warga Uighur.
Seiring semakin luasnya pemberitaan terkait tindakan keras China terhadap warga Uighur, pemimpin Turki itu kerap menjauhkan diri dengan dunia internasional yang kerap mengutuk Beijing.
Sikap diam itu membuat para pengungsi Uighur seperti Parach khawatir.
“Selama ini para pejabat hanya diam, akibatnya saya merasa takut. Saya tidak bisa berbicara tentang masa depan saya. Jika saya melakukannya, saya akan memenuhi kepala saya dengan berbagai pikiran buruk karena masa depan saya ada dalam kegelapan,” kata Abduurehim İmin Parach.
Parach menghibur diri melalui puisi yang ia tulis.
Setelah tidak pernah mendengar kabar apapun dari keluarganya selama bertahun-tahun, seperti banyak pengungsi Uighur lainnya, masa depan tampaknya hanya memberinya sedikit harapan.
Sumber: www.voaindonesia.com