|
Bangladesh Cabut ‘Lockdown’ untuk Rayakan Idul Adha. |
BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Mengabaikan peringatan banyak pakar medis, pemerintah Bangladesh mencabut kebijakan Lockdown sejak 15 Juli untuk memberi kesempatan bagi Muslim untuk merayakan Idul Adha.
Sejumlah pakar medis mengatakan, meski sejumlah protokol medis tetap diberlakukan, lonjakan kasus diperkirakan akan terjadi dan bukan tidak mungkin menyebabkan ambruknya sistem layanan kesehatan negara itu yang saat ini sudah kewalahan.
Menunggu di antara ratusan sesama pelancong untuk naik feri dari ibu kota Bangladesh, pekerja konstruksi yang sudah lama menganggur Mohammed Nijam tahu bahwa ia berisiko tertular virus corona, tetapi ia merasa lebih berisiko untuk tetap tinggal di Dhaka karena menghadapi kemungkinan lockdown berikutnya.
"Saya harus membayar sewa setiap bulan meskipun saya tidak punya pekerjaan. Saya harus bisa makan dan membayar sewa rumah. Induk semang selalu meminta pembayaran," kata Nijam.
"Sekarang dengan dicabutnya lockdown, saya lebih suka pulang ke desa dan menjalani hidup seperti yang Allah izinkan.
Bagaimana kami bisa bertahan hidup di kota? Kami tidak mendapatkan bantuan apa pun.
Sekarang, saya akan pulang ke desa untuk tinggal bersama keluarga saya dan menjalani hidup semampu saya."
Nijam adalah salah satu dari puluhan juta orang Bangladesh yang berbelanja dan bepergian pekan ini menyusul jeda lockdown selama delapan hari untuk merayakan Idul Adha.
Seiring penyebaran virus yang merajalela, Bangladesh sebelumnya memberlakukan lockdown nasional sejak 1 Juli.
Hampir semua kegiatan dihentikan, mulai dari pasar hingga transportasi massal.
Namun, bahkan dengan pembatasan - pembatasan baru, kematian akibat virus masih berkisar sekitar 200 setiap hari dan infeksi harian masih sekitar 11.000.
Kedua angka itu sendiri diduga jauh lebih kecil daripada angka sesungguhnya.
Pada hari Minggu (18/7), 225 kematian dan 11.758 infeksi dilaporkan. Terlepas dari peringatan dari para ahli, pemerintah mengumumkan bahwa mulai 15 hingga 23 Juli, semua pembatasan akan dicabut dan semua kegiatan publik akan dibuka kembali sehingga rakyat negara itu dapat merayakan Idul Adha yang biasanya menggairahkan perekonomian.
Walhasil, kerumunan orang terlihat memadati mal-mal dan pasar-pasar untuk berbelanja memenuhi kebutuhan perayaan Idul Adha, dan yang lainnya memadati pelabuhan-pelabuhan dan terminal-terminal untuk mudik ke kampung halaman.
Di antara kerumunan besar orang yang berbelanja di Pasar Baru Dhaka adalah Shah Alam, seorang teknisi gigi.
"Karena pemerintah telah melonggarkan situasi selama beberapa hari, kami datang ke pasar untuk membeli barang-barang yang diperlukan. Kami mencoba mematuhi pedoman keselamatan kesehatan."
Penangguhan lockdown tersebut mendapat kecaman para pakar kesehatan.
Mereka memperingatkan bahwa kebijakan itu dapat memperburuk lonjakan berkelanjutan yang dipicu oleh varian Delta yang sangat menular, yang pertama kali terdeteksi di negara tetangga, India.
Be-Nazir Ahmed, seorang pakar kesehatan masyarakat, mengatakan, “Banyak orang, mungkin jutaan, sudah mudik ke desa mereka untuk merayakan Idul Adha.
Jadi, banyak dari mereka yang sebenarnya membawa virus ini dari satu bagian negara ke bagian lain, atau ke daerah mana yang mungkin tidak terpengaruh sebelumnya. Melalui mereka, daerah-daerah itu akan terpengaruh sekarang.
Jadi, ini satu. Kedua, karena pembukaan pasar, banyak orang keluar dari rumah.
Jadi, apa yang akan terjadi adalah penyebaran akan semakin meluas.” Ahmed juga mengkhawatirkan, kegiatan kurban juga akan menjadi pemicu lonjakan kasus.
"Mungkin ratusan ribu ternak akan diperdagangkan untuk kegiatan kurban, mulai dari desa yang sangat terpencil hingga kota.
Dan, Anda tahu, kebanyakan penjual ternak, atau lainnya yang terlibat, berasal dari daerah pedesaan. Dan mungkin, mereka akan pulang membawa virus.”
Menurut perkiraan Ahmed, 30 juta hingga 40 juta orang akan berkumpul untuk salat di masjid-masjid atau lapangan-lapangan terbuka di berbagai penjuru negeri itu, Rabu.
Ia mengatakan, sebulan setelah Idul Adha akan menjadi waktu yang kritis bagi negara itu yang hingga Senin (19/7) mencatat hampir 1,1 juta infeksi dan hampir 18.000 kematian akibat pandemi.
“Ada kelangkaan tempat tidur, dan ICU. Penyedia layanan kesehatan sudah kelelahan setelah lebih dari satu setengah tahun menghadapi pandemi.
Jadi, jika situasinya memburuk, dan lebih banyak pasien harus datang ke rumah sakit, hampir tidak mungkin bagi penyedia layanan kesehatan untuk menangani situasi ini." [ab/]
VOA