Dana Otonomi Khusus Papua bernilai Triliunan Rupiah, 20 Tahun Manfaat tidak Terwujud
Ilustrasi. Gambar Kompasiana |
BORNEOTRIBUN JAKARTA - Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang bernilai triliunan rupiah dinilai tak mampu menyentuh masyarakat bawah. Dua puluh tahun digulirkan, manfaat yang diharapkan tidak juga terwujud. Sejumlah pihak mengatakan, perlu terobosan baru untuk mengalirkan dana itu langsung ke masyarakat.
Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP-UGM) menggagas diterbitkannya Kartu Dana Otsus. Usulan itu disampaikan Ketua GTP-UGM, Prof Bambang Purwoko dalam rapat bersama Pansus Otsus Papua DPR, Kamis (3/6).
“Hasil diskusi kami dengan beberapa kepala daerah di Papua dan bahkan ini sudah mendapatkan lampu hijau dari MRP (Majelis Rakyat Papua), apakah dari yang satu persen atau 1,25 persen kalau nanti disetujui, ada belanja langsung yang bisa diterima oleh masyarakat, entah dalam bentuk kartu, voucher atau apapun,” kata Bambang.
Ketua GTP-UGM, Prof Bambang Purwoko. (Foto: VOA) |
Kartu Otsus Papua hanya satu dari tiga usulan yang tergabung dalam upaya reinstrumentasi Otsus Papua. Reinstrumentasi atau rancangan baru Otsus penting, di tengah persoalan yang terus mendera provinsi tersebut.
DPR sendiri saat ini sedang menyusun perubahan kedua UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Perubahan ini sekaligus sebagai upaya meninjau kekurangan pelaksanaan Otsus selama 20 tahun sejak dicanangkan.
Otsus Sisakan Persoalan
Usulan lain yang disampaikan GTP-UGM adalah perluasan jangkauan otonomi khusus Papua hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Perluasan hingga ke struktur bawah penting agar Otsus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat hingga ke tingkat kampung. Usulan ketiga yang disampaikan Bambang adalah pengaturan regulasi pemekaran di Papua, baik provinsi maupun kabupaten dan kota.
“Pemekaran harus ditempatkan sebagai strategi percepatan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, redistribusi kesejahteraan sosial, memuliakan adat, dan mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua,” ujar Bambang.
Dalam catatan GTP-UGM, Otsus yang sudah berjalan dua dekade ternyata masih menyisakan banyak persoalan di Papua. Di bidang politik, kebijakan lambang daerah dan simbol kultural, pembentukan partai politik, pembentukan pengadilan HAM, pembentukan KKR, dan pengakuan peradilan adat tidak berjalan. Di bidang pemerintahan, Otsus tidak memberikan kewenangan sepenuhnya, tetapi justru dibebani banyak kebijakan lain yang melemahkan atau bertentangan dengan UU Otsus Papua sendiri.
Dalam isu keamanan, Papua masih dan terus dinaungi dan bahkan kasus kekerasan meningkat setidaknya dalam dua tahun terakhir. Sementara di sektor ekonomi, kesempatan orang asli Papua kehilangan akses pekerjaan dan sumber ekonomi karena persaingan dengan pendatang.
Pada kesempatan itu, Bambang juga menekankan pentingnya instrumen khusus untuk mengatasi persoalan Papua yang pelik dan khusus. penyempurnaan UU Otsus Papua sangat mendesak sebagai solusi persoalan Papua.
Tak Penuhi Tujuan
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Mardyanto Wahyu Tryatmoko, peneliti LIPI menyebut, Otsus Papua selama dua dekade ini tidak mampu memenuhi tujuan awalnya.
Dr. Mardyanto Wahyu Tryatmoko, peneliti LIPI. (Foto: VOA) |
“Sesuai dengan TAP MPR nomor 4 tahun 1999, otonomi khusus diperlukan untuk menyelesaikan konflik, tapi faktanya kita lihat konflik etnis, komunal dan separatis dari tahun implementasi Otsus itu cenderung meningkat. Ini data yang saya olah dari sistem pemantauan kekerasan di Indonesia,” kata Mardyanto.
Kekerasan bermotif politik di Papua juga menjadi yang tertinggi di Indonesia, menurut data LIPI.
“Dari sisi korban konflik, yang meninggal di Papua dalam pemilu juga menjadi problem karena sangat signifikan, melebihi daerah konflik di Indonesia lainnya, seperti Aceh, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Maluku Utara,” tambah Mardyanto yang juga menyebut bahwa Papua adalah daerah paling rawan dalam Pemilu.
Konflik terkait sumber daya dan pemerintahan trennya juga meningkat. Angka kriminalitas yang tinggi juga membebani, persoalan distribusi dana Otsus itu sendiri.
Mardyanto tidak ingin berhenti pada kesimpulan sederhana mengenai apakah Otsus selama dua dekade membawa hasil atau tidak. Dia mengatakan, lebih penting bagi Papua untuk mencermati persoalan membangun kelembagaan. Mardyanto menyebut langkah ini sebagai proses untuk membentuk lembaga yang stabil dan efektif di Papua. Sayangnya, menurut Mardyanto, lembaga-lembaga yang ada di Papua selama ini justru sangat lemah.
Papua Tanyakan Komitmen
Ketua Pansus Otsus Papua DPR, Komarudin Watubun menyambut baik usulan terkait kartu Otsus yang disampaikan Bambang Purwoko. Salah satu pertimbangannya, adalah tidak semua konsep Otsus dapat disosialisasikan dengan mudah. Namun, dengan sebuah kartu, setiap orang Papua dapat menerimanya.
“Jadi kalau bisa ada kartu langsung kepada keluarga orang asli Papua, itu saya kira lebih baik. Dan itu langsung dirasakan, jadi tidak perlu kita sosialisasi dengan susah. Dan itu salah satu tujuan dari Otsus itu, yaitu dirasakan langsung,” kata Komarudin yang berasal dari Papua.
Ketua Pansus Otsus Papua DPR, Komarudin Watubun. (Foto: VOA) |
Dia juga mengupas isu besar terkait Otsus, yang mendasari pelaksanaan program-program di dalamnya, yaitu apakah ada keseriusan dalam pelaksanaannya. Keseriusan itu,katanya,harus dimiliki, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Komarudin juga menyetujui munculnya lembaga khusus langsung di bawah presiden, terkait pelaksanaan Otsus.
Anggota Komite I DPD RI dari Papua, Filep Wamafma menyebut, konsep Otsus yang saat ini ada sebenarnya sudah baik. Pekerjaan rumah terbesarnya justru karena konsep itu tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh. Karena itu menurutnya, dalam persoalan Otsus, yang juga sangat penting adalah komitmen.
Selain itu, katanya, rasa saling percaya antara pemerintah pusat dan daerah juga harus dibangun.
“Rakyat Papua hari ini tidak percaya lagi bagaimana kebijakan yang dipikirkan di Jakarta, demikian pula Jakarta juga tidak percaya pada rakyat di daerah, khawatir berlebihan. Kalau kewenangan diberikan lebih, khawatir Papua akan merdeka. Ini kekhawatiran berlebih,” kata Filep. [ns/ab]
Oleh: VOA