Berita Borneotribun.com: Batu Bara Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Batu Bara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Batu Bara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Agustus 2024

Ormas Agama Kelola Tambang Batu Bara: Untung atau Buntung?

Ormas Agama Kelola Tambang Batu Bara: Untung atau Buntung?
Tambang batu bara mengakibatkan kerusakan lingkungan dekat Samarinda, provinsi Kalimantan Timur (foto: ilustrasi).
JAKARTA - Keputusan ormas keagamaan seperti PBNU dan Muhammadiyah untuk menerima tawaran pemerintah dalam mengelola tambang batu bara menuai berbagai pendapat. Beberapa ekonom menganggap langkah ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Mari kita bahas apakah keputusan ini benar-benar menguntungkan atau justru merugikan.

Keberatan Terhadap Pengelolaan Tambang Batu Bara

Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan kekhawatirannya terhadap keputusan PBNU dan Muhammadiyah untuk terlibat dalam pengelolaan tambang batu bara. Menurutnya, proses tambang batu bara sering kali merusak lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah sosial. Selain itu, batu bara diprediksi akan memasuki masa "sunset" atau masa akhir penggunaannya, karena banyak negara maju sudah mulai meninggalkannya. 

"Australia, misalnya, sudah menutup tambang batu baranya karena dianggap sebagai sumber energi kotor. Sementara itu, di Indonesia, meskipun cadangan batu bara masih melimpah, PLN sendiri juga mulai beralih ke energi terbarukan," jelas Fahmy.

Selain itu, izin tambang yang diberikan kepada ormas hanya berlaku lima tahun. Menurut Fahmy, waktu tersebut terlalu singkat untuk mendapatkan hasil yang signifikan, terutama karena proses perizinan tambang memerlukan waktu yang cukup lama. 

Alternatif yang Lebih Menguntungkan: Energi Terbarukan

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira juga menilai bahwa keputusan ormas keagamaan untuk mengelola tambang batu bara kurang tepat. Dia berpendapat bahwa ormas yang memiliki keahlian dalam pendidikan dan kesehatan sebaiknya lebih fokus pada pengembangan energi terbarukan. 

"Daripada terlibat dalam sektor tambang yang berisiko tinggi dan merusak lingkungan, lebih baik ormas keagamaan berinvestasi dalam energi terbarukan berbasis komunitas, seperti panel surya atau mikrohidro. Ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga lebih menguntungkan dalam jangka panjang," ujar Bhima.

Dia menjelaskan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas bisa memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Selain itu, ini juga bisa menjadi solusi bagi ormas dalam menjalankan amal usaha, dengan mengintegrasikan proyek energi terbarukan ke dalam pesantren, sekolah, atau rumah sakit yang mereka kelola.

Potensi Risiko dan Tantangan

Kekhawatiran lain terkait pengelolaan tambang batu bara oleh ormas keagamaan adalah potensi risiko terlibat dalam praktek pertambangan ilegal atau kejahatan tambang. Fahmy dan Bhima mengingatkan bahwa pengelolaan tambang yang tidak diatur dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan masalah sosial yang serius. 

"Jangan sampai ormas keagamaan terjerat dalam masalah hukum atau kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak ramah lingkungan," kata Fahmy.

Meskipun pengelolaan tambang batu bara oleh ormas keagamaan mungkin terlihat sebagai peluang bisnis, banyak ekonom berpendapat bahwa risiko dan kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya. Sebaliknya, berinvestasi dalam energi terbarukan berbasis komunitas bisa menjadi pilihan yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan. 

Sebagai penutup, keputusan ormas keagamaan untuk terlibat dalam pengelolaan tambang batu bara harus dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, masyarakat, dan keuntungan ekonomi yang sebenarnya.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, ormas keagamaan mungkin perlu mengevaluasi kembali apakah mereka benar-benar ingin terlibat dalam sektor tambang atau lebih baik beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan.

Rabu, 26 Mei 2021

G7 Sepakat Setop Pendanaan Proyek Batu Bara

G7 Sepakat Setop Pendanaan Proyek Batu Bara
Asap dan uap membubung dari PLTU milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )

BorneoTribun Internasional -- Tujuh negara maju, Jumat (21/5) pekan lalu, sepakat untuk menghentikan pembiayaan internasional untuk proyek batu bara yang mengeluarkan karbon pada akhir tahun ini. Penghentian dukungan pendanaan tersebut juga berlaku bagi semua bahan bakar fosil untuk memenuhi target perubahan iklim yang disepakati secara global.

Melansir Reuters, menghentikan pendanaan untuk proyek bahan bakar fosil dipandang sebagai langkah besar yang dapat dilakukan dunia untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius di atas masa pra-industri. Para ilmuwan berpendapat hal tersebut akan dapat menghindari dampak perubahan iklim yang paling merusak.

Dengan mengikutsertakanJepang untuk mengakhiri pembiayaan internasional proyek batubara dalam waktu yang singkat, berarti negara-negara yang masih mendukung penggunaan batu bara, seperti China, semakin terisolasi dan bisa menghadapi lebih banyak tekanan untuk menghentikan kegiatan tersebut.

Dalam komunike, seperti yang telah dilaporkan Reuters sebelumnya, negara-negara Kelompok Tujuh, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang - ditambah Uni Eropa mengatakan "investasi internasional pada batu bara yang tak terkendali harus dihentikan sekarang.”

"(Kami) berkomitmen untuk mengambil langkah konkret menuju keputusan mutlak untuk memberikan dukungan secara langsung bagi pembangkit listrik tenaga batu bara termal internasional yang tak henti-hentinya pada akhir tahun 2021, termasuk melalui Bantuan Pembangunan Resmi, pembiayaan ekspor, investasi, dan dukungan promosi keuangan dan perdagangan."

Batu bara dianggap sangat merusak saat dibakar untuk menghasilkan listrik atau panas tanpa menggunakan teknologi untuk menangkap emisi yang dihasilkan. Sistem tersebut belum banyak digunakan dalam pembangkitan listrik.

Alok Sharma, presiden KTT iklim COP26, telah menjadikan penghentian pembiayaan batu bara internasional sebagai "prioritas pribadi" untuk membantu mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Ia menyerukan agar KTT PBB pada November menjadi salah satu konferensi yang "membuang batu bara menjadi sejarah.”

Dia meminta China untuk menetapkan "kebijakan jangka pendek yang kemudian akan membantu mencapai target jangka panjang dan seluruh sistem China perlu memenuhi apa yang telah ditetapkan oleh Presiden Xi Jinping sebagai tujuan kebijakannya".

Negara-negara G7 juga setuju untuk "bekerja dengan mitra global lainnya untuk mempercepat penyebaran kendaraan tanpa emisi", "secara luar biasa" melakukan dekarbonisasi sektor tenaga listrik pada 2030-an dan menjauh dari pembiayaan bahan bakar fosil internasional, meskipun tidak ada tanggal spesifik yang diberikan untuk tujuan tersebut.

Mereka menegaskan kembali komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris 2015 yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu Bumi di angka hingga 1,5 derajat Celcius di atas masa pra-industri dan pada tujuan pendanaan iklim negara maju untuk memobilisasi US$ 100 miliar setiap tahun pada 2020 hingga 2025. [ah/ft]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno