Berita Borneotribun.com: Afghanistan Hari ini
Tampilkan postingan dengan label Afghanistan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Afghanistan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Februari 2022

Tetap atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi Dilema

Tetap atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi Dilema
Seorang anak laki-laki Sikh Afghanistan berduka atas para korban yang tewas dalam serangan di kompleks keagamaan Sikh saat pemakaman di Kabul, Afghanistan, 26 Maret 2020. (Foto: Reuters)


BorneoTribun.com - Pada 1970-an, populasi Sikh di Afghanistan mencapai 100.000. Hanya ada segelintir dari mereka sekarang.


Sangat sedikit dari sekitar 100.000 orang Sikh di Afghanistan yang tercatat pada tahun 1970-an sekarang tertinggal di ibu kota, Kabul.

Orang-orang Sikh Afghanistan berduka atas kematian rekan-rekan seimannya yang dibunuh oleh seorang pria bersenjata ISIS, saat pemakaman di Kabul, Afghanistan, 26 Maret 2020. (Foto: AP)


Gurnam Singh, administrator Karte Parwan Gurdwara, kuil Sikh terakhir di Kabul yang masih aktif melakukan ritual doa berkata, "Semua orang mencintai negara mereka. Kami orang Afghanistan. Afghanistan adalah negara kami, Tanah Air kami. Tapi kami putus asa."


Konflik, kemiskinan, dan intoleransi selama beberapa dekade telah mendorong hampir semua Sikh Afghanistan ke pengasingan.

Seorang pria Sikh Afghanistan duduk di samping peti mati salah satu korban ledakan kemarin di kota Jalalabad, Afghanistan 2 Juli 2018. (Foto: Reuters)


Pendudukan Soviet, diikuti oleh pemerintahan rezim Taliban dan intervensi militer berdarah pimpinan AS mengurangi jumlah mereka menjadi hanya 240 tahun lalu, menurut angka yang dicatat oleh masyarakat.


Setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus, yang membuka babak terakhir dalam sejarah kelam Afghanistan, ada gelombang baru Sikh yang meninggalkan negara itu.


"Kondisi di sini berubah seiring musim. Kalau situasi memburuk lebih jauh, maka semua orang akan pergi. Orang mengambil keputusan berdasarkan situasi," kata Gurnam Singh.


Sekarang ini, Gurnam Singh memperkirakan hanya 140 orang yang bertahan, kebanyakan di Jalalabad, Afghanistan Timur, dan di Kabul.


Pada suatu hari yang dingin pada pertengahan bulan lalu, mereka yang masih bertahan ini tampak hadir di kuil Karte Parwan Gurdwara untuk mengikuti kegiatan berdoa.


Kaum lelaki berdiri di satu sisi, kaum perempuan di sisi lain. Seluruhnya ada 15 orang.


Duduk bertelanjang kaki di lantai yang dilapisi karpet merah tebal, mereka menghangatkan diri dengan berkumpul di sekitar tungku dan mendengarkan pembacaan Guru Granth Sahib, kitab suci Sikh.


Pada November lalu, kuil itu memiliki tiga kitab suci, tetapi dua di antaranya kemudian dikirim ke New Delhi untuk “disimpan.”


Warga Sikh telah lama menghadapi diskriminasi di Afghanistan yang mayoritas penduduknya Muslim. Kemiskinan merajalela dan serangan dari ISIS-Khorasan, kelompok jihadis ISIS cabang Afghanistan, merupakan ancaman nyata bagi mereka.


Sebagian besar warga Sikh yang melarikan diri dari Afghanistan telah tiba di India, di mana 90 persen dari 25 juta penganut Sikh di dunia bermukim, terutama di Punjab, wilayah di bagian barat laut.


Sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, India telah menawarkan visa prioritas kepada warga Sikh di pengasingan dan kesempatan untuk mengajukan izin tinggal jangka panjang. Belum ada tanda-tanda mengenai pemberian kewarganegaraan bagi mereka.

Pria Sikh Afghanistan membawa peti mati salah satu korban ledakan di kota Jalalabad, Afghanistan 2 Juli 2018. (Foto: Reuters)


Manjit Singh, apoteker berusia 40, termasuk di antara mereka yang menolak tawaran itu, meskipun putrinya telah beremigrasi ke India bersama dengan suaminya tahun lalu.


“Apa yang akan saya lakukan di India?” tanyanya. “Tidak ada pekerjaan atau rumah di sana,” lanjutnya.


Di antara yang masih menjadi penyebab mereka bertahan adalah, prospek untuk pergi sangat memilukan. Ini berarti, mereka akan meninggalkan rumah spiritual mereka.


“Sewaktu gurdwara ini dibangun 60 tahun silam, seluruh daerah ini penuh dengan orang-orang Sikh,” kata Manmohan Singh, lelaki berusia 60 tahun yang menjadi sesepuh komunitas Sikh di Kabul. “Apa pun suka atau duka yang kami rasakan, kami rasakan itu di sini,” lanjutnya.


Dari luar, kuil ini hampir tidak dapat dibedakan dari bangunan-bangunan lain di sekitarnya.


Tetapi keamanan di sekitar kuil itu sangat tinggi. Tubuh pengunjung digeledah dengan saksama, kartu identitas diperiksa dan pengunjung harus melewati dua pintu dengan penjagaan ketat.


Pada awal Oktober lalu, sekawanan lelaki bersenjata tidak dikenal menerobos masuk dan merusak tempat suci itu.


Insiden itu merupakan serangan paling menakutkan terhadap komunitas Sikh Afghanistan.


Pada Maret 2020, anggota ISIS-Khorasan menyerbu Gurdwara Har Rai Sahib di Shor Bazar, bekas wilayah kantong komunitas Sikh di Kabul, menewaskan 25 orang.


Sejak serangan itu, kuil tersebut, dan juga Dharamshala Gurdwara, tempat ibadah Sikh tertua di ibu kota yang diperkirakan berusia 500 tahun – telah ditinggalkan.


Mata kiri Paramjeet Kaur terkena pecahan peluru pada waktu serangan ISIS-Khorasan. Saudara Kaur termasuk di antara korban tewas.


Dalam beberapa pekan setelah serangan, Kaur dan keluarganya berkemas dan menuju Delhi. Tetapi ia dan suaminya tidak memiliki pekerjaan dan biaya hidup sangat mahal di sana, sehingga mereka terpaksa kembali.


Ini terjadi pada bulan Juli, beberapa pekan sebelum Taliban kembali berkuasa.


Sekarang Kaur, suaminya dan tiga anak mereka diberi makan dan tempat tinggal oleh Karte Parwan Gurdwara.


Anak-anaknya tidak pergi bersekolah dan Kaur tidak pernah keluar melewati tembok kuil, satu-satunya tempat di mana ia merasa aman.


Ia sedang mempertimbangkan untuk pergi lagi, kali ini ke Kanada atau AS.


“Anak-anak saya masih kecil,” katanya. “Kalau kami pergi, kami dapat berbuat sesuatu untuk hidup kami.” [uh/ab]


Oleh: VOA Indonesia 

Kamis, 10 Februari 2022

Pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban Jadi 'Kemenangan Strategis' bagi Pakistan

Pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban Jadi 'Kemenangan Strategis' bagi Pakistan
Pasukan Taliban berlatih menembak di lokasi yang disembunyikan di Afghanistan, pada 14 Juli 2009. (Foto: Reuters/Stringer)


BorneoTribun.com - Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di Afghanistan tahun lalu dinilai oleh para pengamat sebagai sebuah kemenangan strategis untuk Pakistan setelah bertahun-tahun hubungan antara Islamabad dan pemerintah Kabul yang didukung oleh pihak Barat tidak berlangsung harmonis.


Banyak kalangan di Pakistan menyambut gembira kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, termasuk Perdana Menteri Imran Khan, yang mendeklarasikan bahwa warga Afghanistan telah mematahkan rantai perbudakan.


Beberapa warga Pakistan menganggap ini sebagai sebuah pukulan untuk musuh bebuyutan Pakistan, yakni India, yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah Afghanistan sebelumnya.


Beberapa minggu setelah Taliban mengambilalih Kabul, Pakistan meluncurkan sebuah usaha diplomatik dan mendesak masyarakat internasional agar berhubungan dengan Taliban, membantu meringankan krisis kemanusiaan di Afghanistan, serta mencegah negara itu terjerumus ke dalam kekacauan lagi.


Untuk pertama kalinya, Pakistan malah mengizinkan India untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Kabul lewat teritori Pakistan. Pada Desember lalu, para Meteri Luar Negeri dari 56 negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam, bersama Taliban, dan delegasi Amerika Serikat (AS) bertemu di Islamabad. Pertemuan itu difokuskan untuk menangani krisis kemanusiaan Afghanistan.


Meskipun sudah melakukan beberapa usaha seperti penyeruan bantuan terhadap Afghanistan, ketegangan kadang-kadang muncul antara Islamabad dan Kabul, sehingga mengagetkan banyak pihak di kawasan itu.


Para pendukung Taliban mebawa bendera khas Taliban
Para pendukung Taliban mebawa bendera khas Taliban berwarna putih di wilayah perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan di Kota Chaman, pada 14 Juli 2021. (Foto: AP/Tariq Achkzai)


Pakistan mengeluhkan ancaman teroris lintas perbatasan yang berasal dari Afghanistan yang muncul kembali sejak Taliban berkuasa.


Pecahan Taliban Afghanistan, yang dikenal sebagai Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP) atau Taliban Pakistan, telah meningkatkan serangan di dalam Pakistan dari pangkalan di seberang perbatasan, menewaskan puluhan pasukan keamanan dalam beberapa bulan terakhir ini.


Pada 6 Februari tembakan senjata berat dari sisi Afghanistan menyasar pos perbatasan di Pakistan barat laut, menewaskan lima tentara. TTP mengaku sebagai pelakunya.


“Keprihatinan utama Pakistan pada saat ini adalah terorisme yang berasal dari Afghanistan. Pakistan telah menjadi korban dalam beberapa tahun terakhir,” demikian kata Raoof Hasan, yang merupakan asisten khusus untuk Perdana Menteri Khan.


“Kami berinteraksi secara erat dengan penguasa Afghanistan untuk merumuskan sebuah pendekatan terkoordinir dan efektif. Kami tidak bisa menjadi korban sandera dari kekuatan teroris ini,” demikian kata Hasan kepada VOA.


Pejabat keamanan Pakistan mengatakan, menyusul penarikan pasukan AS dan sekutu dari Afghanistan, pemberontak TTP tampaknya punya kebebasan operasi yang lebih besar di negara itu.


Serangan pesawat nirawak AS dan operasi militer Afghanistan di masa lalu telah menewaskan puluhan militan TTP selama bertahun-tahun. Awal bulan ini, PBB menaksir terdapat sekitar 3.000 hingga 5.000 anggota Taliban Pakistan di Afghanistan. [jm/my]


Oleh: VOA Indonesia

Jumat, 17 September 2021

Pejabat Taliban: Perempuan Tetap Diizinkan Bersekolah

Pejabat Taliban: Perempuan Tetap Diizinkan Bersekolah
Pejabat Taliban: Perempuan Tetap Diizinkan Bersekolah. 

BorneoTribun Internasional -- Kehidupan kembali normal di Helmand, provinsi di bagian selatan Afghanistan, dengan kantor-kantor pemerintah terus melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Helmand, salah satu medan pertempuran tersengit antara Taliban dan pasukan internasional, direbut Taliban pada 13 Agustus.  

Sejak itu, ada gubernur baru yang ditunjuk untuk provinsi tersebut. Abdul Ahad, yang pernah berjuang melawan bekas pasukan pemerintah, kini duduk di belakang meja memimpin provinsi di mana ia tinggal dalam persembunyian selama bertahun-tahun sambil berjuang melawan pasukan Amerika, Inggris dan sekutu-sekutu mereka. 

Ahad mengatakan “semua departemen pemerintah” tetap berfungsi sejak Taliban merebut daerah itu dan semua departemen terus memberikan layanan mereka. 

Taliban juga telah menyatakan kaum perempuan akan dapat melanjutkan pendidikan mereka dan bekerja di luar rumah, hak-hak yang tidak diberikan kepada perempuan sewaktu kelompok militan itu berkuasa sebelumnya. 

Mereka juga telah bertekad akan memberlakukan syariah Islam, tanpa memberikan rinciannya. 

Ahad mengatakan di provinsi itu, anak-anak perempuan dapat bersekolah dengan persyaratan tertentu, tetapi ia tidak dapat menerima sistem pendidikan yang sekarang ini yang “dibentuk oleh orang-orang asing.” 

Sewaktu Taliban terakhir kali berkuasa pada akhir 1990-an, Afghanistan adalah negara pertanian yang miskin, dan Taliban sibuk memaksakan ajaran Islam mereka yang keras pada rakyat yang sangat tradisional dan kebanyakan patuh. 

Kali ini, mereka menghadapi masyarakat yang lebih maju dengan kelas menengah yang kecil dan berpendidikan, tetapi juga ekonomi yang telah hancur karena perang dan korupsi. [uh/ab]

VOA

Jumat, 10 September 2021

PBB Bertemu Taliban untuk Pastikan Bantuan Tetap Mengalir ke Afghanistan

PBB Bertemu Taliban untuk Pastikan Bantuan Tetap Mengalir ke Afghanistan. 

BorneoTribun Internasional -- Kepala Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa Martin Griffiths mengumumkan bahwa minggu ini ia akan bertemu dengan para pemimpin senior Taliban di Afghanistan untuk berdiskusi beberapa hal, termasuk diantaranya adalah mengenai kebutuhan pekerja bantuan dan soal jaminan bantuan masuk ke negara tersebut. 

“Saya menyampaikan kepada Taliban dengan sangat jelas apa yang dibutuhkan oleh badan-badan kemanusiaan di seluruh dunia di setiap negara untuk beroperasi di mana pun di dunia,” kata Martin Griffiths kepada para wartawan dalam jumpa pers via video Selasa (7/9) dari Doha, Qatar. 

Jaminan yang dimintanya itu termasuk keselamatan dan keamanan bagi staf pria dan wanita yang bekerja bagi organisasi-organisasi kemanusiaan nasional dan internasional; akses tanpa hambatan ke orang-orang yang membutuhkan; kemampuan untuk mempekerjakan siapa saja yang mereka inginkan; dan agar fasilitas mereka tidak ditempati atau digunakan untuk tujuan militer.  

Sekitar 18 juta warga Afghanistan membutuhkan makanan, air bersih, perawatan kesehatan dan bantuan mendesak lainnya, mengingat musim dingin akan segera tiba. 

Pada hari Senin (13/9) depan, PBB akan mengadakan konferensi donor di Jenewa untuk menggalang total $606 juta untuk mendanai operasi kemanusiaan di Afghanistan hingga bulan Desember. 

Pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa “bencana kemanusiaan membayangi” di negara yang terletak di wilayah Asia Selatan tersebut. 

PBB juga ingin agar Taliban menghormati komitmennya secara konsisten di seluruh negeri. 

Organisasi kemanusiaan yang beroperasi di berbagai bagian Afghanistan telah melaporkan pengalaman yang berbeda dengan otoritas Taliban setempat. 

Sebagian, misalnya, telah membatasi pergerakan perempuan dan anak perempuan, sementara di beberapa daerah lain tidak.

PBB biasanya menggunakan jasa penerbangan dari bandara untuk upaya kemanusiaan, memindahkan pasokan dan pekerjanya. Griffiths mengatakan penerbangan itu akan dilanjutkan “dalam beberapa hari.” [lt/em/rs]

VOA

Sabtu, 04 September 2021

Pesawat Inggris Terakhir yang Angkut Militer, Tinggalkan Kabul

Pesawat Inggris Terakhir yang Angkut Militer, Tinggalkan Kabul
Pesawat Inggris Terakhir yang Angkut Militer, Tinggalkan Kabul. 

BorneoTribun Internasional - Inggris pada Sabtu (28/8) menerbangkan pasukan militer terakhirnya dari Afghanistan, menuntaskan proses penarikan pasukannya dari negara itu.

Kementerian Pertahanan mencuit bahwa "penerbangan terakhir mengangkut personel Angkatan Bersenjata Inggris, telah meninggalkan Kabul." Akun itu mengunggah foto-foto para tentara memasuki pesawat.

Kementerian itu menulis, "Kepada semua yang telah mengabdi dengan sangat berani di bawah tekanan besar dan kondisi berbahaya untuk mengevakuasi warga sipil yang paling rentan: Terima kasih."

Sebelumnya pada hari yang sama, Inggris melepas sebuah pesawat terakhir yang hanya mengangkut warga sipil.

Perdana Menteri Boris Johnson berterima kasih kepada semua pihak yang berada di balik operasi penyelamatan. Dia mengatakan mereka telah membantu lebih dari 15 ribu orang dalam kurang dari dua minggu.

"Saya ingin berterima kasih kepada semua yang terlibat dan kepada ribuan dari mereka yang telah mengabdi dalam dua dekade terakhir. Kalian harus bangga dengan pencapaian kalian," kata Johnson dalam pesan yang diunggah ke media sosial.

Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan pasukan Inggris telah "membantu ribuan orang untuk mendapatkan masa depan dan keamanan yang lebih baik." [vm/ft]

VOA

Senin, 23 Agustus 2021

Harga Naik, Bank Tutup Menambah Penderitaan bagi Warga Kabul

Harga Naik, Bank Tutup Menambah Penderitaan bagi Warga Kabul
Harga Naik, Bank Tutup Menambah Penderitaan bagi Warga Kabul. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Seminggu setelah Taliban merebut Kabul, semakin banyak warga di ibu kota Afghanistan menghadapi kesulitan sehari-hari. 

Mereka kehilangan pekerjaan, bank-bank masih tutup dan harga makanan melambung. 

Ribuan orang memadati pintu-pintu masuk bandara dan berebut agar bisa naik pesawat keluar Kabul. 

Keadaan itu menggambarkan situasi yang memburuk di kota itu sejak pemerintah yang didukung Barat terguling.

Seiring berjalannya waktu, kekhawatiran mengenai makanan dan pendapatan semakin menambah ketidakpastian di negara yang ekonominya hancur karena tidak adanya bantuan internasional. 

"Saya tidak tahu harus memikirkan apa dulu, keamanan saya atau memberi makan anak-anak dan keluarga saya," kata seorang mantan polisi yang kini bersembunyi. 

Dia kehilangan upah senilai Rp3,7 juta sebulan yang diandalkan untuk menghidupi isteri dan empat anaknya. 

Sebelum Taliban memasuki kota itu sekalipun hari Minggu (15/8), kondisi semakin memburuk. 

Kemajuan pemberontak itu di berbagai kota menyebabkan nilai mata uang afghani melemah terhadap dolar AS, dan menyebabkan harga bahan pokok melambung. [vm/jm]

VOA

Minggu, 22 Agustus 2021

Kedutaan AS Imbau Warga AS Agar Tidak Mendatangi Bandara Kabul

Kedutaan AS Imbau Warga AS Agar Tidak Mendatangi Bandara Kabul
Kedutaan AS Imbau Warga AS Agar Tidak Mendatangi Bandara Kabul. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Kedutaan Besar Amerika Seritkat (AS) di Ibu Kota Afghanistan, Kabul, mengeluarkan peringatan keamanan pada Sabtu (21/8) mengimbau warga AS untuk tidak datang ke bandara tanpa "instruksi tertentu dari seorang perwakilan pemerintah AS." 

Peringatan itu juga menyebut kemungkinan adanya ancaman keamanan oleh ISIS di luar gerbang bandara. 

Kedutaan Jerman mengeluarkan peringatan serupa, mengatakan pasukan Taliban melakukan kontrol yang semakin ketat di area itu. Seorang pejabat AS mengatakan, Sabtu (21/8), seperti dikutip oleh Associated Press bahwa berbagai ancaman keamanan telah memicu militer AS untuk mencari cara-cara untuk membawa warga yang akan dievakuasi menuju bandara. 

Salah satu solusinya, kata sumber itu, adalah melibatkan kelompok-kelompok kecil berkumpul di titik-titik tertentu dimana militer AS akan menjemput mereka. 

Para pejabat AS yang berbicara dengan syarat identitasnya dirahasiakan menolak merincikan tentang ancaman ISIS itu, tapi mengatakan ancaman itu signifikan, meski belum ada konfirmasi terjadinya serangan. 

AS juga terus berkomunikasi dengan komandan Taliban setempat untuk mengizinkan orang-orang melalui pos pemeriksaan mereka. 

Militer AS mengevakuasi sekitar 3.000 orang dari Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul dalam 24 jam belakangan, kata Gedung Putih pada Sabtu (21/8), dan 17.000 sejak 14 Agustus, sebelum Taliban memasuki Kabul. 

Gedung Putih mengatakan sekitar 22.000 orang telah dievakuasi sejak akhir Juli. [vm/ft]

VOA

Taliban Bahas Pembentukan Pemerintahan "Islami yang Inklusif"

Taliban Bahas Pembentukan Pemerintahan "Islami yang Inklusif"
Taliban Bahas Pembentukan Pemerintahan "Islami yang Inklusif".

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Seminggu setelah merebut kekuasaan di Afghanistan, para pemimpin pemberontak Taliban masih melakukan perundingan internal dan pertemuan dengan para mantan saingan untuk membentuk "pemerintahan Islami yang inklusif" seperti yang telah mereka janjikan. 

Para pejabat Taliban di Kabul, mengatakan pada Sabtu (21/8) bahwa kerangka kerja pembentukan pemerintahan baru itu akan diumumkan segera.

Mohamad Naeem, juru bicara politik Taliban mengatakan bahwa para pemimpin Taliban senior mengadakan pertemuan baru pada Sabtu (21/8) dengan para tokoh terkemuka di Obu Kota Afghanistan untuk bertukar pendapat mengenai sistem pemerintahan di masa depan.

Dia mengutip seorang pemimpin senior, Shahabuddin Dilawar, yang mengatakan Taliban menginginkan "sistem pusat kuat yang menghormati supremasi hukum, bebas dari korupsi dan setiap warga berpeluang untuk mengabdi kepada negara dan bangsa." 

Taliban membuka dialog politik setelah mengeluarkan amnesti bagi semua yang pernah mengabdi atau menjadi bagian dari bekas pemerintahan Afghanistan. [vm/ft]

VOA

Sabtu, 21 Agustus 2021

Juara Karate Afghanistan Resah Karier Atlet Perempuan Tamat

Juara Karate Afghanistan Resah Karier Atlet Perempuan Tamat
Juara Karate Afghanistan Resah Karier Atlet Perempuan Tamat. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Juara karate Afghanistan, Meena Asadi,  khawatir karier atlet perempuan yang masih di Tanah Airnya akan tamat menyusul kembali berkuasanya Taliban.

Meena meninggalkan Afghanistan ketika dia berusia 12 tahun dan pergi ke Pakistan. 

Saat itu ia mulai ikut berlatih dan kemudian mewakili Afghanistan di South Asian Games 2010. 

Dia kembali ke Kabul tahun berikutnya dan membuka klub olahraga. 

Namun ia terpaksa melarikan diri untuk kedua kalinya karena kekerasan yang terjadi. 

Pelariannya bersama suami berakhir di Indonesia dan kini mereka memiliki seorang anak perempuan berusia 1 tahun.

"Saya merasa sengsara. Saya kehilangan harapan dan orang-orang di negara saya juga kehilangan harapan mereka," kata Meena kepada Reuters di sebuah studio di Cisarua, di mana dia mengajar karate kepada para pengungsi.

Ketika Taliban memerintah Afghanistan dari 1996 hingga 2001, interpretasi ketat mereka terhadap hukum Islam terkadang diimplementasikan secara brutal.

Mereka menetapkan bahwa perempuan tidak boleh bekerja dan anak perempuan tidak dapat bersekolah. 

Perempuan harus menutupi wajah mereka dan ditemani oleh kerabat laki-laki saat keluar dari rumah mereka. 

Dengan kembalinya Taliban di Kabul, Meena takut akan apa artinya itu bagi kemajuan yang dibuat oleh rekan-rekan senegaranya. 

Pekan ini, mimpi atlet taekwondo Zakia Khudadadi menjadi atlet perempuan pertama Afghanistan di Paralympic Games, hancur karena kekacauan di Kabul. 

"Semuanya selesai untuk atlet perempuan," kata Meena, yang merupakan satu-satunya atlet perempuan yang mewakili Afghanistan di Kejuaraan Karate Asia Selatan 2012, di mana dia memenangkan dua medali perak. 

Para pemimpin Taliban telah mencoba meyakinkan warga Afghanistan dan komunitas internasional bahwa anak perempuan dan perempuan akan memiliki hak atas pendidikan dan pekerjaan, tetapi Meena dan yang lainnya skeptis. [ah] 

VOA

Kamis, 19 Agustus 2021

Bahas Afghanistan, Merkel Telepon Biden

Bahas Afghanistan, Merkel Telepon Biden
Bahas Afghanistan, Merkel Telepon Biden. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Kantor Kanselir Jerman, Rabu (18/8), mengatakan Kanselir Angela Merkel berbicara melalui telpon dengan Presiden Joe Biden tentang situasi di Afghanistan. 

Dalam pembicaraan telpon itu, Merkel menekankan pentingnya mengevakuasi sebanyak mungkin warga Afghanistan yang mendukung upaya militer dan masyarakat madani Jerman selama ini. 

Kedua pemimpin “setuju untuk menerbangkan sebanyak mungkin orang yang membutuhkan perlindungan,” tambah kantor Merkel. 

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan sejak hari Minggu lalu (15/8) Jerman telah menerbangkan lebih dari 500 orang keluar dari Afghanistan, termasuk 200 warga Afghanistan, dan “kami akan terus melanjutkan hal itu dalam jumlah yang sama selama beberapa hari mendatang.” 

Maas mengatakan ada asumsi bahwa jangka waktu untuk penerbangan evakuasi itu akan terbatas, “tetapi semua yang berada di lapangan dalam posisi siaga, khususnya Amerika, yang berupaya menggunakan waktu ini sebaik mungkin.” 

Ditambahkannya, menurut informasi yang diperolehnya, saat ini ada ratusan – atau mungkin ribuan orang – yang berkumpul di luar gerbang bandara, dan terjadi aksi kekerasan sporadis. 

Maas mengatakan Jerman juga berusaha membawa pasokan makanan ke Kabul bagi mereka yang menunggu proses evakuasi, dan memiliki sebuah pesawat Medevac di kawasan itu. 

Menteri Pertahanan Annegret Kram-Karrenbauer mengatakan Jerman akan “melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk mengevakuasi sebanyak mungkin staf lokal dari Kabul.” [em/jm]

VOA

Diplomat Tuduh Presiden Afghanistan Curi $169 Juta Kas Negara

Diplomat Tuduh Presiden Afghanistan Curi $169 Juta Kas Negara
Diplomat Tuduh Presiden Afghanistan Curi $169 Juta Kas Negara. 

BORNEOTRIBUN JAKARTA -- Duta Besar Afghanistan untuk Tajikistan Mohammad Zahir Aghbar hari Rabu (18/8) menuduh Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mencuri uang negara sebanyak $169 juta dan menyerukan agar polisi internasional menangkapnya. 

Ghani keluar dari Afghanistan pada Minggu (15/8) ketika Taliban mendekati Kabul, dan keberadaannya tidak diketahui hingga Rabu (18/8) ketika Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan telah menerima Ghani dan keluarganya “atas pertimbangan kemanusiaan.” 

Kantor berita Associated Press melaporkan dalam konferensi pers, Rabu (18/8), Mohammad Zahir Aghbar mengatakan Ghani “mencuri $169 juta dari kas negara,” dan menyebut pelariannya sebagai “pengkhianatan terhadap negara dan bangsa.”

Aghbar tidak merinci atau menjelaskan klaimnya lebih lanjut. 

Namun berjanji akan mengajukan permintaan ke Interpol untuk menangkap Ghani. 

Direktur Biro Pusat Interpol di Tajikistan Shahriyor Nazriev mengatakan kepada kantor berita Rusia RIA Novosti bahwa mereka belum menerima permintaan semacam itu. [em/jm]

VOA

Sabtu, 10 Juli 2021

China Evakuasi Warganya dari Afghanistan

China Evakuasi Warganya dari Afghanistan
China Evakuasi Warganya dari Afghanistan.

BORNEOTRIBUN -- China telah mengirim pesawat untuk membawa pulang 210 warganya dari Afghanistan, kata media pemerintah, Jumat (9/7).

Keputusan China ini diambil setelah militer AS bersiap untuk meninggalkan Afghanistan dan situasi keamanan semakin mencekam di negara itu.

Surat kabar Global Times yang diterbitkan oleh Partai Komunis yang berkuasa mengatakan pesawat Xiamen Airlines berangkat pada tanggal 2 Juli dari ibu kota Kabul dan mendarat di pPovinsi Hubei, China, pada hari yang sama.

Maskapai itu mengonfirmasi laporan tersebut dalam sebuah posting di akun Weibo --  semacam  Twitter -- tetapi tidak memberikan rincian tambahan.

Global Times dan sejumlah media lain melaporkan, 22 dari mereka yang berada di dalam pesawat itu  dinyatakan positif COVID-19, meskipun angka-angka itu tidak muncul dalam laporan harian Komisi Kesehatan Nasional tentang kasus-kasus baru.

Pasukan AS dijadwalkan meninggalkan Afghanistan pada 31 Agustus setelah hampir 20 tahun memerangi Taliban. 

Perusahaan-perusahaan China telah berinvestasi di pertambangan dan infrastruktur Afghanistan, tetapi aset-aset itu tampaknya semakin terancam karena Taliban merebut sejumlah besar wilayah, yang mungkin menempatkan Kabul dalam bahaya. [ab/uh]

VOA

Iran Jadi Tuan Rumah Pembicaraan Afghanistan-Taliban

Iran Jadi Tuan Rumah Pembicaraan Afghanistan-Taliban
Pasukan Afghan berjaga di sebuah pos saat berpatroli untuk menghadapi militan Taliban di wilayah Tange Farkhar, Provinsi Takhar, Selasa, 6 Juli 2021. (Foto: Naseer Sadeq/AFP)

BORNEOTRIBUN - Wakil-wakil Afghanistan dan Taliban, Kamis (8/7), melangsungkan pembicaraan tentang kemajuan menuju perdamaian, dan berjanji akan melanjutkan pembicaraan setelah dialog selama dua hari di Teheran.

Pembicaraan itu berlangsung antara delegasi senior Taliban dan wakil dari pemerintahan di Kabul. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menyebut pembicaraan itu sebagai hal yang “substantif.” 

Ia mencuit “ketika pasukan asing meninggalkan Afghanistan, tidak ada hambatan lagi untuk rakyat Afghanistan dari semua aliran politik untuk mementaskan sebuah masa depan yang damai dan makmur untuk generasi berikutnya.” 

Dalam sebuah pernyataan bersama yang terdiri dari enam poin penting dan disampaikan oleh juru bicara Taliban Mohammad Naeem, kedua pihak sepakat bahwa melanjutkan perang merupakan hal berbahaya untuk negara itu, dan bahwa semua upaya harus dilakukan untuk mencari solusi damai.

Mereka juga mengecam serangan terhadap tempat tinggal penduduk sipil, sekolah, masjid, dan rumah sakit, serta “penghancuran fasilitas publik.”

Mereka sepakat menuntut pelakunya dihukum. Kedua pihak juga mengumumkan mereka akan menyelenggarakan pertemuan berikutnya untuk membahas isu-isu lain, seperti “membentuk mekanisme bagi transisi dari perang ke perdamaian abadi, atau sistem Islamis yang disetujui dan bagaimana pencapaiannya.”

Waktu dan tempat bagi pertemuan berikutnya tidak diumumkan. Kementerian Luar Negeri Afghanistan menyambut gembira pertemuan ini dan mengatakan, pihaknya berharap hal ini akan “mengarah pada berakhirnya kekerasan dan awal berlangsungnya perundingan serius guna memastikan perdamaian yang langgeng di seluruh negara.” 

Delegasi Tabilan dipimpin oleh Sher Mohammad Abbas Stanekzai, deputi pemimpin dari tim perunding Taliban yang berbasis di Doha, Qatar.

Delegasi Afghanistan dipimpin oleh mantan wakil presiden Yunus Qanuni dan beberapa orang dekat Presiden Ashraf Ghani, mantan presiden Hamad Karzai, Marsekal Abdul Rashid Dostum, dan lain-lain.

Michael O’Hanlon dari Brookings Institution di Washington mengatakan, Iran sebagai negara tetangga, ingin menciptakan “stabilitas pada tingkat tertentu” di Afghanistan, khususnya kalau kekacauan mengakibatkan jutaan pengungsi menyebrang ke perbatasannya. 

Namun, ia ragu pembicaraan ini akan berhasil. “Saya tidak melihat Taliban berniat untuk berunding, terlepas dari dimana pembicaraan ini diselenggarakan, terlepas dari siapa yang menjadi tuan rumah,” katanya. 

Ditambahkannya, Taliban kecil kemungkinan akan membuat persetujuan pembagian kekuatan pada sebuah momen dimana mereka akan menang di medan pertempuran.

“Saya rasa Taliban ingin dilihat seakan-akan mereka memberi perdamaian sebuah peluang, tetapi mereka sesungguhnya akan lebih mengandalkan perang,” katanya. [jm/em]

VOA

Kamis, 01 Juli 2021

Jerman Selesaikan Penarikan Pasukan dari Afghanistan

Jerman Selesaikan Penarikan Pasukan dari Afghanistan
Foto: Beberapa tentara Jerman yang bertugas sebagai bagian dari pasukan NATO di Afghanistan (foto: dok).

BORNEOTRIBUN.COM - Jerman telah menarik pasukan terakhir yang ada di Afghanistan, mengakhiri penempatan pasukan bersama Amerika dan koalisi selama dua puluh tahun di wilayah yang dikoyak perang itu.

Militer Amerika dan NATO berencana menarik sepenuhnya pasukan militer mereka dari negara itu selambat - lambatnya pada 11 September, sesuai perintah Presiden Joe Biden. Proses penarikan secara resmi sudah dimulai pada 1 Mei lalu.

Jerman mengumumkan penarikan pasukannya secara diam-diam tidak lama setelah 250 tentara Jerman terakhir diterbangkan Selasa malam (29/6) dari pangkalan mereka di bagian utara Afghanistan.

“Setelah penempatan selama hampir 20 tahun, tentara terakhir Bundeswehr telah meninggalkan Afghanistan malam ini,” ujar Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer dalam sebuah pernyataan yang dicuitnya. 

“Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Babak bersejarah akan segera berakhir, penempatan pasukan secara intensif yang menantang dan membentuk Bundeswehr dan membuktikan dirinya dalam pertempuran,” tambahnya.  

Kramp-Karrenbauer menyampaikan terimakasih pada 150.000 personil laki-laki dan perempuan yang telah menjadi bagian dari misi di Afghanistan itu sejak tahun 2001, dengan mengatakan mereka berhak bangga atas pencapaian itu. 

Menurut pihak angkatan bersenjata, Jerman kehilangan 59 tentara, 39 di antaranya dalam pertempuran atau serangan pemberontak. Jerman masih memiliki sekitar 1.100 tentara di Afghanistan. 

Mereka merupakan bagian dari pasukan non-kombatan dalam misi militer pimpinan NATO yang bertugas untuk melatih, memberi nasehat dan membantu tentara Afghanistan melawan kelompok pemberontak Taliban. 

NATO Tetap Dukung Afghanistan Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Afghanistan Rahmatullah Andar mengatakan meskipun negara-negara NATO mengurangi misi militer mereka, tidak berarti hubungan bilateral antar negara juga berakhir. 

“Afghanistan mempertahankan hubungan dekat dan kerjasama dengan Jerman. Mereka telah melakuka pelatihan ekstensif pada pasukan polisi kami dan kerjasama itu akan terus berlanjut,” ujar Rahmatullah dalam sebuah pernyataan video. 

Perwakilan sipil senior NATO di Afghanistan Stefano Pontecorvo meyakinkan warga Afghanistan tentang kelanjutan keterlibatan aliansi saat mengakhiri penarikan pasukan militer. “Ini bukan akhir dari kemitraan kita. Bersama-sama, kita memasuki tahap baru dalam hubungan kita,” ujar Pontecorvo dalam pesan video yang dirilisnya. 

“Militer (pasukan NATO) mungkin meninggalkan Afghanistan tetapi kantor urusan sipil dan bahkan saya sendiri masih akan berada di sini dan kami bertekad mendukung pasukan keamanan Afghanistan lewat bantuan finansial dan pelatihan,” tambahnya. 

Pertempuran berkecamuk di seluruh Afghanistan sejak pasukan internasional pimpinan Amerika mulai meninggalkan negara itu. 

Taliban mengklaim dua bulan terakhir ini telah merebut kembali lebih 100 dari 419 distrik di Afghanistan. 

Lebih 241.000 Orang Tewas dalam Perang di Afghanistan Proyek “Cost of War” di Universitas Brown pada April lalu memperkirakan perang selama 20 tahun di Afghanistan telah menewaskan 241.000 orang, termasuk lebih dari 2.400 tentara Amerika.

Hingga saat ini perang tersebut telah menelan anggaran 2,26 triliun dolar. [em/jm]

Oleh: VOA

Minggu, 20 Juni 2021

Menhan AS Ingatkan Potensi Kebangkitan Al-Qaida dan ISIS di Afghanistan

Menhan AS Ingatkan Potensi Kebangkitan Al-Qaida dan ISIS di Afghanistan
Para militan ISIS yang menyerahkan diri kepada pemerintah Afghanistan hadir di hadapan media di Jalalabad, Provinsi Nangarhar, Afghanistan, 17 November 2019. (Foto: Reuters)

BorneoTribun Internasional - Pejabat tinggi Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) memberi peringatan yang serius tentang bahaya kelompok teroris terhadap AS, kalau pasukan AS dan koalisi sudah meninggalkan negara itu dalam bulan-bulan mendatang.

Menteri Pertahanan Lloyd Austin, Kamis (17/6), mengatakan kepada anggota Kongres, diperkirakan dibutuhkan waktu “mungkin dua tahun” bagi kelompok seperti Al-Qaida atau ISIS untuk menyusun kekuatan dan kapabilitas merencanakan serangan terhadap AS dan sekutu Barat.

Perwira militer tertinggi Amerika yang juga Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley lebih jauh memperingatkan potensi kebangkitan organisasi-organisasi teroris ini bisa lebih cepat lagi, tergantung pada nasib pemerintahan Afghanistan yang sekarang.

“Kalau pemerintah ambruk atau pembubaran dari pasukan keamanan Afghanistan, risiko itu sudah tentu semakin besar,” kata Milley.

Presiden Joe Biden pada April lalu mengumumkan keputusan untuk menarik semua sisa pasukan dari Afghanistan, di mana ia mengatakan AS telah mencapai sasarannya, yakni menuntut pertanggungjawaban Al Qaida dan pemimpinnya Osama bin Laden atas serangan mematikan pada 11 September 2001 terhadap Gedung WTC di New York dan Pentagon. [jm/em]

Oleh: VOA

Rabu, 16 Juni 2021

Turki Minta Dukungan AS untuk Peran Baru di Afghanistan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden AS Joe Biden berbincang-bincang sebelum sidang paripurna NATO di markas NATO, di Brussels, Senin, 14 Juni 2021. (Foto: Olivier Matthys/Pool/AFP)

BORNEOTRIBUN.COM - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Senin (14/6), mengatakan negaranya membutuhkan “bantuan diplomatik, logistik, dan finansial” dari Amerika Serikat (AS) jika diberi peran untuk menempatkan pasukan di Afghanistan. Penempatan pasukan itu guna melindungi dan mengoperasikan bandara internasional Kabul, menyusul penarikan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantik Treaty Organization/NATO) dari negara itu.

Berbicara pada wartawan pada akhir dari serangkaian pertemuan dengan para pemimpin NATO di sela-sela konferensi tingkat tinggi (KTT), Senin (14/6), Erdogan mengatakan Turki berusaha untuk melibatkan Pakistan dan Hongaria dalam misi baru di Afghanistan pasca penarikan mundur pasukan NATO pimpinan Amerika.

Turki dilaporkan menawarkan untuk melakukan pengamanan bandara Kabul, meskipun masih ada pertanyaan soal bagaimana menjamin keamanan di sepanjang rute transportasi utama dan di bandara, yang merupakan rute utama ke Kabul.

Turki saat ini memiliki 500 tentara di Afghanistan.

Erdogan mengatakan, dia telah mengadakan pertemuan yang konstruktif dengan Presiden Biden dan telah mengundang Biden untuk berkunjung ke Turki.

Kedua pemimpin itu sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Namun, pertemuan ini merupakan pertemuan tatap muka pertama sebagai kepala negara, dan berlangsung di tengah-tengah masa sulit dalam hubungan di antara kedua sekutu NATO itu.

Turki marah karena AS mendukung pejuang Kurdi di Suriah. Sementara Amerika telah menjatuhkan sanksi terhadap Turki karena membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia.

Biden pada April lalu juga menimbulkan kegusaran Ankara karena menyebut pembunuhan masal dan deportasi orang Armenia pada masa kerajaan Ottoman sebagai “genosida.”

Turki membantah bahwa deportasi dan pembantaian warga Armenia yang dimulai pada 1915 dan menewaskan sekitar 1,5 juta itu merupakan genosida. Namun, Erdogan mengatakan, isu Armenia tidak dibahas selama pertemuan itu. [jm/em]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan

Pendidikan

Kalbar

Tekno