Berwisata pustaka sarana membangun manusia bermakna | Borneotribun.com

Minggu, 15 September 2024

Berwisata pustaka sarana membangun manusia bermakna

Berwisata pustaka sarana membangun manusia bermakna
Berwisata pustaka sarana membangun manusia bermakna. (ANTARA)
JAKARTA - Ke mana saja Anda selama ini bertamasya? Pergi ke taman hiburan, menonton konser, atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan? Adakah perpustakaan terselip menjadi salah satu destinasi wisata Anda? Jika belum, mulailah memasukkan perpustakaan dalam daftar kunjungan sebagai agenda wisata pustaka yang akan mengantarkan Anda selangkah lebih mudah menjadi manusia makin bermakna.

September telah dinobatkan sebagai bulan Gemar Membaca dan 14 September ditetapkan menjadi Hari Kunjung Perpustakaan (HKP) berdasarkan ketetapan Presiden Soeharto kepada Kepala Perpustakaan Nasional RI dengan Surat Nomor 020/A1/VIII/1995 tertanggal 11 Agustus 1995.

Dua hal yang setidaknya membuktikan betapa pemerintah memiliki obsesi tinggi dalam membangun SDM unggul berliterasi mumpuni.

Meski pertumbuhan minat masyarakat terhadap kegiatan rekreasi ilmiah di perpustakaan terbilang amat lambat, kondisi tersebut tak menyurutkan pembangunan infrastruktur fasilitas baca. Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum, perpustakaan daerah, perpustakaan kampus/sekolah, hingga komunitas dan beragam tempat baca yang dibangun sedemikian rupa hadir di mana-mana demi menjangkau para pemustaka.

Perpustakaan Nasional di Jakarta kini menjelma megah dengan 27 lantai setinggi 126,3 meter, menjadikannya perpustakaan tertinggi di dunia. Bangunan seluas 50.917 m2 yang menjadi pusat koleksi buku, dengan berbagai fasilitas seperti area budaya baca, pusat data, ruang teater, layanan audiovisual, serta menjadi lokasi kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sementara perpustakaan daerah telah banyak berbenah, tak hanya berupa gedung dan fasilitas pendukung, tetapi juga paradigma baru dalam menjemput pembaca dengan perpustakaan keliling. Armada yang digunakannya pun beragam menyesuaikan kondisi lapangan dan anggaran. Ada yang berupa mobil, sepeda motor, becak, hingga perahu. Singkatnya, segala upaya dilakukan para pengelola perpustakaan untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat tersentuh oleh buku.

Anggota masyarakat lain yang memiliki rezeki berlebih seolah tak mau kalah. Mereka berlomba membangun wahana pustaka dalam bermacam rupa yang membuat para pembaca betah berlama-lama. Ada ruang baca yang diselipkan dalam konsep kafe, perpustakaan yang terintegrasi dengan bengkel seni, bahkan benar-benar perpustakaan yang didirikan perseorangan dengan ruangan yang nyaman dan bangunan menawan.

“Omah Library” di Kota Tangerang dan “Baca Di Tebet” di Jakarta Selatan adalah contoh perpustakaan swasta yang membanggakan karena keikutsertaan masyarakat dalam mencerdaskan bangsa. Adapun perpustakaan daerah yang cukup menonjol karena keunikan bangunan dan kemegahannya, tersebut Grhatama Pustaka milik Pemda Yogyakarta dan Soeman HS punya Pemprov Riau. Goethe Institut dan Erasmus Huis di Jakarta, dapat juga dicatat dalam daftar perpustakaan unik milik lembaga, yakni Pusat Kebudayaan Jerman dan Belanda yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia.

Di luar itu semua, tentu masih banyak perpustakaan-perpustakaan dengan berbagai daya tarik yang sengaja diciptakan untuk menebar pesona sebagai wisata pustaka. Tanpa kemasan berunsur wisata dan hiasan estetika, perpustakaan bisa makin ditinggalkan oleh masyarakat yang memang rendah minat baca atau telah migrasi ke perpustakaan virtual di jagat internet.

Internet dengan mesin pencari yang makin canggih, karena ditenagai kecerdasan artifisial, layaknya perpustakaan raksasa di dunia maya. Meski demikian, perpustakaan fisik tetaplah relevan mengingat berbagai kelebihan yang ditawarkan.

Tetap relevan

Keberadaan perpustakaan tidak akan tergusur oleh pesatnya perkembangan teknologi, apalagi bila teknologi diadopsi untuk melengkapi fasilitas rumah buku itu hingga memenuhi kebutuhan dan selera kekinian.

Perpustakaan tetap menjadi pusat pengetahuan yang relevan di tengah banjir informasi yang kerapkali tidak terverifikasi karena begitu mudahnya diakses melalui internet. Perpustakaan yang menyediakan sumber-sumber terkurasi tentu saja lebih dapat dijadikan acuan dibanding informasi liar yang bertebaran di media sosial atau portal abal-abal.

Perpustakaan juga memiliki koleksi buku-buku langka, jurnal akademik, atau arsip penting yang biasanya tidak tersedia secara daring.

Bila masih membutuhkan alasan untuk berkunjung ke perpustakaan, beberapa manfaat berikut perlu Anda pertimbangkan.

- Interaksi sosial. Berkunjung ke perpustakaan akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, minimal: suka membaca, berpikiran terbuka, haus pengetahuan, berwawasan, bersedia diajak diskusi. Dari sana terbentuklah sebuah komunitas.

- Rekreasi ilmiah. Perpustakaan masa kini bukan hanya terdiri atas rak, buku-buku dan meja kursi, melainkan sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas ruang kreasi dan inovasi berteknologi, sehingga para pemustaka berkesempatan eksplorasi hobi yang menaikkan kualitas intelegensi.

- Suasana bersama. Belajar atau membaca sendirian mungkin lebih khusuk, tetapi membaca dengan banyak teman di ruang perpustakaan akan memperoleh suasana yang lebih mendukung. Serupa dengan orang makan di restoran yang ramai pelanggan, biasanya lebih lahap ketimbang makan sendirian. Membaca sendirian bersifat searah, sedangkan membaca bersama bisa saling bertanya dan bertukar pikiran sehingga memperoleh banyak perspektif.

- Fasilitas. Bagi masyarakat yang belum memiliki perangkat komputer dan jaringan internet di rumahnya, berkunjung ke perpustakaan adalah ide yang bagus. Pelajar atau mahasiswa dapat mengerjakan tugas dengan fasilitas komputer dan koneksi wifi secara cuma-cuma.

Manusia bermakna

Kualitas manusia salah satunya diukur dari isi kepalanya. Nutrisi otak dapat diperoleh dengan membaca yang membuat seseorang kaya sudut pandang dan mampu membangun konstruksi berpikir yang baik sehingga menjadi individu berperadaban unggul.

Banyaknya konflik sosial dan kegaduhan di media sosial merupakan ciri dari perilaku masyarakat rendah literasi, di mana produksi kata-kata lebih berlimpah dari pada pasokan pengetahuan yang dimiliki dan kemarahan lebih cepat tersulut ketimbang kemampuan berpikir.

Terdapat sejumlah adagium yang mengolok-olok otak yang kurang berisi seperti: “Air beriak tanda tak dalam” atau “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah berujar bahwa di negara-negara maju setiap persoalan bangsa yang muncul akan dibahas untuk diidentifikasi lalu dicarikan solusi bersama. Namun di beberapa negara, persoalan dijadikan komoditas isu politik yang menimbulkan kepanikan dan menyulut kemarahan masyarakat.

Sampai di sini terlihat perbedaan antara bangsa yang terliterasi dengan masyarakat rendah literasi dalam menyikapi persoalan. Maka untuk membangun Indonesia Maju dan menyongsong Indonesia Emas, tugas terberat Pemerintah (juga kita bersama) adalah menggencarkan literasi. SDM dengan literasi tinggi akan memiliki kemampuan transendensi melampaui masa kini, sikap visioner yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.

Gerakan Gemar Membaca dan peringatan Hari Kunjung Perpustakaan merupakan bagian dari ikhtiar menaikkan tingkat literasi masyarakat.

Agar aktivitas membaca memperoleh manfaat ganda, untuk bertambahnya wawasan juga kesehatan mata dan mental, membaca buku fisik lebih disarankan dari pada buku digital. Membaca buku fisik memberi anda pengalaman sensoris yang lebih nyata, mengurangi paparan radiasi layar, serta tidak memerlukan daya dan teknologi.

Segala yang berteknologi akan lebih praktis dan mudah namun berefek samping, sedangkan cara tradisional terkesan repot tapi yang jelas lebih sehat. Hal ini juga berlaku dalam konteks membaca buku fisik.

Anda akan memperoleh sensasi saat mencari-cari buku di rak, menemukan dan mengambilnya, lalu membaca dengan membalikkan lembar demi lembar, sembari menandai dengan pensil atau pena penyorot pada bagian-bagian yang perlu menjadi perhatian.

Membaca buku fisik membuat fokus dan konsentrasi lebih baik karena kurangnya gangguan. Berbeda dengan membaca buku digital melalui gawai yang tersambung internet, akan banyak godaan untuk berselancar ke berbagai situs atau media sosial, belum lagi terganggu iklan yang berseliweran.

Menurut Anne Mangen dari Universitas Stavanger (UiS) dan Adriaan van der Weel dari Universitas Leiden, dalam sebuah penelitian pada tahun 2016, "Buku cetak memberikan pengalaman fisik yang jelas, sedangkan e-book tidak memiliki pengalaman fisik yang sama”.

Mempertimbangkan efek buruknya, beberapa negara maju membuat kebijakan untuk meninggalkan teknologi dan kembali ke cara tradisional. Seperti di Kota Riihimaki, sebuah kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa, 70 km (44 mil) di utara Helsinki Finlandia, yang memulai tahun ajaran baru ini dengan kembali ke pena dan kertas (buku fisik) dan meninggalkan komputer jinjing, gawai, ponsel dan perangkat teknologi semacamnya. Mereka meyakini cara itu lebih sehat untuk anak didiknya.

Maka membacalah dengan cara sederhana, tidak harus menggunakan gawai mewah demi hasrat bergaya karena ternyata negara maju pun mulai meninggalkan itu semua.

Oleh Sizuka/ANTARA

*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Komentar